Narkotika
Mengancam Pelajar Kita
Bagong
Suyanto ; Dosen sosiologi FISIP
Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 26 Juni 2014
PELAJAR
di Kota Surabaya ternyata tidak hanya rawan terkontaminasi gaya hidup dan
pergaulan seks bebas, tetapi juga rentan terjerat pengaruh buruk narkotika.
Hasil tes urine oleh Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK) Surabaya terhadap
400 pelajar SMA dan SMP di berbagai sekolah negeri dan swasta menemukan lebih
dari 10 persen siswa yang positif mengandung zat metamin yang merupakan
indikasi signifikan bahwa yang bersangkutan pernah mengonsumsi narkotika (Jawa Pos, 25 Juni 2014).
Pada era
postmodern seperti sekarang ini, narkotika, tampaknya, bukan lagi monopoli
geng-geng nakal, pemuda urakan, anak korban broken home, pengunjung diskotek,
atau pelajar yang suka keluar malam. Benda haram tersebut kini juga telah
merambah para ABG dan sejumlah pelajar yang sehari-hari tampak wajar-wajar
saja. Di Surabaya, tidak sedikit sekolah yang dilaporkan pernah mengeluarkan
siswanya lantaran tertangkap basah menyimpan dan menikmati narkotika
tersebut. Juga, tidak sekali dua kali pelajar dilaporkan tewas gara-gara
overdosis.
Mengapa
banyak pelajar atau bahkan anak-anak yang terjerumus mengonsumsi narkotika
sampai kecanduan, sehingga mereka dan keluarganya terkungkung dalam persoalan
yang berkepanjangan? Penelitian oleh penulis tentang penyalahgunaan narkotika
di kalangan remaja Kota Surabaya menemukan setidaknya tiga kondisi yang bisa
memicu pelajar untuk mengonsumsi narkotika.
Pertama,
faktor lingkungan sosial atau peer group yang memiliki daya tarik sangat kuat
terhadap keinginan pelajar untuk mencoba dan mengonsumsi narkotika.
Sebagaimana diungkapkan dalam teori asosiasi diferensial, perilaku delinkuen
yang diperlihatkan seseorang sesungguhnya merupakan akibat proses asosiasi
diri dengan orang atau kelompok dan hal itu memiliki relevansi yang kuat
terhadap intensitas pergaulan. Teori tersebut mempertegas bahwa perilaku dan segala
yang diperbuat seseorang sangat ditentukan oleh pengaruh dalam kelompok yang
menjadi acuan individu. Nilai atau norma serta kebiasaan yang tumbuh dan
berkembang dalam kelompok –meski tidak selalu harus tercatat secara jelas–
merupakan dasar bagi anggota untuk berperilaku dan seolah menjadi daya ikat
bagi anggota kelompok untuk ditaati serta dilakukan secara bersama.
Kedua,
lemahnya kontrol orang tua. Kurangnya perhatian orang tua dan tidak
optimalnya berbagai jenis kontrol internal mengakibatkan anak atau pelajar
dengan leluasa mencari pihak lain atau kelompok bermain. Apabila kelompok
tersebut memiliki orientasi positif, mungkin tidak masalah. Tetapi, jika
kelompok yang menjadi acuan dalam berperilaku tidak mendukung, niscaya anak
atau pelajar bakal mengarah pada nilai dan norma yang tidak sepaham dengan
masyarakat kebanyakan.
Menurut
Hirschi (1979), kontrol internal dari orang tua merupakan hal yang lebih kuat
dalam mengarahkan perilaku individu. Setidaknya terdapat empat komponen utama
yang bisa mengarahkan perilaku individu. Yakni, kasih sayang, komitmen,
keterlibatan, dan kepercayaan. Kasih sayang yang didapat individu dari
sosialisasi primer menimbulkan komitmen yang kuat untuk tidak melanggar
norma-norma dan kaidah serta tetap menjaga diri untuk tidak berperilaku
delinkuen. Artinya, anak-anak atau pelajar menjadi pihak yang berpartisipasi
untuk tidak melanggar norma dan pada gilirannya terbentuk kepercayaan serta
kredibilitas yang kukuh dalam masyarakat.
Kendati
tidak bisa terlalu digeneralisasi, banyak kasus yang membuktikan, ketika para
orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tidak memberikan perhatian yang
cukup kepada anak-anak, akibatnya anak-anak tidak jarang mencari pelarian
dengan cara mengonsumsi narkotika. Ketika ditanya apakah orang tua dan
keluarga tahu informan memakai narkotika, ternyata hampir seluruh informan
menyebutkan tidak tahu.
Ketiga,
keterlibatan anak dan pelajar dalam narkotika sebenarnya juga tidak terlepas
dari kontrol sosial dalam masyarakat. Kontrol sosial, termasuk institusi
masyarakat, seolah tidak berdaya memaksakan anggota masyarakat untuk menaati
norma-norma. Sebagaimana diungkaplan Albert J. Reiss, perilaku delinkuen
terjadi salah satunya karena tidak efektifnya lembaga penegak hukum dan
penertiban hukum oleh kepolisian serta pengadilan.
Upaya
penanganan korban narkotika, secara garis besar, dapat dilakukan secara
preventif, kuratif-rehabilitatif, dan represif –khususnya bagi para pengedar
dan bandar gedenarkotika. Sementara itu, khusus untuk penanganan pelajar
pecandu narkotika, ada beberapa program aksi yang perlu dilakukan untuk
mengeliminasi meluasnya peredaran dan pengaruh narkotika.
Pertama,
dibutuhkan kreativitas dan kemampuan sekolah serta keluarga untuk menciptakan
kegiatan alternatif yang atraktif dan menarik. Tujuannya, aktivitas sosial
pelajar pada waktu luang bisa diarahkan untuk hal-hal yang positif. Selain
terus mempertahankan dan mengembangkan kegiatan konvensional yang sudah
berjalan seperti pertandingan olahraga dan kegiatan akademis lain, yang
seyogianya dikembangkan ke depan adalah kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai
dengan jiwa pelajar. Bisa berupa kegiatan bermusik, pramuka dalam bentuk
kemasan yang lebih atraktif, atau kegiatan yang sedikit berbau politik –tanpa
harus melibatkan mereka menjadi partisan.
Kedua,
perlu terus dipertahankan dan dikembangkan kerja sama antara sekolah dan
aparat kepolisian untuk merazia secara mendadak namun berkelanjutan. Tidak
hanya pada kasus penyalahgunaan narkotika, tetapi juga kasus kenakalan
pelajar atau yang lain seperti pornografi, merokok, perkelahian pelajar,
pemalakan, dan bahkan mungkin tindakan lain pelajar yang tergolong kriminal.
Sebagaimana diketahui, keterlibatan seorang pelajar dalam narkotika biasanya
selalu didahului dengan keterlibatan mereka pada praktik kenakalan yang
bergradasi lebih rendah seperti merokok, berkelahi, dan membolos.
Ketiga,untuk
memotong mata rantai pengaruh mafia narkotika di kalangan pelajar, yang
dibutuhkan adalah keberanian, kejelian, dan sikap proaktif sekolah bersama
aparat kepolisian untuk secara tegas serta konsisten memberantas mafia
pengedar narkotika. Bagi pelajar yang mungkin tertangkap basah terlibat
sebagai pemakai dan pengedar narkotika, penanganan hukum tetap harus mengacu
pada hak-hak mereka sebagai pihak yang berkonflik dengan hukum (bejing rules). Bagi orang dewasa yang
ketahuan terlibat dalam praktik peredaran narkotika di kalangan pelajar,
sanksi hukum yang diberlakukan harus benar-benar tegas untuk kepentingan
menghasilkan efek jera yang efektif di kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar