Kultur
Sportivitas dan “Gladiator” Politik
Indra
Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
dan Sastrawan
|
KOMPAS,
26 Juni 2014
BETAPA
terpukulnya para pemain Kroasia saat harus dihukum penalti dalam pertandingan
melawan Brasil. Kemenangan yang ada dalam genggaman pun terampas. Namun, tim
Krosia tidak mengamuk meski penalti itu kontroversial.
Dalam
Piala Dunia kali ini, Kroasia memang akhirnya kalah. Namun, dunia mencatat
sportivitas tinggi mereka. Kroasia meraih kemenangan moral, kemenangan
tertinggi dalam persaingan!
Sportivitas
memang pahit karena ia mengharuskan kita untuk lebih menjunjung etika dan
moral daripada hasil kemenangan. Muara sportivitas adalah keluhuran nilai.
Etika dan moral mengorientasikan manusia pada proses menemukan kebenaran,
kebaikan, keindahan, dan kepantasan. Dalam persaingan, etika dan moral
menuntut kita untuk mengutamakan martabat dalam meraih kemenangan. Karena
itu, orangtua kita mengatakan, ”Untuk apa menang, sukses, dan kaya raya jika
kamu tidak terhormat?” Orang Jawa punya wisdom
”menang tanpa ngasorake” (menang tanpa harus merendahkan
kemanusiaan, baik pribadi maupun orang lain/kompetitor).
Demokrasi
meniscayakan kompetisi yang didasarkan pada etika, moral, dan etos demi
melahirkan pemimpin yang bermartabat, bukan sekadar memiliki kemampuan teknis
memimpin dan mengelola negara. Kekuasaan (power)
itu buas seperti harimau. Karena itu, para penunggangnya harus mampu
menjinakkan dengan kecerdasan akal budi atau kearifan.
Musuh dan lawan
Benarkah
persaingan dalam pilpres dijiwai sportivitas? Jargon ”siap menang, siap kalah” memang telah bergema. Namun, kampanye
kelam toh tetap saja merebak. Terkesan kompetitor adalah musuh yang harus
dihancurkan, bukan lawan yang harus dihormati.
Pilpres
pun menjelma semacam arena bagi para ”gladiator”
politik untuk bertarung, lengkap dengan para bebotoh dan para penggembiranya.
Lihatlah, misalnya, ”perang komentar”
antarpendukung capres-cawapres di media sosial yang saling menjatuhkan. Tanpa
beban para pengguna media sosial partisan melontarkan komentar apa saja demi
kepuasan atau katarsis politik. Hal itu sangat jauh dari demokrasi yang
bermartabat: mengutamakan nilai kebenaran, akal budi, kesantunan, keadilan,
dan keindahan.
Dalam ”perang komentar” di media sosial yang
dominan adalah psikologisme, sebuah cara pandang yang mereduksi realitas
sosiologis menjadi realitas psikologis subyektif. Emosi lebih dominan
daripada rasionalitas. Penilaian lebih didasarkan pada rasa suka dan tidak
suka. Serba hitam-putih. Pihak yang tidak suka menempatkan orang lain sebagai
”musuh”.
Goenawan
Mohamad, dalam sebuah Catatan Pinggir-nya,
pernah menyatakan pentingnya sportivitas dalam persaingan di mana orang lain
diposisikan sebagai lawan dan bukan musuh.
Pilpres
yang damai dapat dimulai dari pemahaman secara semantik (maknawi) atas kata
kunci dalam persaingan, yakni musuh dan lawan. Publik pemakai bahasa sering
kacau dalam menggunakan istilah ini. Kata musuh lebih tepat digunakan dalam
dunia peperangan.
Kata
musuh bermakna pihak yang mengancam jiwa/menghancurkan pihak lain.
Konotasinya sangat destruktif: merusak, menghancurkan, melenyapkan, dan
membunuh.
Kata
lawan bermakna imbangan; bandingan; tandingan. Konotasi kata lawan positif,
misalnya lawan tanding, lawan bicara, dan lawan bermain. Di sini tak ada
nuansa permusuhan. Dalam pertandingan, satu pihak melawan pihak diartikan
sebagai persaingan. Di sini masing-masing pihak saling menaruh hormat (respect).
Kontestasi
pilpres bukan sebuah pemusuhan. Kata kunci yang tepat dipakai adalah lawan
(pesaing, kompetitor). Karena itu, tidak sepantasnya pilpres disikapi dengan
semangat konflik.
Filsuf
peraih hadiah Nobel, Albert Camus, menyebut sportivitas sebagai nilai yang
membangun karakter manusia, tak ada hubungan secara langsung dengan kekalahan
dan kemenangan. Kekalahan dan kemenangan adalah akibat dari perjuangan.
Sportivitas yang mengutamakan proses mengajarkan manusia untuk menemukan
nilai-nilai ideal berupa kejujuran dan keadilan yang bermuara pada
martabat.
Kampanye hitam
Kekuasaan
memang sangat menggoda, termasuk para politisi yang kini bersaing untuk
memperebutkan RI 1 dan RI 2. Karena itu, nilai-nilai etik pun kadang
dilabrak. Orang menempuh
berbagai
cara, termasuk kampanye hitam yang sarat isu
suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Kompetisi
dalam pilpres perlu dikembalikan pada kultur sportivitas, bukan kultur
gladiator yang penuh kekerasan. Saling menghormati lawan menjadi keniscayaan
dalam membangun demokrasi yang bermartabat. Basis persaingan harus
dikembalikan pada visi, misi, dan program, bukan kebencian dan permusuhan.
Visi bicara tentang cita-cita ideal perjuangan. Misi bicara tentang
cara/tindakan mewujudkan cita-cita. Adapun program merupakan praksis dari
visi dan misi.
Pilpres
harus dipahami sebagai bagian dari kultur demokrasi untuk mewujudkan
kesejahteraan kolektif. Kultur demokrasi selalu berbasis pada etika, moral,
dan etos sehingga memberikan inspirasi dan pencerahan kepada publik. Inilah
demokrasi yang bijak dan cerdas/visioner. Elite politik mestinya menjadi agen
kebudayaan, bukan sekadar menjadi pemburu kekuasaan yang mengorbankan
peradaban dan keselamatan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar