Menyoal
“Recall” Partai Politik
Reza
Syawawi ; Researcher for Law
and Policies
Transparency
International Indonesia
|
KOMPAS,
28 Juni 2014
KISRUH
di internal partai politik menjelang penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden 2014 mulai memanas. Pasca penentuan koalisi partai
pengusung capres dan cawapres ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, beragam
reaksi pun muncul dari internal partai.
Hal yang
paling mutakhir adalah pemberhentian tiga anggota Partai Golkar, yaitu Agus
Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid, dan Poempida Hidayatullah. Pemberhentian
ini dilakukan karena mereka dinilai tak mematuhi keputusan partai untuk
mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Pemberhentian
ini harus dilihat dalam kerangka demokratisasi di internal partai politik,
bukan hanya dari aspek hukum semata. Hal itu untuk memastikan bahwa lembaga
demokrasi sekelas partai politik memang diurus dan diselenggarakan secara
demokratis.
Demokratisasi partai
Sebagai
sarana pendidikan politik, partai politik jadi cermin budaya politik suatu
masyarakat. Ketika partai dikelola secara demokratis, publik akan melihat itu
sebagai ukuran untuk memberikan pilihan politiknya.
Perbedaan
pandangan politik atau pilihan politik harus diletakkan dalam kerangka
pemenuhan hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi. Dalam
institusi mana pun, setiap warga negara berhak untuk menentukan pilihan
politiknya sendiri tanpa paksaan dari pihak mana pun.
Dalam
kasus pemberhentian keanggotaan partai politik, dimensinya tidak hanya
dilihat dan dinilai dari segi otoritas partai. Sebab, secara hukum, partai
memang
memiliki hak untuk memberhentikan anggota yang dianggap melanggar kebijakan
partai.
Jika
pemberhentian ini dikaitkan dengan kebijakan partai untuk mendukung
capres-cawapres tertentu, proses pengambilan kebijakan di internal partai
perlu dibuka ke hadapan publik. Menurut UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, penentuan capres dan cawapres yang diajukan
partai politik atau gabungan partai politik dilakukan secara demokratis dan
terbuka (Pasal 10).
Harus
diakui, tak ada standar atau ukuran yang digunakan secara sama oleh semua
partai politik untuk menilai apakah mekanisme pengambilan keputusan terkait
dukungan terhadap capres dan cawapres telah memenuhi kriteria yang ditetapkan
UU, yakni demokratis dan terbuka. Bukan tidak mungkin pembusukan justru
sedang terjadi di dalam partai di mana hanya sekelompok elite yang menentukan
setiap kebijakan strategis, termasuk dalam menentukan dukungan politik.
Dalam
kasus ini, kecurigaan tersebut jadi sangat beralasan karena keberadaan Partai
Golkar sebagai pemenang kedua dalam pemilu legislatif ”tiba-tiba” memutuskan
tidak mengusung capres atau cawapres dari kalangan internal. Kekisruhan pun
mulai muncul, salah satunya menghasilkan keputusan untuk memberhentikan
ketiga anggota Partai Golkar tersebut di atas.
Hal yang
sama sebetulnya juga terjadi ketika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
memberhentikan dua anggotanya karena mengambil sikap berbeda dalam
pengambilan keputusan terkait kasus Bank Century. Dalam konteks
demokratisasi, pemberhentian ini bisa dianggap kemunduran demokrasi yang
terjadi di dalam institusi partai politik.
Menyoal ”recall”
Pemberhentian
terhadap anggota partai politik akan berimbas lebih jauh bagi publik jika
yang bersangkutan menduduki jabatan politik yang diperoleh melalui pemilu.
Sistem demokrasi langsung menghendaki campur tangan publik dalam setiap pengambilan
keputusan.
Dalam
kasus PKB, kebijakan untuk memberhentikan anggotanya di DPR sebetulnya
bertentangan dengan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 196 Ayat
(3) menyebutkan, anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR
maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan
wewenang DPR.
Selama
ini pemberhentian anggota DPR hanya menggunakan ketentuan di dalam Pasal 213
Huruf (h) yang menyebutkan bahwa pemberhentian anggota DPR dilakukan jika
yang bersangkutan diberhentikan dari keanggotaan partai politik. Sepertinya
ada pengabaian terhadap ketentuan Pasal 196 yang memberikan hak imunitas
kepada anggota DPR.
Lain
halnya dengan kasus Partai Golkar. Pemberhentian lebih disebabkan oleh
ketidakpatuhan terhadap keputusan dalam internal organisasi dan tidak
berhubungan langsung dengan tugas dan tanggung jawab anggota DPR. Namun,
perlu dipahami juga bahwa pemberhentian tersebut berimplikasi terhadap posisi
yang bersangkutan di DPR, yang notabene dipilih secara langsung oleh publik.
Peran
partai politik yang terlalu besar dalam pemberhentian ini perlu diimbangi
dengan kebijakan yang lebih demokratis, baik dalam pengambilan keputusan di dalam
partai politik sendiri maupun dalam institusi DPR. Partai politik tetap
berwenang memberhentikan anggotanya, tetapi perlu dibuat mekanisme yang lebih
terbuka bagi publik untuk ikut serta dalam proses tersebut.
Dalam
konteks DPR, perubahan undang-undang mungkin perlu segera dilakukan agar
anggota DPR tidak terjebak dalam keputusan fraksi, yang justru mengekang hak
dan kewajiban konstitusionalnya sebagai wakil rakyat. Fraksi sebagai
”perpanjangan tangan” partai politik seharusnya tidak menjelma sebagai alat
untuk memaksakan sikap politik elite partai kepada anggotanya di parlemen.
Desain
ulang proses recall ini perlu dipertimbangkan untuk diperbaiki, terutama
dalam hal memperkuat partisipasi publik (pemilih). Bagi partai politik,
kebijakan ini akan membantu dan ”memaksa” partai politik agar dikelola secara
lebih demokratis dan terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar