Puasa
Ramadhan dan Pilpres
Taufik
Ikram Jamil ; Sastrawan
|
KOMPAS,
28 Juni 2014
HANYA
kebetulan saja jika Pemilihan Umum Presiden 9 Juli mendatang dilaksanakan
pada bulan Ramadhan saat umat Islam melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh
yang dimulai Sabtu (28/6). Meski demikian, begitu banyak hikmah puasa yang
dapat dikaitkan dengan kecenderungan pilpres sebagai upaya untuk meredam
dampak buruk yang lebih parah lagi dari pesta demokrasi tersebut.
Hal ini
penting dicatat karena setidak-tidaknya baru 36 tahun lagi atau tujuh kali
pilpres lagi pemilihan pejabat nomor satu itu dilaksanakan pada bulan
Ramadhan. Tentu jika diasumsikan pelaksanaan pilpres sama seperti sekarang,
yakni tetap diselenggarakan pada 9 Juli. Hal itu diakibatkan perbedaan cara
penghitungan antara kalender hijriah dan masehi yang bergeser sekitar 10 hari
setiap tahun.
Masa 36
tahun tersebut bukanlah waktu yang pendek. Jatuh bersamaan dengan tahun
2050. Banyak hal yang dapat terjadi
dalam rentang waktu sepanjang itu. Mungkin saja wajah Indonesia yang dikenal
pada hari ini akan berbeda jauh dibandingkan dengan 36 tahun mendatang dalam
berbagai segi. Sederhananya, hampir dua generasi bergulir dari sekarang jika
satu generasi selalu disebut berada pada rentang masa 20-25 tahun, pilpres
akan kembali berlangsung pada bulan Ramadhan.
Banyak
contoh tentang kecenderungan pilpres saat ini yang terasa mulai mengganggu
kehidupan sosial. Namun, cukup memadailah menyebutkan kecenderungan yang
paling menonjol dalam pilpres sekarang dibandingkan Pilpres 2004 dan Pilpres
2009, yakni semaraknya kampanye hitam. Buruk-memburukkan, dengan maksud
menjatuhkan pihak lain, seperti sudah menjadi sesuatu yang lumrah pada masa
kampanye.
Islam
menentang perbuatan semacam itu. Malah menyebutkan bahwa jika kejelekan
seseorang yang digembor-gemborkan adalah benar, tindakan tersebut jatuh
sebagai gibah atau gosip.
Sebaliknya, jika faktanya tidak sebagaimana yang disebut-sebut, perbuatan itu
dinilai fitnah. Jelas kedua hal itu harus dihindari dalam kehidupan
sehari-hari. Akan tetapi, hanya dalam puasa akibat dari tindakan-tindakan itu
dikonkretkan—tak sebatas kehilangan pahala puasa.
Adalah
Nabi Muhammad SAW yang menyuruh dua perempuan untuk membatalkan puasanya
karena keduanya telah bergosip. Ketika diminta untuk muntah, ”keluarlah
bergumpal-gumpal daging manusia dari perut mereka”. Ini merupakan ilustrasi
dari apa yang disebut bahwa gosip dapat diumpamakan seperti memakan daging
saudara sendiri secara mentah-mentah. Jika gambaran gosip demikian buruknya,
tentu tidak terbayangkan keburukan fitnah yang dinyatakan lebih kejam
daripada pembunuhan.
Begitu
juga akibat dari kampanye hitam itu sendiri yang setidaknya telah menimbulkan
luka, bahkan rasa permusuhan antarkelompok. Puasa dalam Ramadhan ini pula
yang secara konkret menganjurkan kasih sayang, antara lain dapat menyelami
kehidupan warga yang senantiasa kekurangan materi. Dalam Ramadhan ini pula,
tidak pada bulan lain, setiap individu—walaupun baru lahir—memberikan
sebagian kecil bahan makanannya untuk pihak lain yang sudah ditentukan (zakat
fitrah).
Tambahan ujian
Nafsu
buruk seperti amarah dan dendam akibat kampanye hitam justru diingatkan pada
bulan Ramadhan sebagai musuh besar dalam kehidupan. Ini dinyatakan sendiri
oleh Nabi Muhammad SAW setelah memimpin Perang Badar sebagai perang pertama
dalam Islam untuk membela hak yang terjadi pada bulan Ramadhan. Menurut
Rasulullah, ada perang yang lebih besar dibandingkan Badar, yakni mengalahkan
hawa nafsu.
Telah
banyak pihak yang meminta agar kampanye hitam dihentikan. Namun, tindakan
tidak terpuji itu bukan berkurang, melainkan makin menjadi-jadi. Kuat dugaan,
kampanye hitam ini akan makin parah menjelang pelaksanaan pilpres itu sendiri
setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa belasan hari. Apa yang disebut
dengan minggu tenang hanya urusan kalenderis, diduga tidak akan memengaruhi
aktivitas memburuk-burukkan.
Tidak
mengherankan jika kemudian ada yang berpandangan bahwa pada puasa Ramadhan
pun kenyataan kampanye hitam akan sama dengan masa sebelumnya. Sebab, pada
bulan Ramadhan secara sederhananya adalah lebih menekankan sesuatu yang juga
tidak dibenarkan pada bulan lain.
Contohnya
soal gosip di atas yang tidak boleh dilakukan pada bulan Ramadhan, tetapi
juga tidak dibenarkan dilakukan pada bulan lain. Bedanya adalah puasa yang
dilakukan pada bulan Ramadhan akan kehilangan pahalanya, sedangkan pada bulan
lain banyak orang yang tidak puasa (sunah) sehingga tak perlu risau akan
kehilangan pahala ibadah tersebut. Apalagi kenyataannya pada bulan Ramadhan
kejahatan lain masih selalu terjadi seperti pada bulan-bulan sebelum ataupun
sesudahnya.
Jika
demikian halnya, mudah saja dikatakan bahwa pelaku kampanye hitam memang
tidak mau diajak untuk melakukan suatu kebaikan walaupun telah diingatkan
dengan berbagai cara, termasuk melalui merefleksikan hikmah Ramadhan.
Sebaliknya, Ramadhan kita tahun ini justru mendapat tambahan ujian, yakni
berusaha terhindar dari jelek-menjelekkan yang dilakukan secara masif dan
sistemik dengan nama kampanye hitam.
Di sisi
lain, tidak pula dapat dilupakan bahwa ujian juga namanya jika berbagai usaha
menghentikan kampanye hitam—termasuk melalui usaha agar memetik hikmah bulan
Ramadhan—tidak berhasil dilakukan. Artinya, demokrasi yang kita anut, bahkan
negara ini, sedang menghadapi ujian yang tak kecil, sampai mengancam
kehidupan bernegara.
Setiap
ujian memang tidak mudah untuk dilalui. Akan tetapi, setiap ujian pasti
berujung pada peningkatan suatu tingkatan pencapaian. Apakah kita mampu
melewati ujian ini? Insya Allah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar