Jumat, 27 Juni 2014

Memilih Presiden

Memilih Presiden

Amir Effendi Siregar  ;   Pengamat Sosial;
Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)
KOMPAS, 25 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PILIH Prabowo Subianto-Hatta Rajasa atau Joko Widodo-Jusuf Kalla? Menurut sebuah lembaga survei, sekitar 41 persen pemilih, sampai Mei lalu, belum menentukan pilihannya. Saya salah satu di antaranya, karena saya ingin melihat lebih jauh program calon presiden tersebut.

Jokowi lewat artikelnya, Revolusi Mental (Kompas, 10/5/2014), ingin memperjuangkan Indonesia menjadi negara yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya.

Menurut Jokowi, kita sudah banyak membangun peraturan dan institusi demokrasi, tetapi selama tidak dijalankan oleh manusia yang benar, maka tidak akan membawa kesejahteraan.

Oleh karena itu, sampai sekarang, masih berlangsung korupsi, intoleransi, kekerasan, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Ada yang salah dengan mentalitas kita. Itu sebabnya revolusi mental perlu dimulai dari diri sendiri.

Pembahasan tentang mentalitas mengingatkan saya akan perdebatan klasik pada 1970-an tentang pembangunan di negara ketiga/berkembang. Perdebatan antara pendekatan liberal dan dependensi/kritis, kultural dengan struktural, kini masih belangsung.

Banyak negara berkembang mengikuti perspektif dan pola pembangunan liberal berdasarkan metode dan tahapan pembangunan ala WW Rostow dengan tahapan perkembangan masyarakat: tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, menuju kedewasaan, dan zaman komsumsi massa tinggi.

Industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi dikejar habis-habisan untuk mendapatkan trickle down effect. Sayang, umumnya tidak berhasil. Yang disalahkan mental dan sikap penduduk negara berkembang.

Menurut David McClelland, keterbelakangan itu disebabkan oleh tidak adanya the need for achievement, tidak berkeinginan untuk maju dan malas.

Benarkah demikian? Benarkah petani atau nelayan kita yang bangun pagi untuk bekerja keras di sawah atau di laut tidak ingin maju, malas, dan mentalnya jelek?
Perspektif dependensi dan kritis menentangnya dengan mengatakan bahwa kemiskinan di negara pinggiran atau berkembang terjadi karena dominasi dan eksploitasi negara pusat terhadap negara pinggiran seperti yang dikatakan Johan Galtung. Yang menikmati pembangunan di negara pinggiran adalah para komprador dan elitenya. Sementara itu, para petani dan nelayan, buruh, dan rakyat kecil tetap miskin meskipun telah bekerja habis-habisan. Hubungan tidak seimbang itu kini masih terjadi.

Artikel Joko Widodo dilengkapi dan disempurnakan oleh artikel Sidarto Danusubroto yang berjudul Membangun Relasi yang Berkeadaban pada 22 Mei 2014 kemudian Revolusi Sekali Lagi oleh Donny Gahral Adian pada 28 Mei 2014.

Dua artikel di Kompas itu menjelaskan bahwa mental yang dimaksud adalah ideologi yang mengutamakan dan mementingkan kepentingan rakyat. Indonesia membutuhkan ideologi nasional berdasarkan Pancasila dan konstitusi yang menjadi dasar untuk membangun negara yang berdaulat.

Kita memerlukan sebuah gerakan sosial, ekonomi, dan politik yang bersifat ideologis. Membangun kultur sekaligus struktur.

Visi dan misi

Untuk melihat lebih jelas gagasan Jokowi-JK, perlu dilihat naskah visi dan misinya. Istilah revolusi mental tidak ditemukan dalam naskahnya.

Pancasila 1 Juni dan Trisakti (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya) diteguhkan sebagai jalan ideologis. Visinya adalah terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong royong.

Agenda prioritas, antara lain, pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya. Memperkuat desa, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Meningkatkan produktivitas dan daya saing pasar internasional. Kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Revolusi karakter bangsa (civic education). Memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial.

Sementara itu, Prabowo-Hatta mengemukakan visi: membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta bermartabat.

Visi dan misi ini mirip Jokowi-JK, tetapi ketika diturunkan menjadi program tampak sedikit perbedaan. Prabowo-Hatta mempunyai agenda pentin, antara lain, membangun perekonomian yang kuat, berdaulat, adil dan makmur.

Melaksanakan ekonomi kerakyatan dengan memberikan perhatian khusus pada kelompok usaha menengah dan kecil. Membangun kedaulatan pangan, energi, dan sumber daya alam.

Meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Meningkatkan kualitas pembangunan sosial, antara lain, melalui program kesehatan gratis. Mempercepat pembangunan infrastruktur. Menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup.

Demokratisasi media

Adakah program demokratisasi media? Jokowi-JK, meskipun belum lengkap, pada bagian program kedaulatan di bidang politik menyatakan akan membangun keterbukaan informasi dan komunikasi publik secara konsisten berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Menata kembali frekuensi penyiaran yang merupakan hajat hidup orang banyak sehingga tidak terjadi monopoli atau penguasaan oleh sekelompok orang (kartel) industri penyiaran. Ini adalah program bagus yang akan mengubah konsentrasi kepemilikan media.

Dulu, negara menguasai dan mengontrol media. Kini, media dikontrol dan dimiliki oleh segelintir orang. Pindah dari otoritarianisme negara ke otoritarianisme kapital.
Program demokratisasi media tidak terdapat dalam dokumen Prabowo-Hatta. Mungkin masih terlupa. Kedua tim sukses sebaiknya menonton film dokumenter Oligarki Media yang diproduksi oleh Yayasan Komunikatif dan TIFA.

Tak ada calon yang sempurna, tetapi memilih yang paling mendekati harapan adalah langkah yang tepat, untuk Indonesia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar