Memilih
Presiden
Amir
Effendi Siregar ; Pengamat Sosial;
Ketua Pemantau
Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)
|
KOMPAS,
25 Juni 2014
PILIH Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa atau Joko Widodo-Jusuf Kalla? Menurut sebuah lembaga survei, sekitar
41 persen pemilih, sampai Mei lalu, belum menentukan pilihannya. Saya salah
satu di antaranya, karena saya ingin melihat lebih jauh program calon
presiden tersebut.
Jokowi lewat artikelnya, Revolusi Mental (Kompas, 10/5/2014), ingin
memperjuangkan Indonesia menjadi negara yang berdaulat secara politik,
mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya.
Menurut Jokowi, kita sudah
banyak membangun peraturan dan institusi demokrasi, tetapi selama tidak
dijalankan oleh manusia yang benar, maka tidak akan membawa kesejahteraan.
Oleh karena itu, sampai
sekarang, masih berlangsung korupsi, intoleransi, kekerasan, pelecehan hukum,
dan sifat oportunis. Ada yang salah dengan mentalitas kita. Itu sebabnya
revolusi mental perlu dimulai dari diri sendiri.
Pembahasan tentang mentalitas
mengingatkan saya akan perdebatan klasik pada 1970-an tentang pembangunan di
negara ketiga/berkembang. Perdebatan antara pendekatan liberal dan
dependensi/kritis, kultural dengan struktural, kini masih belangsung.
Banyak negara berkembang
mengikuti perspektif dan pola pembangunan liberal berdasarkan metode dan
tahapan pembangunan ala WW Rostow dengan tahapan perkembangan masyarakat:
tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, menuju kedewasaan, dan
zaman komsumsi massa tinggi.
Industrialisasi dan pertumbuhan
ekonomi dikejar habis-habisan untuk mendapatkan trickle down effect. Sayang,
umumnya tidak berhasil. Yang disalahkan mental dan sikap penduduk negara berkembang.
Menurut David McClelland,
keterbelakangan itu disebabkan oleh tidak adanya the need for achievement, tidak berkeinginan untuk maju dan
malas.
Benarkah demikian? Benarkah
petani atau nelayan kita yang bangun pagi untuk bekerja keras di sawah atau di
laut tidak ingin maju, malas, dan mentalnya jelek?
Perspektif dependensi dan kritis
menentangnya dengan mengatakan bahwa kemiskinan di negara pinggiran atau
berkembang terjadi karena dominasi dan eksploitasi negara pusat terhadap
negara pinggiran seperti yang dikatakan Johan Galtung. Yang menikmati
pembangunan di negara pinggiran adalah para komprador dan elitenya. Sementara
itu, para petani dan nelayan, buruh, dan rakyat kecil tetap miskin meskipun
telah bekerja habis-habisan. Hubungan tidak seimbang itu kini masih terjadi.
Artikel Joko Widodo dilengkapi
dan disempurnakan oleh artikel Sidarto Danusubroto yang berjudul Membangun Relasi yang Berkeadaban pada
22 Mei 2014 kemudian Revolusi Sekali
Lagi oleh Donny Gahral Adian pada 28 Mei 2014.
Dua artikel di Kompas itu
menjelaskan bahwa mental yang dimaksud adalah ideologi yang mengutamakan dan
mementingkan kepentingan rakyat. Indonesia membutuhkan ideologi nasional
berdasarkan Pancasila dan konstitusi yang menjadi dasar untuk membangun
negara yang berdaulat.
Kita memerlukan sebuah gerakan
sosial, ekonomi, dan politik yang bersifat ideologis. Membangun kultur
sekaligus struktur.
Visi dan misi
Untuk melihat lebih jelas
gagasan Jokowi-JK, perlu dilihat naskah visi dan misinya. Istilah revolusi
mental tidak ditemukan dalam naskahnya.
Pancasila 1 Juni dan Trisakti (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian
secara budaya) diteguhkan sebagai jalan ideologis. Visinya adalah
terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan
gotong royong.
Agenda prioritas, antara lain,
pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya. Memperkuat desa,
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Meningkatkan produktivitas dan
daya saing pasar internasional. Kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
sektor strategis ekonomi domestik. Revolusi karakter bangsa (civic education). Memperteguh
kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial.
Sementara itu, Prabowo-Hatta
mengemukakan visi: membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan
makmur, serta bermartabat.
Visi dan misi ini mirip
Jokowi-JK, tetapi ketika diturunkan menjadi program tampak sedikit perbedaan.
Prabowo-Hatta mempunyai agenda pentin, antara lain, membangun perekonomian
yang kuat, berdaulat, adil dan makmur.
Melaksanakan ekonomi kerakyatan
dengan memberikan perhatian khusus pada kelompok usaha menengah dan kecil.
Membangun kedaulatan pangan, energi, dan sumber daya alam.
Meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Meningkatkan kualitas pembangunan sosial, antara lain, melalui
program kesehatan gratis. Mempercepat pembangunan infrastruktur. Menjaga
kelestarian alam dan lingkungan hidup.
Demokratisasi media
Adakah program demokratisasi
media? Jokowi-JK, meskipun belum lengkap, pada bagian program kedaulatan di bidang
politik menyatakan akan membangun keterbukaan informasi dan komunikasi publik
secara konsisten berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Menata kembali frekuensi
penyiaran yang merupakan hajat hidup orang banyak sehingga tidak terjadi monopoli
atau penguasaan oleh sekelompok orang (kartel) industri penyiaran. Ini adalah
program bagus yang akan mengubah konsentrasi kepemilikan media.
Dulu, negara menguasai dan
mengontrol media. Kini, media dikontrol dan dimiliki oleh segelintir orang.
Pindah dari otoritarianisme negara ke otoritarianisme kapital.
Program demokratisasi media
tidak terdapat dalam dokumen Prabowo-Hatta. Mungkin masih terlupa. Kedua tim
sukses sebaiknya menonton film dokumenter Oligarki
Media yang diproduksi oleh Yayasan
Komunikatif dan TIFA.
Tak ada calon yang sempurna,
tetapi memilih yang paling mendekati harapan adalah langkah yang tepat, untuk
Indonesia yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar