GBHN
dalam Perspektif Social Order
Sudjito
; Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi
Pancasila UGM
|
KORAN
SINDO, 24 Juni 2014
Wacana
formulasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali digulirkan melalui
seminar nasional, diselenggarakan sebuah universitas di Jakarta beberapa
waktu kemarin. Saya diundang sebagai salah satu pembicara.
Beberapa
pemikiran pernah saya sampai pada acara serupa di Yogyakarta tahun 2012. Saya
berharap wacana ini tidak berhenti sebagai wacana belaka, tetapi
ditindaklanjuti oleh rezim pemerintahan baru hasil Pilpres 2014. Pada dimensi
politik, pro dan kontra tentang wacana reformulasi GBHN sudah lumrah.
Masingmasing mengklaim benar sesuai logika politiknya. Kebenaran pernyataan
politik umumnya tergantung besar-kecil atau kuatlemahnya kekuatan politik.
Kalau
perspektif politik dibiarkan mendominasi aktivitas pemerintahan dan menggeser
perspektif lain, sangat dikhawatirkan kelangsungan kehidupan bernegara
menjadi tidak sehat, dan tercapainya tujuan bernegara pun, terganggu. Oleh
karena itu, sumbangan pemikiran dari perspektif social order , penting
dihadirkan, agar nantinya GBHN memiliki legitimitas dan legalitas. GBHN
adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar
sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN
ditetapkan oleh lembaga tertinggi negara, sebagai representasi seluruh
rakyat.
Penjabarannya,
di tuangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Definisi itu
perlu disepakati, sebagai titik tolak menyamakan persepsi, agar pembicaraan
mengenai GBHN tidak simpang siur. Dalam perspektif social order , GBHN
merupakan ”pernyataan kehendak rakyat
secara menyeluruh dan terpadu”. Di dalamnya ada filsafat keterkaitan
sistemik antara GBHN dengan basis sosialnya. Artinya, perencanaan kehidupan
masa depan bangsa, wajib memperhatikan aspirasi rakyat dan dinamika sosial.
GBHN merupakan sarana memanusiakan (nguwongke)
rakyat Indonesia dalam rangka pertanggungjawaban sosial penyelenggaraan
negara.
Oleh
karena itu dibutuhkan analisis sosial, agar aspirasi dan dinamika sosial
terakomodasi dengan baik. Terkait dengan dinamika sosial, GBHN cukup memuat
sari pati substansi ide-ide segenap komponen bangsa dalam garis-garis
besarnya saja, agar pemikiran dan aspirasi rakyat yang terus berkembang dapat
diakomodasi dengan mudah. Dalam terminologi sistem hukum (Friedman, 2009), substansi hukum
(GBHN) perlu dipadukan dengan struktur hukum, dan kultur hukum, berupa
”semangat” penyelenggara negara untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat.
Oleh
karena itu, program penyusunan sistem hukum nasional perlu digarap secara terpadu
dengan GBHN. Ke depan, GBHN hendaknya merupakan karya moral
akademik-intelektual negarawan, bukan sekadar karya politikus. Idealnya, GBHN
disusun atas dasar paltform ideologi Pancasila, dalam rangka mencapai tujuan
negara, yakni: ”... membentuk suatu
pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...”
Inilah
dimensi teologisnya. GBHN, hendaknya sudah menggambarkan tentang sistem hukum
nasional, memuat pokok-pokok lembaga negara permanen dan norma hukum
operasional, sebagai penerjemahan asas-asas hukum berdasarkan ideologi
Pancasila.
Sudahkah
pemerintahan kita melibatkan rakyat dalam penyusunan GBHN? Beberapa fakta di
bawah ini, menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama,
pada era Orde Lama, istilah GBHN belum dikenal, tetapi ada istilah sejenis
yang maknanya sama yaitu undang-undang pembangunan nasional semesta
berencana. Untuk mempersiapkan UU tersebut, dibentuklah Dewan Perancang
Nasional berdasarkan UU No 80 Tahun 1958. Pada Pasal 3 ayat (2) diatur ”Dewan Perancang Nasional menyusun rencana
pembangunan nasional dengan memperhitungkan pembangunan segala kekayaan alam
dan pengerahan tenaga rakyat serta meliputi segala segi penghidupan bangsa
Indonesia dalam bentuk rancangan undang-undang pembangunan”. Pada Pasal 9
diatur:
Para
Anggota Dewan Perancang Nasional terdiri dari orang-orang ahli yang memiliki
hasrat dan semangat pembangunan sesuai dengan jiwa bagian pertimbangan
undang-undang ini dan terbagi atas: sarjana, ahli ekonomi, ahli teknik, ahli
budaya dan sarjana-sarjana lain yang ahli dalam soal-soal pembangunan;
orang-orang yang dapat mengemukakan soal-soal pembangunan di daerah Swatantra
Tingkat I dan yang ahli dalam soal-soal pembangunan; orang-orang dari
golongan-golongan fungsional yang ahli dalam soal-soal pembangunan; pejabat-pejabat
sipil dan militer yang ahli dalam soal-soal pembangunan. Keterlibatan
berbagai unsur masyarakat, merupakan cermin adanya sistem pemerintahan yang
akomodatif terhadap kehendak rakyat.
Kedua,
pada era Orde Baru, berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 (pra-amendemen) pembuatan
GBHN dilakukan MPR, suatu majelis yang merepresentasikan masyarakat Indonesia
tanpa terkecuali. MPR merupakan miniatur kedaulatan rakyat dan bangsa
Indonesia. Karena hakikat pembangunan sendiri merupakan peningkatan kualitas
dan derajat kehidupan seutuhnya dari seluruh rakyat Indonesia, maka bentuk
operasional GBHN adalah Rencana Pembangunan Nasional.
Walaupun
keterlibatan rakyat tidak langsung, komposisi keanggotaan MPR waktu itu cukup
memberikan ruang lebar bagi rakyat terlibat di dalam kegiatan itu. Ketiga ,
pada era Reformasi, GBHN tidak dikenal. Orde Reformasi memiliki semangat
politik dan cara pandang tersendiri terhadap MPR dan GBHN. Melalui amendemen
UUD 1945, MPR tidak diamanatkan menetapkan GBHN. Presiden dan wakil presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Diselenggarakan
desentralisasi dan penguatan otonomi daerah. Perencanaan pembangunan dianggap
cukup ditumpukan pada visimisi presiden-wakil presiden.
Secara
empiris, visi-misi presiden-wakil presiden selama ini tidak mampu
mengantarkan bangsa ini semakin dekat dengan citacitanya bernegara. Debat
caprescawapres, betapapun bagus dari perspektif keterbukaan informasi, namun
belum menunjukkan jati diri negarawan dan karakter kepemimpinan pancasilais.
Rakyat diposisikan sebagai penonton, objek, dan tidak pernah menjadi subjek
dalam bernegara. Sembari menunggu kehadiran pemerintahan baru, yuk, kita
pikirkan bersama, kembalinya lembaga tertinggi negara MPR dan GBHN sebagai
satu kesatuan. WallahuWallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar