Kamis, 26 Juni 2014

GBHN dalam Perspektif Social Order

GBHN dalam Perspektif Social Order

Sudjito  ;  Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO, 24 Juni 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Wacana formulasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali digulirkan melalui seminar nasional, diselenggarakan sebuah universitas di Jakarta beberapa waktu kemarin. Saya diundang sebagai salah satu pembicara.

Beberapa pemikiran pernah saya sampai pada acara serupa di Yogyakarta tahun 2012. Saya berharap wacana ini tidak berhenti sebagai wacana belaka, tetapi ditindaklanjuti oleh rezim pemerintahan baru hasil Pilpres 2014. Pada dimensi politik, pro dan kontra tentang wacana reformulasi GBHN sudah lumrah. Masingmasing mengklaim benar sesuai logika politiknya. Kebenaran pernyataan politik umumnya tergantung besar-kecil atau kuatlemahnya kekuatan politik.

Kalau perspektif politik dibiarkan mendominasi aktivitas pemerintahan dan menggeser perspektif lain, sangat dikhawatirkan kelangsungan kehidupan bernegara menjadi tidak sehat, dan tercapainya tujuan bernegara pun, terganggu. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran dari perspektif social order , penting dihadirkan, agar nantinya GBHN memiliki legitimitas dan legalitas. GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh lembaga tertinggi negara, sebagai representasi seluruh rakyat.

Penjabarannya, di tuangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Definisi itu perlu disepakati, sebagai titik tolak menyamakan persepsi, agar pembicaraan mengenai GBHN tidak simpang siur. Dalam perspektif social order , GBHN merupakan ”pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu”. Di dalamnya ada filsafat keterkaitan sistemik antara GBHN dengan basis sosialnya. Artinya, perencanaan kehidupan masa depan bangsa, wajib memperhatikan aspirasi rakyat dan dinamika sosial. GBHN merupakan sarana memanusiakan (nguwongke) rakyat Indonesia dalam rangka pertanggungjawaban sosial penyelenggaraan negara.

Oleh karena itu dibutuhkan analisis sosial, agar aspirasi dan dinamika sosial terakomodasi dengan baik. Terkait dengan dinamika sosial, GBHN cukup memuat sari pati substansi ide-ide segenap komponen bangsa dalam garis-garis besarnya saja, agar pemikiran dan aspirasi rakyat yang terus berkembang dapat diakomodasi dengan mudah. Dalam terminologi sistem hukum (Friedman, 2009), substansi hukum (GBHN) perlu dipadukan dengan struktur hukum, dan kultur hukum, berupa ”semangat” penyelenggara negara untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat.

Oleh karena itu, program penyusunan sistem hukum nasional perlu digarap secara terpadu dengan GBHN. Ke depan, GBHN hendaknya merupakan karya moral akademik-intelektual negarawan, bukan sekadar karya politikus. Idealnya, GBHN disusun atas dasar paltform ideologi Pancasila, dalam rangka mencapai tujuan negara, yakni: ”... membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...”

Inilah dimensi teologisnya. GBHN, hendaknya sudah menggambarkan tentang sistem hukum nasional, memuat pokok-pokok lembaga negara permanen dan norma hukum operasional, sebagai penerjemahan asas-asas hukum berdasarkan ideologi Pancasila.

Sudahkah pemerintahan kita melibatkan rakyat dalam penyusunan GBHN? Beberapa fakta di bawah ini, menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama, pada era Orde Lama, istilah GBHN belum dikenal, tetapi ada istilah sejenis yang maknanya sama yaitu undang-undang pembangunan nasional semesta berencana. Untuk mempersiapkan UU tersebut, dibentuklah Dewan Perancang Nasional berdasarkan UU No 80 Tahun 1958. Pada Pasal 3 ayat (2) diatur ”Dewan Perancang Nasional menyusun rencana pembangunan nasional dengan memperhitungkan pembangunan segala kekayaan alam dan pengerahan tenaga rakyat serta meliputi segala segi penghidupan bangsa Indonesia dalam bentuk rancangan undang-undang pembangunan”. Pada Pasal 9 diatur:

Para Anggota Dewan Perancang Nasional terdiri dari orang-orang ahli yang memiliki hasrat dan semangat pembangunan sesuai dengan jiwa bagian pertimbangan undang-undang ini dan terbagi atas: sarjana, ahli ekonomi, ahli teknik, ahli budaya dan sarjana-sarjana lain yang ahli dalam soal-soal pembangunan; orang-orang yang dapat mengemukakan soal-soal pembangunan di daerah Swatantra Tingkat I dan yang ahli dalam soal-soal pembangunan; orang-orang dari golongan-golongan fungsional yang ahli dalam soal-soal pembangunan; pejabat-pejabat sipil dan militer yang ahli dalam soal-soal pembangunan. Keterlibatan berbagai unsur masyarakat, merupakan cermin adanya sistem pemerintahan yang akomodatif terhadap kehendak rakyat.

Kedua, pada era Orde Baru, berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 (pra-amendemen) pembuatan GBHN dilakukan MPR, suatu majelis yang merepresentasikan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. MPR merupakan miniatur kedaulatan rakyat dan bangsa Indonesia. Karena hakikat pembangunan sendiri merupakan peningkatan kualitas dan derajat kehidupan seutuhnya dari seluruh rakyat Indonesia, maka bentuk operasional GBHN adalah Rencana Pembangunan Nasional.

Walaupun keterlibatan rakyat tidak langsung, komposisi keanggotaan MPR waktu itu cukup memberikan ruang lebar bagi rakyat terlibat di dalam kegiatan itu. Ketiga , pada era Reformasi, GBHN tidak dikenal. Orde Reformasi memiliki semangat politik dan cara pandang tersendiri terhadap MPR dan GBHN. Melalui amendemen UUD 1945, MPR tidak diamanatkan menetapkan GBHN. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Diselenggarakan desentralisasi dan penguatan otonomi daerah. Perencanaan pembangunan dianggap cukup ditumpukan pada visimisi presiden-wakil presiden.

Secara empiris, visi-misi presiden-wakil presiden selama ini tidak mampu mengantarkan bangsa ini semakin dekat dengan citacitanya bernegara. Debat caprescawapres, betapapun bagus dari perspektif keterbukaan informasi, namun belum menunjukkan jati diri negarawan dan karakter kepemimpinan pancasilais. Rakyat diposisikan sebagai penonton, objek, dan tidak pernah menjadi subjek dalam bernegara. Sembari menunggu kehadiran pemerintahan baru, yuk, kita pikirkan bersama, kembalinya lembaga tertinggi negara MPR dan GBHN sebagai satu kesatuan. WallahuWallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar