Damai
dalam Perbedaan
Yulius
Aris Widiantoro ; Dosen Universitas
Multimedia Nusantara
|
KOMPAS,
26 Juni 2014
PREMIS yang menyatakan tidak ada
kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan tampaknya menjadi
tidak relevan bila kita hadapkan dengan situasi kehidupan beragama di
Indonesia. Persentase kekerasan terbesar justru dipromotori oleh orang atau
kelompok yang mengatasnamakan agama. Kekerasan berbasis agama menjadi bahaya
laten di negeri ini, apalagi bila pemerintah membiarkan ini terus terjadi.
Organisasi kemasyarakatan dan
kekerasan sepertinya menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual keagamaan
masa kini. Ironis memang, agama yang diharapkan mampu mewujudkan peradaban
justru melegalkan pembiadaban.
Audifax dalam bukunya, Semiotika
Tuhan (2007: 102), menyatakan bahwa pesan yang berasal dari Tuhan adalah
pesan kehidupan dan bukan kematian atau perang. Kalau ada sejarah perang,
maka perlu digarisbawahi bahwa perang pada masa itu harus diletakkan secara
kontekstual dan bukan dipahami secara tekstual.
Kegagalan kita selama ini adalah
kita hanya memahami kitab suci secara tekstual, sehingga situasi dan kondisi
masyarakat pada era kini disamaratakan dengan masa lalu dengan rentang waktu
yang cukup jauh.
Penafsiran yang simetris sering
membuat kita seolah hidup dalam masa lalu. Agama telah gagal dalam
menghadirkan kedamaian dan kententeraman antarsesama. Agama dipahami secara
parsial karena agama lupa menyampaikan persoalan humanitas kepada umatnya.
Divinitas dan humanitas
dimengerti sebagai entitas yang berbeda dan terpisah. Tuhan sebagai realitas
tertinggi, apabila tidak disertai penghayatan hanya memberikan ilusi keimanan
(Audifax, 2007:103).
Tuhan harus dilepaskan dari kerangka
dogmatis, sehingga wajah Tuhan menjadi lebih humanis dan bersahabat.
Bernalar
Bertanya dan mempertanyakan
suatu keyakinan dianggap tabu dalam beragama, sehingga nalar kita kerap
dilucuti dan umat hanya menjadi mesin produksi dominasi kebenaran.
Pendek kata dalam beragama tidak
ada tempat bagi akal. Akal dituduh mereduksi otentisitas keimanan. Legalisme
iman semacam inilah yang pada akhirnya membuat evolusi kesadaran umat menjadi
terlambat dan stagnan.
Sungguh ironis, pengetahuan
tentang agama yang tidak diimbangi dengan pemahaman diri dan pencerahan budi
(iluminasi) akan mudah dipolitisasi. Akibatnya, dunia penghayatan kita (lebenswelt) menjadi harapan kosong.
Kita tidak boleh tinggal diam
terhadap fenomena buruk ini, karena akan menjadi wabah mematikan bagi
masyarakat kita. Aparat/penegak hukum kita terkesan gagap menangani anarkisme
atas nama agama, padahal secara kasatmata tindakan itu inkonstitusional.
Seharusnya aparat bertindak
tegas terhadap kelompok-kelompok yang identik dengan kekerasan, apalagi
mengatasnamakan agama dan Tuhan. Jangan terlampau banyak membangun opini,
tetapi minim kinerja.
Masyarakat khususnya korban
menggaransikan keamanan pada aparat, dan oleh karena itu kita menunggu hasil
kerja penegak hukum untuk memberi rasa aman dan nyaman.
Tokoh agama, tokoh masyarakat,
dan kaum intelektual perlu bekerja sama dan bertanggung jawab
menginternalisasikan prinsip-prinsip hidup yang humanis demi terciptanya
suatu keteraturan (kosmos).
Tumbuhkan kesadaran bahwa
manusia adalah makhluk monopluralis, di satu pihak adalah individu dengan
kekhasannya yang unik, tetapi di lain pihak ia adalah pribadi yang tidak bisa
memungkiri kodratnya sebagai makhluk yang memerlukan kehadiran sesamanya.
Dengan kata lain manusia secara hakiki bukanlah individu yang bisa mencukupi
dirinya sendiri (James Garvey: 2012, 7).
Kesimpulan
Fenomena kekerasan atas nama
agama mengindikasikan bahwa kehidupan sosial dan penegakan hukum di negeri
kita ini masih sangat rapuh.
Masyarakat menjadi tidak nyaman
hidup dalam lingkungannya, merasa gelisah, dan waswas, apalagi aparat kita
lamban dalam menangani masalah sampai level bawah. Kita perlu mengakui juga
bahwa naluri kita hampir tidak pernah diimbangi dengan penghayatan akan
kehidupan bersama.
Sebagian besar masyarakat kita
gugup dan gagap menerima kemajuan zaman sebagai suatu keniscayaan.
Akibatnya, cara bertindak yang
rasional tergerus oleh sikap emosional. Padahal, keberadaan Tuhan bukan untuk
dibela, karena Tuhan yang butuh pembelaan adalah Tuhan yang absurd.
Semua elemen masyarakat yang
cinta damai sebaiknya memang berkonsolidasi untuk memperkuat persatuan dan
menegakkan kebinekaan kita.
Malu rasanya sudah merdeka
hampir 69 tahun, tetapi sesama anak bangsa masih hidup saling curiga. Sulit
bagi bangsa kita untuk maju apabila kita tidak belajar menghargai perbedaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar