Solusi
Pendidikan Vokasi
Agus
Triyono ; Dosen Vokasi Program
Studi Broadcasting
Universitas Dian
Nuswantoro (Udinus) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 25 Juni 2014
Sebentar
lagi kita menyambut ASEAN Free Trade
Area (AFTA) dan ASEAN Economic
Community (AEC) 2015. Bagi berbagai kalangan, termasuk negara berkembang
seperti Indonesia, hal itu menjadi peluang sekaligus tantangan. Kompetisi bakal
makin sengit, uji strategi, kemampuan dan pertarungan di lapangan akan
memiliki dinamika yang sangat kompleks.
Sudah
siapkah kita? Di sektor tenaga kerja, tentu kualitas SDM harus mampu bersaing
dan siap bersanding dengan tenaga-tenaga terampil dari berbagai penjuru
belahan wilayah, khususnya dari kawasan ASEAN. Sebagai sebuah negara besar,
mau tidak mau, siap atau tidak siap harus mampu menunjukkan jati diri dalam
menyongsong AFTA dan AEC 2015.
Banyak
kalangan menilai bahwa program diploma atau vokasi masih dipahami dan
dipandang sebelah mata. Sementara, program sarjana dinilai lebih komplet
karena memiliki embel-embel gelar. Padahal kalau dicermati, program vokasi
juga memiliki hingga diploma empat (D-4) dan itu setara dengan sarjana.
Program vokasi merupakan program diploma yang dirancang untuk mengembangkan
keahlian, keterampilan, kemampuan, pemahaman, dan tingkah laku yang
diperlukan dalam dunia kerja.
Program
ini didesain sebagai sebuah jalur yang bisa mengakses langsung dunia kerja.
Program ini justru siap memasuki dunia kerja telah dibekali berbagai
kemampuan praktis. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Sikdiknas
menyebutkan pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma
yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu
sampai program sarjana terapan.
Pendidikan
vokasi bahkan dapat dikembangkan sampai program magister terapan atau doktor
terapan. Bagi dunia industri kebutuhan akan tenaga vokasional menjadi solusi
dalam pengadaan tenaga kerja siap pakai. Beberapa negara seperti Jepang,
Korea Selatan, Taiwan, dan Australia, cenderung memberikan porsi sangat besar
bagi pemilih pendidikan vokasional dibanding pendidikan akademis reguler.
Berbasis Kompetensi
Lantas
bagaimana di negeri kita? Tentu menjadi pekerjaan yang tidah mudah. Di
kalangan industri, pendidikan vokasi sangatlah mutlak dan tidak bisa ditawar
lagi. Kebutuhan akan tenaga kerja dari lulusan pendidikan vokasi menjadi
alternatif namun pasti.
Ini
artinya, lulusan pendidikan vokasi memiliki peluang sangat besar dalam berkarya
di berbagai institusi. Keberhasilan pendidikan vokasi, selain menyangkut
keterampilan yang dimiliki, juga didukung dosen/pengajar yang memiliki
kemampuan dan kecakapan dalam bidangnya. Menyusun kurikulum yang terintegrasi
sesuai dengan kebutuhan pasar, menjadi keharusan.
Kurikulum
pendidikan vokasi lazimnya berbasis kompetensi yang sangat berkait aspek
keterampilan dan penguasaan teknologi. Penguasaan secara komprehensif yang
menunjang pada sebuah program studi untuk menuju profesionalisme pada bidangnya
masing-masing menjadi relevan dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu,
pergeseran penguasaan kognisi (pengetahuan) atau dominasi kognitif menuju
penguasaan kompetensi tertentu sesuai dengan program studi masing-masing
menjadi salah satu target .
Selain
itu, pangsa pasar dan keterlibatan dunia usaha dan dunia industri diharapkan
memberikan umpan balik terhadap kompetensi dan standardisasi kemampuan
lulusan pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi harus sangat erat dengan proses
industrialisasi, khususnya berkait fungsi dan perannya memenuhi tenaga kerja
terampil dan berkonsentrasi pada pembangunan teknologi maupun rekayasa. Porsi
yang besar dalam kegiatan praktik, baik praktikum di laboratorium, studio,
lapangan, bengkel kerja, maupun tempat praktik lain sebagai kebutuhan wajib
yang harus dipenuhi.
Perbandingan
kegiatan praktik dan teori dalam pendidikan vokasi secara umum adalah 60-40
persen.Tetapi, perbandingan itu dalam beberapa situasi bisa disesuaikan
dengan kebutuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar