Rabu, 25 Juni 2014

Pilihan Cerdas dan Rasional Petani

Pilihan Cerdas dan Rasional Petani

Toto Subandriyo  ;   Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed,
Aktif pada berbagai organisasi petani
SUARA MERDEKA, 24 Juni 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
“Kenyataannya, setiap menghadapi berbagai permasalahan, petani nyaris tanpa perlindungan yang berarti”

SPANDUK besar bertuliskan ”Jangan Jadikan Petani Teman Sementara” terbentang di arena pembukaan Pekan Nasional (Penas) XI/2004 Petani Nelayan di Tondano Minahasa, Sulawesi Utara. Acara yang dihadiri puluhan ribu kontak tani/nelayan se-Indonesia tersebut dibuka Presiden Megawati Soekarnoputri, persis sebulan sebelum berlangsung Pilpres 5 Juli 2004.

Pertemuan akbar petani nelayan ini merupakan wahana bagi mereka, termasuk petani hutan Indonesia. Forum itu untuk konsolidasi, pengembangan diri, tukar informasi, apresiasi, kemitraan dan promosi hasil pertanian, perikanan, dan kehutanan. Momentum seperti itu sering digunakan petani sebagai ajang memperjuangkan hak-hak politik mereka.

Begitu pula untuk Penas XIV Petani Nelayan 2014. Kegiatan tersebut diselenggarakan di Stadion Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang pada 7-12 Juni 2014. Acara ini dihadiri tidak kurang dari 50.000 orang dan dibuka Presiden SBY. Waktu penyelenggaraan juga kurang lebih sebulan sebelum pelaksanaan Pilpres 2014.

Selama ini pertanian  merupakan sektor yang paling sensitif dalam percaturan politik republik ini. Jauh hari sebelum pelaksanaan pilpres tanggal 9 Juli 2014, capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo, secara tegas menyatakan akan fokus pada bidang pertanian. Untuk menunjukkan keseriusannya, komitmen tersebut  kembali ditegaskan saat keduanya didaulat sebagai pembicara dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda, belum lama ini.

Sektor pertanian (baca: petani) merupakan entitas sosial terbesar di republik ini.  Jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTP) 26,14 juta RTP (Sensus Pertanian BPS, 2013). Jika tiap RTP diasumsikan terdiri atas empat orang maka tidak kurang dari 104,6 juta orang yang secara struktural menggantungkan hidup pada sektor  ini. Jika tiap RTP diasumsikan punya tiga hak suara dalam pilpres nanti maka para capres dapat mendulang tidak kurang dari 78 juta suara dari mereka.

Cerdas Rasional

Dilihat dari teori-teori sosial dan politik, jika kedaulatan ada di tangan rakyat dan demokrasi menjadi pilar ideologi yang dijunjung tinggi maka petanilah pemegang kedaulatan di republik ini. Namun teori tidak selamanya berjalan linier dengan praktik. Yang terjadi seringkali justru sebaliknya. Meski secara ekonomi sektor pertanian sangat penting, dan secara politik sangat sensitif, realitasnya posisi secara sosial sangat inferior.

Data BPS (2007), menyebutkan 68,55% penduduk miskin di Indonesia tinggal di pedesaan, sebagian besar berprofesi petani. Data Sensus Pertanian 2013 lebih menegaskan kondisi tersebut. Petani gurem (penggarap lahan kurang dari 0,5 ha) mencapai 14,25 juta rumah tangga atau 55,33% rumah tangga pertanian pengguna lahan.

Kondisi seperti itu dapat terjadi karena komitmen dan keberpihakan penentu kebijakan kepada petani sangat kurang. Meskipun UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sudah diundangkan, produk hukum itu seperti mandul dalam tataran implementasi.

Undang-undang ini sudah menegaskan bahwa petani harus dilindungi dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, ketersediaan lahan, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim. Kenyataannya tiap menghadapi berbagai permasalahan tersebut, petani nyaris tanpa perlindungan berarti.

Berikut beberapa contoh fakta yang merujuk kurangnya keberpihakan dan perlindungan  kepada petani. Pertama; berlarut-larutnya kelangkaan pupuk di beberapa sentra produksi pangan beberapa bulan terakhir. Kedua; dikeluarkannya izin impor 787.000 ton gula putih  kepada Perum Bulog ketika musim giling tebu baru saja dimulai. Ketiga; ditemukannya 16.832 ton beras impor kelas medium dari Vietnam saat pengadaan gabah/beras oleh Perum Bulog mengukir rekor tertinggi.

Karena itu, petani harus menyikapi pilpres secara cerdas dan rasional. Sosok capres/cawapres pilihan petani, siapa pun itu orangnya, haruslah punya komitmen dan keberpihakan tinggi kepada petani. Sosok peduli, tulus dan gigih memperjuangkan hak-hak normatif petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar