Selasa, 24 Juni 2014

Manusia Perahu

Manusia Perahu

Ahmad Sahidah  ;   Dosen Universitas Utara Malaysia
                                                           TEMPO, 23 Juni 2014      
                                                
                                                                                         
                                                      
Hanya berselang 12 jam, tragedi perahu karam yang melibatkan penumpang buruh migran asal Indonesia berulang. Miris! Sementara sebelumnya kejadian ini berlaku di muara Pulau Carey, perahu serupa karam di 10,5 mil nautika di Tanjung Sepat, Sepang, Selangor. Perahu tongkang yang membawa 27 penumpang itu tak mampu menahan muatan. Sejauh ini, pihak berwajib Malaysia menyelamatkan 19 korban dan menemukan 1 mayat.

Bayangkan perahu yang karam sebelumnya! Sebuah tongkang kecil memuat 97 penumpang di tengah cuaca yang tidak bersahabat. Nelayan lokal saja tidak berani melaut di sekitar perairan tempat kejadian nahas ini. Berkat kesigapan pihak penyelamat yang melibatkan pelbagai instansi Malaysia, 61 penumpang bisa diselamatkan, termasuk seorang anak. Tak pelak, Herman Prayitno, Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur, menyatakan penghargaan bagi negara sahabat atas bantuan tersebut dan sekaligus meminta pihak terkait untuk menyelidiki penyebab musibah ini.

Lagi-lagi, kelebihan muatan ditengarai sebagai penyebab kapal oleng dan karam. Kapal yang menuju Tanjung Balai Sumatera itu tak mampu membawa beban yang melebihi kapasitasnya. Sebagai pengangkut barang, tongkang ini sangat tidak layak untuk penumpang berjumlah 97 orang. Kalaupun bermuatan manusia, kapal berukuran 8 x 2 meter ini hanya bisa menampung 40 orang. Tentu pemilik kapal lebih mementingkan keuntungan dibanding keselamatan penumpang. Tak ayal, pihak berkuasa memburu yang bersangkutan, termasuk calo atau tekong yang menjadi orang yang tengah membawa pulang para pahlawan devisa itu ke kampung halaman.

Untuk kesekian kalinya, buruh migran asal Indonesia meregang nyawa di lautan ketika mereka ingin "mudik" menyambut puasa dan hari raya. Mereka tak ubahnya manusia perahu asal Vietnam dulu yang pernah mengarungi lautan untuk menemukan kehidupan baru yang jauh lebih aman dibanding negara asalnya akibat perang saudara. Cerita pilu tentang mereka direkam dengan baik oleh Mary Terrell Cargill dan Jade Ngác Quang Huánh dalam Voices of Vietnamese Boat People: Nineteen Narratives of Escape and Survival. Hari ini, manusia perahu juga disematkan bagi para pencari suaka dari Timur Tengah dan Asia kecil ke Australia yang memantik ketegangan antara Negeri Kanguru dan Indonesia.

Ternyata nestapa serupa menimpa saudara kita. Di tengah negeri jiran berusaha untuk menghentikan perdagangan manusia (human trafficking), pekerja tanpa dokumen itu bisa lolos dari penyisiran kapal peronda Polisi Laut Malaysia, tapi tak mampu melawan keganasan alam. Padahal ongkos sekali jalan lebih mahal daripada tiket pesawat, yakni sekitar RM 650, bahkan salah seorang korban mengaku membayar RM 700-1.200. Tentu, mereka harus merogoh kantong sekali lagi untuk membeli karcis bus menuju kampung halaman. Mereka yang selamat tentu tak banyak membawa hasil karena ongkos pulang telah menguras gaji selama setahun dan mungkin sisa di saku hanya cukup untuk membeli baju baru untuk keluarga. Lalu, mereka akan kembali menjadi manusia perahu ketika kembali bekerja ke negeri jiran melalui jalan "tikus". Ini benar-benar tragedi Sisyphus.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar