Manusia
Perahu
Ahmad
Sahidah ; Dosen Universitas
Utara Malaysia
|
TEMPO,
23 Juni 2014
Hanya
berselang 12 jam, tragedi perahu karam yang melibatkan penumpang buruh migran
asal Indonesia berulang. Miris! Sementara sebelumnya kejadian ini berlaku di
muara Pulau Carey, perahu serupa karam di 10,5 mil nautika di Tanjung Sepat,
Sepang, Selangor. Perahu tongkang yang membawa 27 penumpang itu tak mampu
menahan muatan. Sejauh ini, pihak berwajib Malaysia menyelamatkan 19 korban
dan menemukan 1 mayat.
Bayangkan
perahu yang karam sebelumnya! Sebuah tongkang kecil memuat 97 penumpang di
tengah cuaca yang tidak bersahabat. Nelayan lokal saja tidak berani melaut di
sekitar perairan tempat kejadian nahas ini. Berkat kesigapan pihak penyelamat
yang melibatkan pelbagai instansi Malaysia, 61 penumpang bisa diselamatkan,
termasuk seorang anak. Tak pelak, Herman Prayitno, Duta Besar Indonesia di
Kuala Lumpur, menyatakan penghargaan bagi negara sahabat atas bantuan
tersebut dan sekaligus meminta pihak terkait untuk menyelidiki penyebab
musibah ini.
Lagi-lagi,
kelebihan muatan ditengarai sebagai penyebab kapal oleng dan karam. Kapal
yang menuju Tanjung Balai Sumatera itu tak mampu membawa beban yang melebihi
kapasitasnya. Sebagai pengangkut barang, tongkang ini sangat tidak layak
untuk penumpang berjumlah 97 orang. Kalaupun bermuatan manusia, kapal
berukuran 8 x 2 meter ini hanya bisa menampung 40 orang. Tentu pemilik kapal
lebih mementingkan keuntungan dibanding keselamatan penumpang. Tak ayal,
pihak berkuasa memburu yang bersangkutan, termasuk calo atau tekong yang
menjadi orang yang tengah membawa pulang para pahlawan devisa itu ke kampung
halaman.
Untuk
kesekian kalinya, buruh migran asal Indonesia meregang nyawa di lautan ketika
mereka ingin "mudik" menyambut puasa dan hari raya. Mereka tak
ubahnya manusia perahu asal Vietnam dulu yang pernah mengarungi lautan untuk
menemukan kehidupan baru yang jauh lebih aman dibanding negara asalnya akibat
perang saudara. Cerita pilu tentang mereka direkam dengan baik oleh Mary
Terrell Cargill dan Jade Ngác Quang Huánh dalam Voices of Vietnamese Boat People: Nineteen Narratives of Escape and
Survival. Hari ini, manusia perahu juga disematkan bagi para pencari suaka
dari Timur Tengah dan Asia kecil ke Australia yang memantik ketegangan antara
Negeri Kanguru dan Indonesia.
Ternyata
nestapa serupa menimpa saudara kita. Di tengah negeri jiran berusaha untuk
menghentikan perdagangan manusia (human
trafficking), pekerja tanpa dokumen itu bisa lolos dari penyisiran kapal
peronda Polisi Laut Malaysia, tapi tak mampu melawan keganasan alam. Padahal
ongkos sekali jalan lebih mahal daripada tiket pesawat, yakni sekitar RM 650,
bahkan salah seorang korban mengaku membayar RM 700-1.200. Tentu, mereka
harus merogoh kantong sekali lagi untuk membeli karcis bus menuju kampung
halaman. Mereka yang selamat tentu tak banyak membawa hasil karena ongkos
pulang telah menguras gaji selama setahun dan mungkin sisa di saku hanya
cukup untuk membeli baju baru untuk keluarga. Lalu, mereka akan kembali
menjadi manusia perahu ketika kembali bekerja ke negeri jiran melalui jalan
"tikus". Ini benar-benar tragedi Sisyphus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar