Sabtu, 28 Juni 2014

Kepada Gus Dur

Kepada Gus Dur

Daniel Mohammad Rosyid  ;   Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
KOMPAS, 27 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
Gus, apa kabar panjenengan? Sudah cukup lama kami tidak mendengar lelucon njenengan. Saya harap njenengan baik-baik saja di sana. Saya ganggu sebentar, ya, Gus. Dulu sewaktu panjenengan presiden kami, Departemen Penerangan, juga Departemen Sosial panjenengan bubarkan. Setelah memahami langkah panjenengan itu sekian tahun ini, saya mau mengusulkan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga Kementerian Agama dibubarkan saja.

Rasanya bangsa ini kusut karena terlalu banyak sekolah (too much schooling). Jadi masalah kita bukan karena kekurangan sekolah. Ada banyak sekolah dan madrasah, tetapi masyarakat justru tidak makin terdidik.

Makin banyak guru, tetapi sedikit keteladanan. Makin banyak tempat ibadah, tetapi makin sedikit akhlak mulia. Makin panjang antrean orang mau naik haji, tetapi makin sedikit kemabruran.

Di zaman reformasi ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah mendekati Rp 2.000 triliun. Anggaran yang dikelola Kemdikbud tahun 2014 ini mencapai Rp 80 triliun, Kementerian Agama hampir Rp 50 triliun.

Tempo hari masih juga dikeluhkan oleh Pak Mohammad Nuh bahwa banyak bupati dan wali kota tidak mau memenuhi kewajiban mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pendidikan minimal 20 persen di luar gaji guru.

Mereka malah menyiasatinya dengan memasukkan gaji guru dalam APBD agar memenuhi 20 persen itu.

Akan tetapi, saya ragu apakah dengan menaikkan anggaran bagi Kemdikbud dan Kemenag masyarakat kita bakal makin terdidik, berakhlak lebih mulia, dan anak-anak miskin memperoleh akses pendidikan dan kesehatan.

Jangan-jangan masyarakat hanya makin lama bersekolah, tetapi tidak makin terdidik, tak makin produktif, dan tak makin cerdas.

Paradoks itu muncul saat Kemdikbud praktis menyamakan pendidikan dengan persekolahan.

Sewaktu mewacanakan Kurikulum 2013 lalu, para petinggi Kemdikbud mengibaratkan Sisdiknas sebagai sebuah kotak. Kemdikbud ingin memperbesar volume kotak Sisdiknas itu, tentu dengan anggaran yang makin besar. Betapa salahnya kebijakan ini.

Gus, menurut konco panjenengan pastor mbeling Ivan Illich di Cuarnavaca, Meksiko, di tahun 1970-an, pendidikan universal tidak mungkin dicapai melalui sistem persekolahan. Dia mengusulkandeschooling justru untuk memperluas kesempatan belajar, terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin.

Gus, sebagai otodidak, panjenengan tahu persis bahwa belajar adalah sebuah proses yang tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan. Wajib belajar praktis diartikan sebagai wajib sekolah.

Hemat saya, kesalahan sekolah adalah berusaha menjadi satu-satunya tempat belajar. Sekarang banyak muncul full-day school dilengkapi dengan ”pendidikan karakter” lagi! Seolah-olah makin lama di sekolah anak-anak makin berkarakter.

Sekolah, akhir-akhir ini, justru jadi sumber masalah. Bukan sumber solusi. Sejak korupsi BOS, sertifikasi guru yang amburadul, gedung sekolah baru yang ambruk, dan guru yang tidak tambah kompeten setelah disertifikasi.

Ada kekerasan seksual di sekolah internasional. Ada guru SD di Bandung yang menyuruh murid-muridnya mencubiti temannya yang terlambat.

Lalu ada mahasiswa yang dipukuli sampai mati oleh para seniornya di sebuah perguruan tinggi kedinasan. Belum lagi kecurangan berjemaah sewaktu ujian nasional. Sing jujur malah ajur lho, Gus.

Menurut saya, kekerasan itu melekat pada sistem persekolahan itu. Murid dipaksa menyesuaikan dan diukur dengan berbagai macam standar semacam ujian nasional.

Yang tidak cocok dengan standar itu, menurut Pak Nuh, bisa dikategorikan KW2 atau KW3. Padahal, anak-anak KW ini sebetulnya marah dihina macam itu. Namun, panjenengan, kan, tahu, suara anak-anak itu di Indonesia bisa diabaikan, toh mereka belum memilih!

Yang paling saya risaukan adalah nasib keluarga umat njenengan ini. Begitu sekolah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa sekolah adalah tempat satu-satunya untuk belajar, banyak orangtua mulai kehilangan kepercayaan diri lalu menitipkan anak-anaknya untuk belajar di sekolah, termasuk belajar karakter!

Tugas mendidik anak-anak hilang dari keluarga di rumah, padahal panjenengan tahu persis bahwa ibu di rumah adalah sekolah yang pertama dan utama.
Mekaten meniko, Gus. Begitu keteladanan hilang dari rumah, kerusakan demi kerusakan terjadi dan meluas. Banyak kasus narkoba, geng motor, tawuran, dan pornografi justru dilakukan pelajar dan mahasiswa.

Saya tahu panjenengan ini orang yang tidak standar, beda dengan saya dan kebanyakan masyarakat yang sudah sekolah ini. Bung Karno juga tidak standar, Pak Harto dan Bu Mega juga tidak. Pak Habibie juga.

Ketiganya, juga panjenengan sendiri, dibesarkan di rumah dan di luar sekolah. Sayang, Pak SBY terlalu lama bersekolah lalu jadi terstandarkan.

Saya yakin bahwa kepribadian panjenengan yang kuat dan unik dibentuk tidak di sekolah. Sir Ken Robinson, pakar kreativitas itu, mengatakan bahwa sekolah adalah institusi yang paling bertanggung jawab atas krisis sumber daya manusia akibat penyeragaman melalui standardisasi itu.

Ingkang pungkasan, Gus. Saya mau titip panjenengan bagi para capres yang tilik panjenengan ke Jombang. Tolong disampaikan bahwa ke depan ini kita mesti mengurangi persekolahan, jika membubarkan Kemdikbud terlalu frontal. Saya yakin bangsa ini justru akan lebih terdidik. Nuwun, Gus. Wassalaamu’alaykum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar