Kepada
Gus Dur
Daniel
Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan
Pendidikan Jawa Timur
|
KOMPAS,
27 Juni 2014
Gus, apa kabar panjenengan?
Sudah cukup lama kami tidak mendengar lelucon njenengan. Saya harap njenengan
baik-baik saja di sana. Saya ganggu sebentar, ya, Gus. Dulu sewaktu
panjenengan presiden kami, Departemen Penerangan, juga Departemen Sosial
panjenengan bubarkan. Setelah memahami langkah panjenengan itu sekian tahun
ini, saya mau mengusulkan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga
Kementerian Agama dibubarkan saja.
Rasanya bangsa ini kusut karena
terlalu banyak sekolah (too much schooling). Jadi masalah kita bukan karena
kekurangan sekolah. Ada banyak sekolah dan madrasah, tetapi masyarakat justru
tidak makin terdidik.
Makin banyak guru, tetapi
sedikit keteladanan. Makin banyak tempat ibadah, tetapi makin sedikit akhlak
mulia. Makin panjang antrean orang mau naik haji, tetapi makin sedikit
kemabruran.
Di zaman reformasi ini Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sudah mendekati Rp 2.000 triliun. Anggaran yang
dikelola Kemdikbud tahun 2014 ini mencapai Rp 80 triliun, Kementerian Agama
hampir Rp 50 triliun.
Tempo hari masih juga dikeluhkan
oleh Pak Mohammad Nuh bahwa banyak bupati dan wali kota tidak mau memenuhi
kewajiban mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
pendidikan minimal 20 persen di luar gaji guru.
Mereka malah menyiasatinya
dengan memasukkan gaji guru dalam APBD agar memenuhi 20 persen itu.
Akan tetapi, saya ragu apakah
dengan menaikkan anggaran bagi Kemdikbud dan Kemenag masyarakat kita bakal
makin terdidik, berakhlak lebih mulia, dan anak-anak miskin memperoleh akses
pendidikan dan kesehatan.
Jangan-jangan masyarakat hanya
makin lama bersekolah, tetapi tidak makin terdidik, tak makin produktif, dan
tak makin cerdas.
Paradoks itu muncul saat
Kemdikbud praktis menyamakan pendidikan dengan persekolahan.
Sewaktu mewacanakan Kurikulum
2013 lalu, para petinggi Kemdikbud mengibaratkan Sisdiknas sebagai sebuah
kotak. Kemdikbud ingin memperbesar volume kotak Sisdiknas itu, tentu dengan
anggaran yang makin besar. Betapa salahnya kebijakan ini.
Gus, menurut konco panjenengan
pastor mbeling Ivan Illich di Cuarnavaca, Meksiko, di tahun 1970-an, pendidikan
universal tidak mungkin dicapai melalui sistem persekolahan. Dia
mengusulkandeschooling justru untuk memperluas kesempatan belajar, terutama
bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Gus, sebagai otodidak,
panjenengan tahu persis bahwa belajar adalah sebuah proses yang tidak pernah
mensyaratkan formalisme persekolahan. Wajib belajar praktis diartikan sebagai
wajib sekolah.
Hemat saya, kesalahan sekolah
adalah berusaha menjadi satu-satunya tempat belajar. Sekarang banyak muncul
full-day school dilengkapi dengan ”pendidikan karakter” lagi! Seolah-olah
makin lama di sekolah anak-anak makin berkarakter.
Sekolah, akhir-akhir ini, justru
jadi sumber masalah. Bukan sumber solusi. Sejak korupsi BOS, sertifikasi guru
yang amburadul, gedung sekolah baru yang ambruk, dan guru yang tidak tambah
kompeten setelah disertifikasi.
Ada kekerasan seksual di sekolah
internasional. Ada guru SD di Bandung yang menyuruh murid-muridnya mencubiti
temannya yang terlambat.
Lalu ada mahasiswa yang dipukuli
sampai mati oleh para seniornya di sebuah perguruan tinggi kedinasan. Belum
lagi kecurangan berjemaah sewaktu ujian nasional. Sing jujur malah ajur lho, Gus.
Menurut saya, kekerasan itu
melekat pada sistem persekolahan itu. Murid dipaksa menyesuaikan dan diukur
dengan berbagai macam standar semacam ujian nasional.
Yang tidak cocok dengan standar
itu, menurut Pak Nuh, bisa dikategorikan KW2 atau KW3. Padahal, anak-anak KW
ini sebetulnya marah dihina macam itu. Namun, panjenengan, kan, tahu, suara
anak-anak itu di Indonesia bisa diabaikan, toh mereka belum memilih!
Yang paling saya risaukan adalah
nasib keluarga umat njenengan ini. Begitu sekolah berhasil meyakinkan
masyarakat bahwa sekolah adalah tempat satu-satunya untuk belajar, banyak
orangtua mulai kehilangan kepercayaan diri lalu menitipkan anak-anaknya untuk
belajar di sekolah, termasuk belajar karakter!
Tugas mendidik anak-anak hilang
dari keluarga di rumah, padahal panjenengan tahu persis bahwa ibu di rumah
adalah sekolah yang pertama dan utama.
Mekaten meniko, Gus. Begitu keteladanan
hilang dari rumah, kerusakan demi kerusakan terjadi dan meluas. Banyak kasus
narkoba, geng motor, tawuran, dan pornografi justru dilakukan pelajar dan
mahasiswa.
Saya tahu panjenengan ini orang
yang tidak standar, beda dengan saya dan kebanyakan masyarakat yang sudah
sekolah ini. Bung Karno juga tidak standar, Pak Harto dan Bu Mega juga tidak.
Pak Habibie juga.
Ketiganya, juga panjenengan
sendiri, dibesarkan di rumah dan di luar sekolah. Sayang, Pak SBY terlalu
lama bersekolah lalu jadi terstandarkan.
Saya yakin bahwa kepribadian
panjenengan yang kuat dan unik dibentuk tidak di sekolah. Sir Ken Robinson,
pakar kreativitas itu, mengatakan bahwa sekolah adalah institusi yang paling
bertanggung jawab atas krisis sumber daya manusia akibat penyeragaman melalui
standardisasi itu.
Ingkang
pungkasan, Gus. Saya mau titip panjenengan bagi para capres
yang tilik panjenengan ke Jombang. Tolong disampaikan bahwa ke depan ini kita
mesti mengurangi persekolahan, jika membubarkan Kemdikbud terlalu frontal.
Saya yakin bangsa ini justru akan lebih terdidik. Nuwun, Gus. Wassalaamu’alaykum.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar