Urgensi
Dewan Keamanan
Imron
Cotan ; Dubes RI untuk
Australia (2003-2005) dan RRT (2010-2013)
|
KOMPAS,
24 Juni 2014
DI
tengah hiruk-pikuk pesta demokrasi di Indonesia menjelang Pilpres 9 Juli
2014, suhu politik di kawasan Asia Pasifik meningkat tajam. Sejumlah pakar
menyatakan, dinamika politik kawasan mulai menggeliat ketika Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) mengalami kemajuan ekonomi beberapa dekade terakhir dan secara
konsisten menaikkan anggaran militernya. Belanja militer RRT tahun 2014
sebesar 131,57 miliar dollar AS, hampir setara cadangan devisa Indonesia.
Para
pakar menduga ketrengginasan (assertiveness)
RRT dalam mempertahankan kepentingan utamanya di Laut Tiongkok Selatan
berhadapan dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan serta di
Laut Tiongkok Timur berhadapan dengan Jepang dan Korea Selatan juga sebagai
akibat kemajuan pesat tersebut.
Faktor AS?
Pengenalan
kebijakan ”Asia-pivot” oleh
Presiden Barack Obama (November 2011), yang pada intinya menekankan tekad
Amerika Serikat untuk kembali ke Asia Pasifik setelah mengabaikannya beberapa
dekade, turut memengaruhi dinamika politik kawasan. RRT memandang kebijakan
itu dirancang untuk mengepung dan mencegah mereka jadi kekuatan global.
Sebagian kalangan menduga, munculnya keberanian Filipina dan Vietnam
berkonfrontasi dengan RRT di wilayah-wilayah yang dipersengketakan, seperti
tecermin pada insiden Vietnam mencegah pengeboran minyak oleh RRT dan saling
tabrak kapal patroli Filipina-RRT karena terciptanya security blanket dari
kehadiran kembali AS di kawasan.
Ketegangan
yang sama terjadi di kawasan Laut Tiongkok Timur, ditandai saling intai
antara RRT dan Jepang baik di laut maupun di udara. Insiden saling menguntit
jet tempur antara Jepang dan RRT (12 Juni 2014) yang diberitakan hanya
berjarak 30 meter sungguh mengkhawatirkan karena mengindikasikan bahwa kedua
negara siap bertempur untuk mempertahankan klaim kedaulatan masing-masing.
Konsekuensinya,
pacuan senjata di kawasan tak terelakkan dan militerisme Jepang dapat
dikatakan telah menemukan raison d’etre-nya. Jika konflik terbuka pecah,
dapat dipastikan stabilitas, perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan kawasan
akan terganggu.
Pengenalan
Air Defense Identification Zone
(ADIZ) oleh RRT (November, 2013) harus diakui turut meningkatkan ketegangan
di kawasan. Menteri Pertahanan AS Hagel kembali menegaskan penolakan
negaranya terhadap konsep tersebut dalam pertemuan Shangrila Dialogue di Singapura (31 Mei-1 Juni 2014).
Bahkan,
tanpa memberikan informasi, AS sebelumnya telah mengirimkan pesawat pengebom
jenis B-52 melintasi ADIZ sehari setelah RRT mengumumkan pembentukannya
(November 2013). Jika permainan ”kucing dan tikus” antara AS, Jepang, dan
Korea Selatan ini tidak dikendalikan dengan baik, kembali potensi pecahnya
konflik terbuka di kawasan semakin membesar.
Pada
sisi lain, perkembangan politik dalam negeri Thailand juga turut mewarnai
dinamika politik di kawasan. Setelah bertahun-tahun terjebak dalam konflik
kelompok pro dan anti Thaksin Shinawatra, militer negara tersebut kembali
melancarkan kudeta yang bertujuan untuk menstabilkan kehidupan politik
domestik yang terpolarisasi secara tajam tersebut.
Walaupun
harus diakui bahwa sementara ini kudeta militer mampu menghentikan konflik
berkepanjangan antara dua kubu di atas, patut dipertanyakan apakah semangat good governance yang terkandung di
dalam Artikel 2, ASEAN Charter (November 2007), tidak tercederai oleh kudeta
tersebut. Adalah fenomena yang menarik
untuk diamati: sementara negara-negara ASEAN berhasil mendorong Myanmar jadi
lebih demokratis, Thailand justru mengalami kemunduran.
Dinamika
politik kawasan semakin marak ketika partai nasionalis Hindu, Bharatiya Janata Party (BJP), di bawah
pimpinan Narendra Modi, menang mutlak dalam pemilihan umum India (Mei 2014).
Patut dicatat, India dan RRT selain memiliki klaim tumpang tindih wilayah dan
telah terlibat perang, kedua negara juga memiliki hubungan yang pelik akibat
kesediaan India menampung para pelarian politik Tibet, terutama Dalai Lama.
Kedua
masalah ini dapat memicu pecahnya kembali konflik di antara kedua negara
bertetangga tersebut, yang bisa berdampak luas bagi stabilitas di kawasan.
Di
tengah-tengah bergolaknya politik di kawasan, layak dicatat bahwa Indonesia
dan Australia berhasil menjalin kembali hubungan bilateral, sebagai hasil
pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Tony Abbott
di Batam (Juni 2014). Hubungan bilateral
Indonesia-Australia memburuk ketika informasi penyadapan dinas rahasia
Australia terhadap Presiden SBY, Ibu Negara, serta beberapa pejabat Indonesia
lainnya dibocorkan Edward Snowden, mantan analis intelijen AS.
Sejumlah
pihak berharap rampungnya code of
conduct yang mengandung rambu-rambu bagi peningkatan hubungan bilateral
Indonesia-Australia tidak hanya akan lebih mempererat hubungan keduanya,
tetapi juga memberikan landasan baru bagi pemerintah baru hasil Pemilu 9 Juli
2014 untuk bekerja bahu-membahu membangun masa depan bersama yang lebih
cerah.
Prinsip ”24/7”
Seperti
disinggung di atas, penyelenggaraan Pemilu 2014 telah menyerap segenap energi
rakyat dan pemerintah, yang pada gilirannya menurunkan stamina Indonesia
untuk memantau dan turut mengelola dinamika politik di kawasan saat ini.
Agenda
politik para anggota kabinet menjelang, selama, dan pasca pemilu, terutama
Pilpres 9 Juli 2014, tentu memengaruhi pelaksanaan peran yang seyogianya
mereka mainkan. Padahal, sebagai salah satu negara terbesar di kawasan,
Indonesia diharapkan secara kontinu turut mengelola potensi konflik serta
memperkokoh arsitektur keamanan dan perdamaian kawasan, yang juga dibutuhkan
untuk menjamin kelangsungan pembangunan nasionalnya.
Dalam
konteks inilah perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah
mendatang untuk membentuk Dewan Keamanan Nasional (DKN). Anggota DKN yang
terdiri atas para pakar politik luar negeri, militer, dan ekonomi—yang
nonpartisan—itu secara berkesinambungan akan memantau, menganalisis, dan
melaporkan kepada Presiden RI tentang perkembangan dinamika politik kawasan
dan global, terutama yang memiliki dampak terhadap pencapaian kepentingan
utama Indonesia, seperti tercantum pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Pembentukan
DKN yang bekerja berdasarkan prinsip ”24/7” (24 jam sehari, 7 hari seminggu)
tersebut dirasakan sangat mendesak. Hal ini mengingat kabinet hanya bersidang
secara rutin sekali dalam seminggu, sementara dinamika politik kawasan dan
global kadang kala bergerak dalam hitungan menit.
Selain
meringankan beban Presiden, berfungsinya DKN secara sempurna juga akan
menopang upaya peningkatan postur Indonesia di mata dunia internasional.
Upaya ini mutlak diperlukan oleh Indonesia sebagai negara pemilik lebih dari
17.000 pulau yang kaya dengan sumber daya alam, pantai terpanjang kedua di
dunia setelah Kanada, penduduk keempat terbesar di dunia dengan populasi
Muslim terbesar pula, serta ekonomi terbesar kesepuluh di dunia (World Bank, 2014). Potensi besar
tersebut hanya dimiliki oleh segelintir negara di dunia.
Sejumlah
pakar dan negarawan dunia yang pernah penulis temui sering mengatakan bahwa
dengan potensi yang sangat besar tersebut, sudah selayaknya Indonesia
memainkan peran yang lebih signifikan di kawasan dan di dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar