Selasa, 24 Juni 2014

Urgensi Dewan Keamanan

Urgensi Dewan Keamanan

Imron Cotan  ;   Dubes RI untuk Australia (2003-2005) dan RRT (2010-2013)
KOMPAS, 24 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DI tengah hiruk-pikuk pesta demokrasi di Indonesia menjelang Pilpres 9 Juli 2014, suhu politik di kawasan Asia Pasifik meningkat tajam. Sejumlah pakar menyatakan, dinamika politik kawasan mulai menggeliat ketika Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengalami kemajuan ekonomi beberapa dekade terakhir dan secara konsisten menaikkan anggaran militernya. Belanja militer RRT tahun 2014 sebesar 131,57 miliar dollar AS, hampir setara cadangan devisa Indonesia.

Para pakar menduga ketrengginasan (assertiveness) RRT dalam mempertahankan kepentingan utamanya di Laut Tiongkok Selatan berhadapan dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan serta di Laut Tiongkok Timur berhadapan dengan Jepang dan Korea Selatan juga sebagai akibat kemajuan pesat tersebut.

Faktor AS?

Pengenalan kebijakan ”Asia-pivot” oleh Presiden Barack Obama (November 2011), yang pada intinya menekankan tekad Amerika Serikat untuk kembali ke Asia Pasifik setelah mengabaikannya beberapa dekade, turut memengaruhi dinamika politik kawasan. RRT memandang kebijakan itu dirancang untuk mengepung dan mencegah mereka jadi kekuatan global. Sebagian kalangan menduga, munculnya keberanian Filipina dan Vietnam berkonfrontasi dengan RRT di wilayah-wilayah yang dipersengketakan, seperti tecermin pada insiden Vietnam mencegah pengeboran minyak oleh RRT dan saling tabrak kapal patroli Filipina-RRT karena terciptanya security blanket dari kehadiran kembali AS di kawasan.

Ketegangan yang sama terjadi di kawasan Laut Tiongkok Timur, ditandai saling intai antara RRT dan Jepang baik di laut maupun di udara. Insiden saling menguntit jet tempur antara Jepang dan RRT (12 Juni 2014) yang diberitakan hanya berjarak 30 meter sungguh mengkhawatirkan karena mengindikasikan bahwa kedua negara siap bertempur untuk mempertahankan klaim kedaulatan masing-masing.

Konsekuensinya, pacuan senjata di kawasan tak terelakkan dan militerisme Jepang dapat dikatakan telah menemukan raison d’etre-nya. Jika konflik terbuka pecah, dapat dipastikan stabilitas, perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan kawasan akan terganggu.

Pengenalan Air Defense Identification Zone (ADIZ) oleh RRT (November, 2013) harus diakui turut meningkatkan ketegangan di kawasan. Menteri Pertahanan AS Hagel kembali menegaskan penolakan negaranya terhadap konsep tersebut dalam pertemuan Shangrila Dialogue di Singapura (31 Mei-1 Juni 2014).

Bahkan, tanpa memberikan informasi, AS sebelumnya telah mengirimkan pesawat pengebom jenis B-52 melintasi ADIZ sehari setelah RRT mengumumkan pembentukannya (November 2013). Jika permainan ”kucing dan tikus” antara AS, Jepang, dan Korea Selatan ini tidak dikendalikan dengan baik, kembali potensi pecahnya konflik terbuka di kawasan semakin membesar.

Pada sisi lain, perkembangan politik dalam negeri Thailand juga turut mewarnai dinamika politik di kawasan. Setelah bertahun-tahun terjebak dalam konflik kelompok pro dan anti Thaksin Shinawatra, militer negara tersebut kembali melancarkan kudeta yang bertujuan untuk menstabilkan kehidupan politik domestik yang terpolarisasi secara tajam tersebut.

Walaupun harus diakui bahwa sementara ini kudeta militer mampu menghentikan konflik berkepanjangan antara dua kubu di atas, patut dipertanyakan apakah semangat good governance yang terkandung di dalam Artikel 2, ASEAN Charter (November 2007), tidak tercederai oleh kudeta tersebut.  Adalah fenomena yang menarik untuk diamati: sementara negara-negara ASEAN berhasil mendorong Myanmar jadi lebih demokratis, Thailand justru mengalami kemunduran.

Dinamika politik kawasan semakin marak ketika partai nasionalis Hindu, Bharatiya Janata Party (BJP), di bawah pimpinan Narendra Modi, menang mutlak dalam pemilihan umum India (Mei 2014). Patut dicatat, India dan RRT selain memiliki klaim tumpang tindih wilayah dan telah terlibat perang, kedua negara juga memiliki hubungan yang pelik akibat kesediaan India menampung para pelarian politik Tibet, terutama Dalai Lama.

Kedua masalah ini dapat memicu pecahnya kembali konflik di antara kedua negara bertetangga tersebut, yang bisa berdampak luas bagi stabilitas di kawasan.

Di tengah-tengah bergolaknya politik di kawasan, layak dicatat bahwa Indonesia dan Australia berhasil menjalin kembali hubungan bilateral, sebagai hasil pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Tony Abbott di Batam (Juni 2014). Hubungan bilateral  Indonesia-Australia memburuk ketika informasi penyadapan dinas rahasia Australia terhadap Presiden SBY, Ibu Negara, serta beberapa pejabat Indonesia lainnya dibocorkan Edward Snowden, mantan analis intelijen AS.

Sejumlah pihak berharap rampungnya code of conduct yang mengandung rambu-rambu bagi peningkatan hubungan bilateral Indonesia-Australia tidak hanya akan lebih mempererat hubungan keduanya, tetapi juga memberikan landasan baru bagi pemerintah baru hasil Pemilu 9 Juli 2014 untuk bekerja bahu-membahu membangun masa depan bersama yang lebih cerah.

Prinsip ”24/7”

Seperti disinggung di atas, penyelenggaraan Pemilu 2014 telah menyerap segenap energi rakyat dan pemerintah, yang pada gilirannya menurunkan stamina Indonesia untuk memantau dan turut mengelola dinamika politik di kawasan saat ini.

Agenda politik para anggota kabinet menjelang, selama, dan pasca pemilu, terutama Pilpres 9 Juli 2014, tentu memengaruhi pelaksanaan peran yang seyogianya mereka mainkan. Padahal, sebagai salah satu negara terbesar di kawasan, Indonesia diharapkan secara kontinu turut mengelola potensi konflik serta memperkokoh arsitektur keamanan dan perdamaian kawasan, yang juga dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan pembangunan nasionalnya.

Dalam konteks inilah perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah mendatang untuk membentuk Dewan Keamanan Nasional (DKN). Anggota DKN yang terdiri atas para pakar politik luar negeri, militer, dan ekonomi—yang nonpartisan—itu secara berkesinambungan akan memantau, menganalisis, dan melaporkan kepada Presiden RI tentang perkembangan dinamika politik kawasan dan global, terutama yang memiliki dampak terhadap pencapaian kepentingan utama Indonesia, seperti tercantum pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Pembentukan DKN yang bekerja berdasarkan prinsip ”24/7” (24 jam sehari, 7 hari seminggu) tersebut dirasakan sangat mendesak. Hal ini mengingat kabinet hanya bersidang secara rutin sekali dalam seminggu, sementara dinamika politik kawasan dan global kadang kala bergerak dalam hitungan menit.

Selain meringankan beban Presiden, berfungsinya DKN secara sempurna juga akan menopang upaya peningkatan postur Indonesia di mata dunia internasional. Upaya ini mutlak diperlukan oleh Indonesia sebagai negara pemilik lebih dari 17.000 pulau yang kaya dengan sumber daya alam, pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, penduduk keempat terbesar di dunia dengan populasi Muslim terbesar pula, serta ekonomi terbesar kesepuluh di dunia (World Bank, 2014). Potensi besar tersebut hanya dimiliki oleh segelintir negara di dunia.

Sejumlah pakar dan negarawan dunia yang pernah penulis temui sering mengatakan bahwa dengan potensi yang sangat besar tersebut, sudah selayaknya Indonesia memainkan peran yang lebih signifikan di kawasan dan di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar