Persaingan
Tak Adil Pemilu 2014
Ramlan
Surbakti ; Guru Besar
Perbandingan Politik
pada FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS,
23 Juni 2014
PERSAINGAN
yang bebas dan adil antarkontestan pemilihan umum (partai dan/atau calon)
merupakan parameter ketiga untuk pemilu yang adil dan berintegritas. Persaingan
yang bebas dan adil antarpartai dan/atau calon akan dapat terwujud apabila
tujuh faktor berikut terjamin. Pertama, cara yang ditempuh partai dan/atau
calon untuk mendapatkan suara dari pemilih bukan dengan cara intimidasi,
kekerasan, dan transaksional (uang atau materi lainnya), melainkan dengan
cara dialogis dan cara lain yang dibenarkan secara hukum. Kedua, partai dan/atau
calon memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama untuk meyakinkan pemilih
(melaksanakan kampanye) di seluruh daerah pemilihan. Secara negatif,
indikator kedua ini dirumuskan sebagai tak ada hambatan, gangguan,
intimidasi, atau larangan bagi partai dan/atau calon tertentu melakukan
kampanye di satu atau lebih wilayah.
Ketiga,
petahana tidak menggunakan sumber daya publik (kewenangan, anggaran,
fasilitas, dan jam dinas) untuk kepentingan kampanye pemilu. Manipulasi
anggaran sebelum pemilu (pre-election fiscal manipulation) oleh petahana yang
duduk di lembaga legislatif dan eksekutif harus dikontrol. Keempat, ketentuan
yang mengatur dana kampanye, yang dirumuskan untuk menjamin transparansi dan
akuntabilitas penerimaan dan pengeluaran, ditegakkan secara konsisten.
Kelima, ketentuan yang mengatur pemasangan iklan kampanye pemilu di media
massa menjamin kesempatan yang sama bagi setiap partai dan/atau calon.
Keenam,
semua media massa, baik cetak maupun elektronik, tak hanya harus meliput
(memberitakan dan menyiarkan) kegiatan pemilu secara obyektif/faktual, tetapi
juga meliput kegiatan semua peserta pemilu. Pemilik media yang sekaligus
ketua partai secara potensial melanggar parameter persaingan yang adil karena
hanya meliput kegiatan partainya saja.
Ketujuh,
kampanye untuk mendapatkan suara dari pemilih tidak dengan menjelekkan
partai/calon lain karena suku bangsa, daerah, ras, jenis kelamin, dan agama,
tetapi dengan memperlihatkan prestasi partai/calon dalam pengabdian kepada
bangsa yang didukung data faktual. Karena identitas budaya seperti itu
merupakan given atau merupakan anugerah ilahi dan juga dijamin konstitusi,
kegiatan kampanye pemilu dengan menjelekkan identitas budaya pihak lawan
dan/atau mengagungkan identitas budaya sendiri dapat dikategorikan sebagai
persaingan yang tidak adil.
Persaingan kurang adil?
Derajat
persaingan ”bebas dan adil” antarpeserta pemilu/calon pada pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRDpada 2014 belum terlalu menggembirakan karena lima dari
tujuh indikator persaingan masih bermasalah. Pertama, penggunaan uang untuk
mendapatkan suara masih menonjol, baik dalam bentuk jual beli suara antara
caleg/tim sukses dan pemilih maupun antara caleg/tim sukses dan panitia
pelaksana (KPPS, PPS, PPK, dan KPU kabupaten/kota). Berdasarkan data yang
disampaikan Biro Penerangan Mabes Polri yang dikutip media, terdapat 88 kasus
tindak pidana berupa ”pemberian uang atau materi lainnya” untuk memengaruhi
pemilih (politik uang) dan sebanyak 117 kasus tindak pidana yang dapat
digolongkan sebagai transaksi antara caleg/tim sukses dan pelaksana pemilu.
Bentuknya,
antara lain menambah atau mengurangi suara, memilih menggunakan hak pilih
orang lain atau memberikan suara lebih dari satu kali, penggelembungan atau
penambahan suara, dan mengubah berita acara dan sertifikat hasil perhitungan
Suara. Sebanyak 66 caleg telah ditetapkan sebagai tersangka dan sebanyak 83
anggota tim sukses caleg telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri. Dalam
praktik, jumlah kasus transaksi jual beli suara seperti ini mungkin lebih
banyak daripada yang dapat dideteksi oleh Bawaslu/Panwas dan Polri.
Belum
diketahui berapa petahana legislatif (anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota) dan eksekutif (pengurus parpol yang menjadi kepala daerah)
yang menggunakan sumber daya publik untuk kampanye pemilu. Alokasi anggaran
dimanipulasi sebelum pemilu sehingga digunakan untuk kampanye. Dana aspirasi
untuk konstituen dari anggota DPR/DPRD, dana bantuan sosial dari kepala
daerah atau kementerian, anggaran Pembangunan infrastruktur desa (kepala
daerah), dan Program Jalan Lain Menuju Kesejahteraan Rakyat (kepala daerah)
merupakan sejumlah contoh penyalahgunaan sumber daya publik untuk kepentingan
pribadi (Penggunaan Dana Publik untuk Kampanye, Kemitraan dan Institute for
Strategic Initiatives, 2014).
Pengaturan lewat UU
Semua
parpol peserta pemilu sudah menyampaikan Laporan Akhir Penerimaan dan
Pengeluaran Dana Kampanye Pemilu kepada KPU untuk kemudian diaudit oleh
Kantor Akuntan Publik yang ditetapkan oleh KPU. Jumlah pengeluaran 12 parpol
peserta pemilu untuk kegiatan kampanye pemilu legislatif 2014 mencapai Rp
1.299.600.000.000 (satu triliun dua ratus sembilan puluh sembilan miliar enam
ratus juta rupiah). Partai Gerindra mengeluarkan dana terbesar untuk kampanye
pemilu (Rp 306 miliar), sedangkan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
mengeluarkan dana paling sedikit (Rp 19 miliar). Belum diketahui apakah
setiap peserta pemilu beserta para calonnya sudah melaporkan semua penerimaan
dan pengeluaran kampanye secara transparan dan akurat. Derajat kepatuhan
setiap peserta pemilu terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye akan dapat diketahui berdasarkan
hasil audit dari Kantor Akuntan Publik.
Secara
umum, dapat dikemukakan bahwa media cetak dan elektronik meliput/menyiarkan kegiatan
semua peserta pemilu secara relatif obyektif/faktual. Namun, tiga dari
delapan pemilik media terbesar di Indonesia merupakan ketua parpol. Karena
itu, walaupun meliput semua peserta pemilu, ketiga media diperkirakan lebih
banyak memberitakan/menyiarkan peserta pemilu tertentu. Tiga stasiun televisi
(TV) swasta mendapatkan peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia karena
menyiarkan acara kampanye partai tertentu secara terselubung pada waktu yang
salah (bukan pada masa kampanye, rapat umum, dan iklan kampanye melalui media
massa). Bahkan, satu TV swasta diperintahkan menghentikan satu program
tertentu.
Pemasangan
iklan kampanye pemilu di media massa dapat dikatakan tak merata karena hanya
partai/calon yang memiliki dana besar saja yang mampu memasang iklan kampanye
melalui media massa. Karena itu, persaingan yang adil dari segi pemasangan
iklan kampanye di TV atau surat kabar belum dapat diwujudkan. Karena para
pemilih semakin mengandalkan televisi sebagai sumber informasi politik,
negara melalui UU perlu menjamin persaingan yang adil dalam pemasangan iklan
kampanye. Peserta pemilu menyiapkan dan menyerahkan iklan kampanye kepada
stasiun TV berdasarkan ketentuan yang ditetapkan KPU, sedangkan stasiun TV
swasta mengirim tagihan kepada negara (KPU) setelah menyiarkan iklan
tersebut.
Setiap
peserta pemilu dan calon dapat dikatakan bebas melakukan kampanye di seluruh
wilayah Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, dapat
pula disimpulkan bahwa tidak ada pelaksana kampanye menjelekkan atau menghina
suku bangsa, daerah, jenis kelamin, ras, dan agama lain untuk keperluan
kampanye pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu, merupakan pelanggaran
pidana pemilu, setiap partai harus menghormati identitas kultural setiap
daerah dan kelompok di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar