Selasa, 24 Juni 2014

Persaingan Tak Adil Pemilu 2014

Persaingan Tak Adil Pemilu 2014

Ramlan Surbakti  ;   Guru Besar Perbandingan Politik
pada FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
KOMPAS, 23 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PERSAINGAN yang bebas dan adil antarkontestan pemilihan umum (partai dan/atau calon) merupakan parameter ketiga untuk pemilu yang adil dan berintegritas. Persaingan yang bebas dan adil antarpartai dan/atau calon akan dapat terwujud apabila tujuh faktor berikut terjamin. Pertama, cara yang ditempuh partai dan/atau calon untuk mendapatkan suara dari pemilih bukan dengan cara intimidasi, kekerasan, dan transaksional (uang atau materi lainnya), melainkan dengan cara dialogis dan cara lain yang dibenarkan secara hukum. Kedua, partai dan/atau calon memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama untuk meyakinkan pemilih (melaksanakan kampanye) di seluruh daerah pemilihan. Secara negatif, indikator kedua ini dirumuskan sebagai tak ada hambatan, gangguan, intimidasi, atau larangan bagi partai dan/atau calon tertentu melakukan kampanye di satu atau lebih wilayah.

Ketiga, petahana tidak menggunakan sumber daya publik (kewenangan, anggaran, fasilitas, dan jam dinas) untuk kepentingan kampanye pemilu. Manipulasi anggaran sebelum pemilu (pre-election fiscal manipulation) oleh petahana yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif harus dikontrol. Keempat, ketentuan yang mengatur dana kampanye, yang dirumuskan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas penerimaan dan pengeluaran, ditegakkan secara konsisten. Kelima, ketentuan yang mengatur pemasangan iklan kampanye pemilu di media massa menjamin kesempatan yang sama bagi setiap partai dan/atau calon.

Keenam, semua media massa, baik cetak maupun elektronik, tak hanya harus meliput (memberitakan dan menyiarkan) kegiatan pemilu secara obyektif/faktual, tetapi juga meliput kegiatan semua peserta pemilu. Pemilik media yang sekaligus ketua partai secara potensial melanggar parameter persaingan yang adil karena hanya meliput kegiatan partainya saja.

Ketujuh, kampanye untuk mendapatkan suara dari pemilih tidak dengan menjelekkan partai/calon lain karena suku bangsa, daerah, ras, jenis kelamin, dan agama, tetapi dengan memperlihatkan prestasi partai/calon dalam pengabdian kepada bangsa yang didukung data faktual. Karena identitas budaya seperti itu merupakan given atau merupakan anugerah ilahi dan juga dijamin konstitusi, kegiatan kampanye pemilu dengan menjelekkan identitas budaya pihak lawan dan/atau mengagungkan identitas budaya sendiri dapat dikategorikan sebagai persaingan yang tidak adil.

Persaingan kurang adil?

Derajat persaingan ”bebas dan adil” antarpeserta pemilu/calon pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRDpada 2014 belum terlalu menggembirakan karena lima dari tujuh indikator persaingan masih bermasalah. Pertama, penggunaan uang untuk mendapatkan suara masih menonjol, baik dalam bentuk jual beli suara antara caleg/tim sukses dan pemilih maupun antara caleg/tim sukses dan panitia pelaksana (KPPS, PPS, PPK, dan KPU kabupaten/kota). Berdasarkan data yang disampaikan Biro Penerangan Mabes Polri yang dikutip media, terdapat 88 kasus tindak pidana berupa ”pemberian uang atau materi lainnya” untuk memengaruhi pemilih (politik uang) dan sebanyak 117 kasus tindak pidana yang dapat digolongkan sebagai transaksi antara caleg/tim sukses dan pelaksana pemilu.

Bentuknya, antara lain menambah atau mengurangi suara, memilih menggunakan hak pilih orang lain atau memberikan suara lebih dari satu kali, penggelembungan atau penambahan suara, dan mengubah berita acara dan sertifikat hasil perhitungan Suara. Sebanyak 66 caleg telah ditetapkan sebagai tersangka dan sebanyak 83 anggota tim sukses caleg telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri. Dalam praktik, jumlah kasus transaksi jual beli suara seperti ini mungkin lebih banyak daripada yang dapat dideteksi oleh Bawaslu/Panwas dan Polri.

Belum diketahui berapa petahana legislatif (anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) dan eksekutif (pengurus parpol yang menjadi kepala daerah) yang menggunakan sumber daya publik untuk kampanye pemilu. Alokasi anggaran dimanipulasi sebelum pemilu sehingga digunakan untuk kampanye. Dana aspirasi untuk konstituen dari anggota DPR/DPRD, dana bantuan sosial dari kepala daerah atau kementerian, anggaran Pembangunan infrastruktur desa (kepala daerah), dan Program Jalan Lain Menuju Kesejahteraan Rakyat (kepala daerah) merupakan sejumlah contoh penyalahgunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi (Penggunaan Dana Publik untuk Kampanye, Kemitraan dan Institute for Strategic Initiatives, 2014).

Pengaturan lewat UU

Semua parpol peserta pemilu sudah menyampaikan Laporan Akhir Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye Pemilu kepada KPU untuk kemudian diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang ditetapkan oleh KPU. Jumlah pengeluaran 12 parpol peserta pemilu untuk kegiatan kampanye pemilu legislatif 2014 mencapai Rp 1.299.600.000.000 (satu triliun dua ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus juta rupiah). Partai Gerindra mengeluarkan dana terbesar untuk kampanye pemilu (Rp 306 miliar), sedangkan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mengeluarkan dana paling sedikit (Rp 19 miliar). Belum diketahui apakah setiap peserta pemilu beserta para calonnya sudah melaporkan semua penerimaan dan pengeluaran kampanye secara transparan dan akurat. Derajat kepatuhan setiap peserta pemilu terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur penerimaan dan pengeluaran dana kampanye akan dapat diketahui berdasarkan hasil audit dari Kantor Akuntan Publik.

Secara umum, dapat dikemukakan bahwa media cetak dan elektronik meliput/menyiarkan kegiatan semua peserta pemilu secara relatif obyektif/faktual. Namun, tiga dari delapan pemilik media terbesar di Indonesia merupakan ketua parpol. Karena itu, walaupun meliput semua peserta pemilu, ketiga media diperkirakan lebih banyak memberitakan/menyiarkan peserta pemilu tertentu. Tiga stasiun televisi (TV) swasta mendapatkan peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia karena menyiarkan acara kampanye partai tertentu secara terselubung pada waktu yang salah (bukan pada masa kampanye, rapat umum, dan iklan kampanye melalui media massa). Bahkan, satu TV swasta diperintahkan menghentikan satu program tertentu.

Pemasangan iklan kampanye pemilu di media massa dapat dikatakan tak merata karena hanya partai/calon yang memiliki dana besar saja yang mampu memasang iklan kampanye melalui media massa. Karena itu, persaingan yang adil dari segi pemasangan iklan kampanye di TV atau surat kabar belum dapat diwujudkan. Karena para pemilih semakin mengandalkan televisi sebagai sumber informasi politik, negara melalui UU perlu menjamin persaingan yang adil dalam pemasangan iklan kampanye. Peserta pemilu menyiapkan dan menyerahkan iklan kampanye kepada stasiun TV berdasarkan ketentuan yang ditetapkan KPU, sedangkan stasiun TV swasta mengirim tagihan kepada negara (KPU) setelah menyiarkan iklan tersebut.

Setiap peserta pemilu dan calon dapat dikatakan bebas melakukan kampanye di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, dapat pula disimpulkan bahwa tidak ada pelaksana kampanye menjelekkan atau menghina suku bangsa, daerah, jenis kelamin, ras, dan agama lain untuk keperluan kampanye pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu, merupakan pelanggaran pidana pemilu, setiap partai harus menghormati identitas kultural setiap daerah dan kelompok di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar