Dipenjara
Seumur Hidup
Hifdzil
Alim ; Peneliti Pusat Kajian
Antikorupsi FH UGM
|
TEMPO.CO,
26 Juni 2014
Jaksa
penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut terdakwa Akil
Mochtar hukuman penjara seumur hidup. "Menjatuhkan
pidana seumur hidup ditambah dengan pidana denda Rp 10 miliar dan pidana
tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang
ditentukan menurut aturan umum," kata jaksa Pulung Rinandoro di
Pengadilan Tipikor Jakarta (Koran
Tempo, 17 Juni 2014).
Dari
banyaknya catatan kasus korupsi, sepertinya baru kali ini jaksa melayangkan
tuntutan seumur hidup terhadap seorang terdakwa. Dari unsur penegak hukum,
pernah ada mantan jaksa Urip Tri Gunawan yang dituntut hukuman 15 tahun
penjara. Seorang mantan Inspektur Jenderal Djoko Susilo lebih tinggi tiga
tahun tuntutannya, yakni 18 tahun. Tak sampai angka pidana penjara maksimal
20 tahun.
Untuk
menuntut pesakitan dengan ancaman penjara seumur hidup? Belum ada, sampai
korps Adhyaksa melakukannya terhadap mantan Ketua Hakim Konstitusi. Waktu
serasa benar-benar berhenti bagi Akil. Dinginnya bui mulai menggelayut di
hadapannya.
Ancaman
pidana seumur hidup bukanlah stelsel baru dalam undang-undang pemberantasan
korupsi. Dalam UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 setidaknya ditemukan
empat ketentuan ancaman penjara seumur hidup, yakni dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 12, dan Pasal 12B. Meski disebutkan, bunyi keempat pasal tersebut
menyuratkan sifat alternatif, bukan kumulatif. Penjara seumur hidup adalah
sebuah pilihan ancaman, bukan keharusan.
Ada
faktor yang mempengaruhi jaksa menjatuhkan pilihan ancaman. Selain rumusan
delik yang harus dipenuhi, kondisi di luar hukum, semisal sosial, politik,
atau ekonomi, bisa menjadi alasan dasar (basic
reason) dalam menyepakati pasal mana yang akan diancamkan terhadap
terdakwa. Tengok saja begini, sebagian bunyi Pasal 12 huruf c Undang-Undang
Pemberantasan Korupsi adalah "Dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun
dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling
banyak Rp 1 miliar... c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili."
Kenapa
penjara seumur hidup-berdasarkan rumusan Pasal 12 huruf c-diancamkan kepada
oknum hakim korup? Kenapa bukan pidana 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar
saja yang dipilih? Faktor di luar hukum positif turut andil dalam pengambilan
keputusan ini. Pertama, faktor sosial. Hakim, sebagaimana banyak orang paham,
adalah wakil Tuhan di bumi. Khalayak menyerahkan perkaranya untuk diadili
kepada wakil Tuhan. Lalu, usut punya usut, hakimnya ternyata korup. Maka si
hakim ini melakukan dua kebohongan dalam waktu bersamaan. Membohongi para
pencari keadilan (justicianabelen)
dan membohongi pemberi mandat, yakni Tuhan, sehingga apa hukuman yang pantas
untuk hakim yang korup kalau bukan penjara seumur hidup?
Kedua,
faktor politik ketatanegaraan juga bisa mempengaruhi jaksa dalam memilih
ancaman pidana penjara seumur hidup. Dalam kasus Akil Mochtar, faktor politik
ketatanegaraan ini bentuknya lebih spesifik. Negara dan rakyat mempercayakan
posisi kursi utama kepada Akil sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman. Tapi, ia malah mengkhianati posisi tersebut.
Akibatnya, sempat keadaan negara tidak stabil karena pilar kekuasaan
kehakiman goyah. Ketua MK ditangkap karena korupsi. Kepercayaan terhadap
kekuasaan kehakiman, lambat tapi teratur, turun ke titik nadir, sehingga apa
hukuman yang pantas kalau bukan penjara seumur hidup?
Ketiga,
faktor pengkhianatan terhadap harapan publik. Pengkhianatan paling besar
sebenarnya dilakukan kepada optimisme rakyat dalam melawan korupsi. Waktu
itu, MK dianggap satu-satunya lembaga yang bersih dan tidak terkontaminasi
perilaku jahat setelah KPK dirundung masalah pidana karena Antasari Azhar,
mantan Ketua KPK, terjerat kasus pembunuhan. Ekspektasi publik terhadap KPK
menurun. Tinggal MK jadi tumpuan. Prof Jimly Ashiddiqie, Ketua MK pertama,
dinilai berhasil menjaga institusinya. Mahfud Md., Ketua MK berikutnya,
melanjutkan keberhasilan ini. Paling tidak, ketua MK tak korupsi. Giliran
Akil Mochtar, korupsi bebas (atau sengaja dibuat bebas?) masuk ke MK.
Optimisme publik dibunuh. Pesimisme muncul seperti cendawan: tak ada lagi
lembaga yang bebas dari korupsi, sehingga apa hukuman yang pantas untuk orang
nomor satu di kekuasaan yudisial yang diduga korup dan mematikan optimisme
publik kalau bukan penjara seumur hidup?
Tak ada
yang perlu dirisaukan dengan ancaman penjara seumur hidup. Hukum positif
jauh-jauh hari sudah memasukkan ketentuan demikian. Cuma jaksa tak sering
memanfaatkannya. Sebab, ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, selain
sifat ancamannya yang alternatif itu. Sekarang jaksa mulai berani, dan akan
terbiasa menggunakannya. Pesannya hanya satu, korupsi, dalam wujud apa pun,
menjadi penyakit yang menggerogoti rakyat dan negara. Maka harus dilawan
dengan peranti yang maksimal: penjara seumur hidup... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar