Jumat, 27 Juni 2014

Dipenjara Seumur Hidup

Dipenjara Seumur Hidup

Hifdzil Alim  ;   Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
TEMPO.CO, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut terdakwa Akil Mochtar hukuman penjara seumur hidup. "Menjatuhkan pidana seumur hidup ditambah dengan pidana denda Rp 10 miliar dan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang ditentukan menurut aturan umum," kata jaksa Pulung Rinandoro di Pengadilan Tipikor Jakarta (Koran Tempo, 17 Juni 2014).

Dari banyaknya catatan kasus korupsi, sepertinya baru kali ini jaksa melayangkan tuntutan seumur hidup terhadap seorang terdakwa. Dari unsur penegak hukum, pernah ada mantan jaksa Urip Tri Gunawan yang dituntut hukuman 15 tahun penjara. Seorang mantan Inspektur Jenderal Djoko Susilo lebih tinggi tiga tahun tuntutannya, yakni 18 tahun. Tak sampai angka pidana penjara maksimal 20 tahun.

Untuk menuntut pesakitan dengan ancaman penjara seumur hidup? Belum ada, sampai korps Adhyaksa melakukannya terhadap mantan Ketua Hakim Konstitusi. Waktu serasa benar-benar berhenti bagi Akil. Dinginnya bui mulai menggelayut di hadapannya.

Ancaman pidana seumur hidup bukanlah stelsel baru dalam undang-undang pemberantasan korupsi. Dalam UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 setidaknya ditemukan empat ketentuan ancaman penjara seumur hidup, yakni dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 12, dan Pasal 12B. Meski disebutkan, bunyi keempat pasal tersebut menyuratkan sifat alternatif, bukan kumulatif. Penjara seumur hidup adalah sebuah pilihan ancaman, bukan keharusan.

Ada faktor yang mempengaruhi jaksa menjatuhkan pilihan ancaman. Selain rumusan delik yang harus dipenuhi, kondisi di luar hukum, semisal sosial, politik, atau ekonomi, bisa menjadi alasan dasar (basic reason) dalam menyepakati pasal mana yang akan diancamkan terhadap terdakwa. Tengok saja begini, sebagian bunyi Pasal 12 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Korupsi adalah "Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar... c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili."

Kenapa penjara seumur hidup-berdasarkan rumusan Pasal 12 huruf c-diancamkan kepada oknum hakim korup? Kenapa bukan pidana 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar saja yang dipilih? Faktor di luar hukum positif turut andil dalam pengambilan keputusan ini. Pertama, faktor sosial. Hakim, sebagaimana banyak orang paham, adalah wakil Tuhan di bumi. Khalayak menyerahkan perkaranya untuk diadili kepada wakil Tuhan. Lalu, usut punya usut, hakimnya ternyata korup. Maka si hakim ini melakukan dua kebohongan dalam waktu bersamaan. Membohongi para pencari keadilan (justicianabelen) dan membohongi pemberi mandat, yakni Tuhan, sehingga apa hukuman yang pantas untuk hakim yang korup kalau bukan penjara seumur hidup?

Kedua, faktor politik ketatanegaraan juga bisa mempengaruhi jaksa dalam memilih ancaman pidana penjara seumur hidup. Dalam kasus Akil Mochtar, faktor politik ketatanegaraan ini bentuknya lebih spesifik. Negara dan rakyat mempercayakan posisi kursi utama kepada Akil sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Tapi, ia malah mengkhianati posisi tersebut. Akibatnya, sempat keadaan negara tidak stabil karena pilar kekuasaan kehakiman goyah. Ketua MK ditangkap karena korupsi. Kepercayaan terhadap kekuasaan kehakiman, lambat tapi teratur, turun ke titik nadir, sehingga apa hukuman yang pantas kalau bukan penjara seumur hidup?

Ketiga, faktor pengkhianatan terhadap harapan publik. Pengkhianatan paling besar sebenarnya dilakukan kepada optimisme rakyat dalam melawan korupsi. Waktu itu, MK dianggap satu-satunya lembaga yang bersih dan tidak terkontaminasi perilaku jahat setelah KPK dirundung masalah pidana karena Antasari Azhar, mantan Ketua KPK, terjerat kasus pembunuhan. Ekspektasi publik terhadap KPK menurun. Tinggal MK jadi tumpuan. Prof Jimly Ashiddiqie, Ketua MK pertama, dinilai berhasil menjaga institusinya. Mahfud Md., Ketua MK berikutnya, melanjutkan keberhasilan ini. Paling tidak, ketua MK tak korupsi. Giliran Akil Mochtar, korupsi bebas (atau sengaja dibuat bebas?) masuk ke MK. Optimisme publik dibunuh. Pesimisme muncul seperti cendawan: tak ada lagi lembaga yang bebas dari korupsi, sehingga apa hukuman yang pantas untuk orang nomor satu di kekuasaan yudisial yang diduga korup dan mematikan optimisme publik kalau bukan penjara seumur hidup?

Tak ada yang perlu dirisaukan dengan ancaman penjara seumur hidup. Hukum positif jauh-jauh hari sudah memasukkan ketentuan demikian. Cuma jaksa tak sering memanfaatkannya. Sebab, ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, selain sifat ancamannya yang alternatif itu. Sekarang jaksa mulai berani, dan akan terbiasa menggunakannya. Pesannya hanya satu, korupsi, dalam wujud apa pun, menjadi penyakit yang menggerogoti rakyat dan negara. Maka harus dilawan dengan peranti yang maksimal: penjara seumur hidup...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar