Politik
Praktis Penyelenggara Negara
Reza
Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency
International - Indonesia
|
TEMPO.CO,
25 Juni 2014
Penyelenggaraan
pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden mulai memunculkan
friksi negatif di antara penyelenggara negara. Masuknya beberapa
penyelenggara negara aktif dalam tim pemenangan calon tertentu, mulai dari
bupati/wali kota/gubernur, menteri, hingga anggota badan negara independen
(BPK), telah mengundang beragam reaksi.
Dalam
hal ini, presiden bahkan menyarankan agar penyelenggara negara aktif
mengajukan pengunduran diri sesuai dengan ketentuan. Untuk melihat
keterlibatan penyelenggara negara dalam pilpres, dapat mengkajinya baik dalam
perspektif hukum maupun etik (kode etik).
Undang-undang
sama sekali tidak mengatur secara spesifik bahwa pejabat negara setingkat
presiden, wakil presiden, menteri, atau kepala daerah masuk dalam tim
kampanye resmi yang didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Frasa
dalam undang-undang hanya menyebutkan tentang "mengikutsertakan"
dalam kampanye. Artinya lebih mengarah ke pelibatan mereka dalam kegiatan
kampanye, bukan dalam konteks pencantumannya dalam tim kampanye resmi.
Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara juga tidak
diatur mengenai hal ini, apalagi bagi presiden dan wakil presiden.
Sepertinya, undang-undang luput untuk mengatur hal ini, setidaknya dalam
Undang-Undang Pilpres. Padahal pembatasan semacam ini begitu penting untuk
menciptakan prinsip fairness dalam penyelenggaraan pemilu.
Pada
sisi lain, undang-undang mencoba membatasi penggunaan kebijakan oleh
penyelenggara negara, termasuk bagi kepala desa. Dalam masa kampanye, pejabat
negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta
kepala desa atau sebutan lain dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan
yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Selain
itu, ada larangan untuk mengadakan kegiatan yang mengarah ke keberpihakan,
baik dalam bentuk pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, maupun pemberian barang
kepada pegawai negeri di lingkungan unit kerjanya, keluarga, dan masyarakat
yang dilakukan baik sebelum, selama, maupun sesudah masa kampanye. Larangan
ini patut menjadi perhatian bagi semua pihak, baik pengawas pemilu, penegak
hukum, maupun masyarakat. Ada sanksi pidana penjara dan denda yang bisa
dijatuhkan jika pejabat atau penyelenggara negara melanggar larangan tersebut
(Pasal 211-212 UU Pilpres).
Kelemahan
pengaturan yang membatasi penggunaan kewenangan pejabat negara dalam kegiatan
politik praktis mesti disiasati dengan mengawasi setiap kebijakan atau
tindakan yang mereka lakukan. Sebab, di situlah potensi penyalahgunaan
kekuasaan/kewenangan yang akan menguntungkan atau merugikan pasangan calon
tertentu.
Presiden
sebetulnya memiliki kuasa yang lebih besar untuk meminimalkan potensi
penggunaan kewenangan ini untuk kegiatan politik. Namun, sayangnya, presiden
sendiri terjebak dalam dualisme jabatan yang diembannya, baik sebagai
pengurus partai politik maupun sebagai presiden. Maka, agak sulit untuk
berharap presiden akan mengambil tindakan preventif minimal terhadap para
pembantunya (menteri) dalam kaitan dengan potensi terjadinya kejahatan
(pidana) pemilu di atas.
Ihwal
keterlibatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ali Masykur Musa, dalam
tim pemenangan calon tertentu ini juga luput dari pengaturan dalam
Undang-Undang Pilpres. Undang-undang hanya memberikan larangan bagi pelaksana
kampanye untuk mengikutsertakan anggota BPK dalam kegiatan kampanye.
Perbuatan
ini dapat menjerat pelaksana kampanye dan anggota BPK sebagai pelaku
kejahatan atau pidana pemilu yang diancam pidana penjara dan denda (pasal 216
- 217 UU Pilpres). Tetapi pengaturan ini memiliki kelemahan mendasar, bahwa
perbuatan ini hanya berlaku dalam kegiatan kampanye. Tidak ada larangan jika
itu dilakukan baik sebelum maupun sesudah masa kampanye. Padahal ini justru
diberlakukan terhadap penyelenggara atau pejabat negara yang lain (Pasal 44
UU Pilpres).
Jika
sanksi pidana tidak dimungkinkan karena tak diatur dalam Undang-Undang
Pilpres, sanksi etik masih terbuka lebar mengingat perbuatan ini telah
mendegradasi keberadaan BPK sebagai lembaga negara yang independen. Ada
ketentuan etik yang dilanggar karena terlibat secara langsung dalam kegiatan
politik praktis.
Menurut
Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kode Etik BPK pada pasal 6 ayat (2)
huruf (a), anggota BPK dilarang menunjukkan keberpihakan dan dukungan kepada
kegiatan-kegiatan politik praktis. Maka, berdasarkan hal ini, tidak ada
alasan bagi Majelis Kehormatan Kode Etik BPK untuk tidak menyidangkan yang
bersangkutan karena diduga telah melanggar kode etik.
Ke
depan, sebaiknya ada pengaturan yang lebih komprehensif untuk mengatur
seluruh penyelenggara negara dalam kegiatan politik praktis. Sanksi pidana
dan etik perlu diberlakukan agar potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk
kepentingan politik bisa diminimalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar