Puasa
Putu
Setia ; Pengarang, Wartawan
Senior TEMPO
|
TEMPO.CO,
28 Juni 2014
Ramadan sudah datang. Bulan suci
penuh berkah yang dinanti umat Islam. Sebagai nonmuslim, saya akan menuturkan
pengalaman yang barangkali dialami oleh para sahabat muslim ketika pertama
kali memperkenalkan anak-anak pada kegiatan puasa.
Saat itu, akhir Januari lalu,
umat Hindu melakukan brata (pantangan) ketika merayakan hari Siwaratri. Salah
satu pantangan adalah berpuasa, dalam Hindu disebut upawasa. Cucu kedua saya, enam tahun, diajak "belajar
berpuasa". Dia bersedia, bahkan dengan semangat.
Ternyata di siang hari yang
panas itu dia masuk kamar dan minum. Ini diintip kakaknya, dan sang kakak
langsung lapor ke saya. Ketika saya konfirmasi, anak itu langsung menangis:
"Kan sudah sembunyi, kakak yang curang, kok diintip. Kalau tak diintip
kan tak ada yang tahu."
Saya rayu dia supaya berhenti
menangis. "Kalau tak tahan puasa, tak apa-apa. Kan baru pertama, nanti
juga terbiasa," kata saya. Setelah tangisnya berhenti, saya katakan:
"Puasa itu bukan untuk Bunda, bukan untuk Bapak, apalagi untuk Kakek.
Tidak, puasa itu untuk Tuhan. Kan Tuhan tak pernah tidur, Tuhan melihat kita.
Jadi, kita tak bisa berbohong sama Tuhan."
Ketika saya bertugas di Yogya,
rutin menyelenggarakan buka puasa di kantor. Yang diundang bukan cuma
teman-teman wartawan, juga para pejabat dan aktivis. Yang memberi siraman
rohani menjelang puasa lebih banyak pengajar di Pesantren Pabelan, kebetulan
saya dekat dengan Kiai Haji Hamam Dja'far--kini almarhum--pengasuh pesantren.
Kami biasa bergurau menunggu undangan lengkap. Teman-teman wartawan suka
menggoda: "Memangnya kamu puasa?" Saya hanya tertawa. Sesungguhnya
saya memang puasa. Tapi, kalau itu harus disebutkan, terasa pamer.
"Puasa
itu bukan untuk dipamer-pamerkan. Kebohongan yang paling mudah dilakukan
adalah menyebut diri berpuasa padahal tidak," ini
kata-kata yang saya ingat dari Kiai Hamam Dja'far. Kalau tak salah, pada 1982
itu saya sekeluarga diundang makan siang dengan menu lele bakar hasil ternak
di pesantren, seminggu sebelum Ramadan tiba.
Cucu saya ingin berbohong, dan
itu hampir sempurna kalau saja tidak diintip dan kemudian dilaporkan oleh
kakaknya. Tapi kakaknya sendiri, kelas dua sekolah dasar, memang suka pamer.
Setiap kali tiba berpuasa pada hari-hari tertentu, setelah surya terbenam
pertanda puasa diakhiri, dia selalu teriak: "Saya berhasil, mana es
krimnya." Ibunya suka ngeledek: "Benar nih...?" Dan dia langsung
jawab: "Idih, kok pakai bohong."
Di sekitar kita, mendadak pada
bulan-bulan puasa ada banyak orang saleh. Undangan berbuka puasa hampir
setiap hari dengan menu yang cukup menggiurkan. Yang ikut berbuka tak cuma
umat Islam, juga umat nonmuslim. Sebuah tradisi yang bagus untuk kebersamaan,
meski kalau dilanjutkan dengan tarawih hanya diikuti oleh umat Islam. Yang
non-Islam disilakan bubar.
Apakah puasa hanya memindahkan jam makan pada
siang ke malam? Apakah puasa hanya menahan lapar sambil membayangkan bahwa
saat berbuka nanti akan dipuaskan lidah dengan makanan yang lezat? Apakah
puasa hanya menunda caci-maki di media sosial siang hari untuk dilanjutkan
malam hari? Kalau cuma itu, nurani kita tak bisa merasakan bagaimana kaum
duafa yang tidak makan karena tak ada yang dimakan. Hanya menunda maki dan
fitnah di siang hari--dengan akun Twitter dan Facebook palsu pula--untuk
dilanjutkan malamnya. Puasa, dalam ajaran agama apa pun, adalah mengendalikan
nafsu dan membagi hati untuk orang-orang yang menderita.
Pengalaman saya ini tak
bermaksud "menggarami laut",
hanya untuk berbagi. Selamat
melaksanakan ibadah puasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar