Senin, 30 Juni 2014

Puasa

Puasa

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior TEMPO
TEMPO.CO, 28 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Ramadan sudah datang. Bulan suci penuh berkah yang dinanti umat Islam. Sebagai nonmuslim, saya akan menuturkan pengalaman yang barangkali dialami oleh para sahabat muslim ketika pertama kali memperkenalkan anak-anak pada kegiatan puasa.

Saat itu, akhir Januari lalu, umat Hindu melakukan brata (pantangan) ketika merayakan hari Siwaratri. Salah satu pantangan adalah berpuasa, dalam Hindu disebut upawasa. Cucu kedua saya, enam tahun, diajak "belajar berpuasa". Dia bersedia, bahkan dengan semangat.

Ternyata di siang hari yang panas itu dia masuk kamar dan minum. Ini diintip kakaknya, dan sang kakak langsung lapor ke saya. Ketika saya konfirmasi, anak itu langsung menangis: "Kan sudah sembunyi, kakak yang curang, kok diintip. Kalau tak diintip kan tak ada yang tahu."

Saya rayu dia supaya berhenti menangis. "Kalau tak tahan puasa, tak apa-apa. Kan baru pertama, nanti juga terbiasa," kata saya. Setelah tangisnya berhenti, saya katakan: "Puasa itu bukan untuk Bunda, bukan untuk Bapak, apalagi untuk Kakek. Tidak, puasa itu untuk Tuhan. Kan Tuhan tak pernah tidur, Tuhan melihat kita. Jadi, kita tak bisa berbohong sama Tuhan."

Ketika saya bertugas di Yogya, rutin menyelenggarakan buka puasa di kantor. Yang diundang bukan cuma teman-teman wartawan, juga para pejabat dan aktivis. Yang memberi siraman rohani menjelang puasa lebih banyak pengajar di Pesantren Pabelan, kebetulan saya dekat dengan Kiai Haji Hamam Dja'far--kini almarhum--pengasuh pesantren. Kami biasa bergurau menunggu undangan lengkap. Teman-teman wartawan suka menggoda: "Memangnya kamu puasa?" Saya hanya tertawa. Sesungguhnya saya memang puasa. Tapi, kalau itu harus disebutkan, terasa pamer.

"Puasa itu bukan untuk dipamer-pamerkan. Kebohongan yang paling mudah dilakukan adalah menyebut diri berpuasa padahal tidak," ini kata-kata yang saya ingat dari Kiai Hamam Dja'far. Kalau tak salah, pada 1982 itu saya sekeluarga diundang makan siang dengan menu lele bakar hasil ternak di pesantren, seminggu sebelum Ramadan tiba.

Cucu saya ingin berbohong, dan itu hampir sempurna kalau saja tidak diintip dan kemudian dilaporkan oleh kakaknya. Tapi kakaknya sendiri, kelas dua sekolah dasar, memang suka pamer. Setiap kali tiba berpuasa pada hari-hari tertentu, setelah surya terbenam pertanda puasa diakhiri, dia selalu teriak: "Saya berhasil, mana es krimnya." Ibunya suka ngeledek: "Benar nih...?" Dan dia langsung jawab: "Idih, kok pakai bohong."

Di sekitar kita, mendadak pada bulan-bulan puasa ada banyak orang saleh. Undangan berbuka puasa hampir setiap hari dengan menu yang cukup menggiurkan. Yang ikut berbuka tak cuma umat Islam, juga umat nonmuslim. Sebuah tradisi yang bagus untuk kebersamaan, meski kalau dilanjutkan dengan tarawih hanya diikuti oleh umat Islam. Yang non-Islam disilakan bubar.

Apakah puasa hanya memindahkan jam makan pada siang ke malam? Apakah puasa hanya menahan lapar sambil membayangkan bahwa saat berbuka nanti akan dipuaskan lidah dengan makanan yang lezat? Apakah puasa hanya menunda caci-maki di media sosial siang hari untuk dilanjutkan malam hari? Kalau cuma itu, nurani kita tak bisa merasakan bagaimana kaum duafa yang tidak makan karena tak ada yang dimakan. Hanya menunda maki dan fitnah di siang hari--dengan akun Twitter dan Facebook palsu pula--untuk dilanjutkan malamnya. Puasa, dalam ajaran agama apa pun, adalah mengendalikan nafsu dan membagi hati untuk orang-orang yang menderita.

Pengalaman saya ini tak bermaksud "menggarami laut", hanya untuk berbagi. Selamat melaksanakan ibadah puasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar