Kualitas,
Bukan Kuantitas
Ahmad
Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Juni 2014
PADA masa kampanye yang teramat
panas saat ini, hampir dapat dipastikan tak ada masyarakat yang tak terpecah.
Secara psikologis, perpecahan yang terjadi di hampir semua lapisan
sosial-budaya masyarakat saat ini sebenarnya sangat mengkhawatirkan karena
klaim dari setiap capres/ cawapres memang banyak tidak sehatnya. Maksudnya,
semua argumen yang dibangun hampir seluruhnya tanpa data dan fakta, dan itu
dapat menciptakan ketidakstabilan emosi masyarakat yang rata-rata tingkat
pendidikannya juga tidak tinggi.
Pengaruh buruk yang saya maksud
secara emosional tidak sehat ialah bagaimana terbukanya pertentangan satu
kelompok dengan kelompok lain, terutama di tingkat para alim ulama dan
guru-guru baik di sekolah, madrasah, maupun pondok pesantren. Efek dari
pertentangan tersebut secara langsung membawa kebingungan di kalangan siswa
karena nilai-nilai dasar untuk berkompetisi secara jujur sama sekali seperti
tak dihiraukan para capres/cawapres. Akhirnya para capres/cawapres cenderung
mengusung tema-tema populis tanpa data dan fakta, seperti isu tentang
kesejahteraan guru yang selalu laku dikemas dengan cara apa pun.
Hampir dapat dipastikan, karena
jumlah guru di Indonesia sangatlah berlebih, mereka rentan menjadi sasaran
kampanye populis. Isu penaikan gaji selalu dibanderol sebagai strategi yang
sama sekali tak mencerdaskan ketimbang melihat profesionalisme dan kompetensi
para guru kita saat ini. Saya teringat isi kampanye lima tahun lalu ketika
tim pemenangan SBY mengusung isu itu melalui kemasan program sertifikasi
guru. Hasilnya? Seperti kita tahu semua, program sertifikasi memang berjalan,
tetapi kualitas guru dan kualitas sekolah tak beranjak secara signifikan.
Pembedaan makna
Jika ditengok ke belakang dengan
membaca secara saksama UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1
ayat 1 menyebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Serentetan tugas yang tidak
ringan seperti itu membuat guru mempunyai peran strategis dalam pengembangan
sumber daya manusia Indonesia. Lingkup tugas guru tersebut juga jauh lebih
berat dan lebih banyak, bahkan daripada ruang lingkup tugas dosen dan guru
besar sekalipun. Entah apa yang ada di benak para penyusun UU yang membedakan
makna mendidik dan mengajar dengan membimbing dan mengarahkan, serta
membedakan antara menilai dan mengevaluasi.
Belum lagi beban `profesional'
yang menyiratkan kesungguhan dan ketekunan dalam setiap usaha peningkatan
kapasitas dan kompetensi guru, disertai dengan pengembangan kompetensi
pedagogis, kepribadian, dan sosial seorang guru.
Ada banyak kekhawatiran
tentang guru jika dilihat dari aspek ruang lingkup tugas, profesionalisme,
dan upaya pemerintah dalam melakukan usaha peningkatan kapasitas dan
kompetensi guru melalui proses sertifikasi. Kekhawatiran tersebut menyangkut
pola sertifikasi guru yang di dalam UU sangat rentan karena kewenangan
penyelenggaraannya hanya diberikan kepada lembaga pendidikan tinggi yang
ditunjuk pemerintah.
Padahal, jika proses sertifikasi
didahului pemetaan kapasitas pedagogis yang menyangkut penguasaan
instruksional materi ataupun organisasi sekolah, program itu sesungguhnya
bisa diandalkan. Dalam hal penguasaan aspek instruksional, pemahaman guru
tentang pengembangan kurikulum dapat disertifikasi melalui jalur formal
seperti yang dirancang pemerintah. Jalur peningkatan kemampuan instruksional
tersebut, jika dirancang dengan paduan pola internship yang komprehensif dan
melibatkan banyak pengawas sekolah yang kompeten, diharapkan akan
meningkatkan kapasitas leadership guru. Untuk meningkatkan kemampuan
organisasional dan manajerial sekolah secara khusus, guru perlu dibiasakan
untuk melakukan banyak peran dalam membantu tugas-tugas kepala sekolah.
Inilah salah satu makna penting dari proses sertifikasi terhadap kemampuan
leadership guru (Halverson & Diamond, 2011).
Libatkan guru
Upaya peningkatan mutu
pendidikan melalui peningkatan kemampuan leadership guru juga akan
mempermudah upaya sekolah dalam menggalang dukungan masyarakat. Guru yang
memiliki leader ship yang baik akan mampu berkomunikasi secara efisien dengan
masyarakat. Pada tahap tersebut, perluasan kapasitas dan tanggung jawab guru
akan memberikan ruang bagi mereka melakukan banyak inisiatif dalam bekerja
atas nama sekolah. Profesionalisme jenis itu sekaligus akan meningkatkan
citra sekolah dan kemampuan akademis siswa sekaligus (Talbert &
McLaughlin, 1994).
Beberapa hasil riset
menunjukkan, semakin guru diberi kesempatan untuk membantu lebih banyak tugas
administratif dan kehumasan sekolah, serta diikutsertakan dalam menentukan
proses pengambilan keputusan di tingkat sekolah dan disertakan dalam memantau
keberlangsungan sebuah kebijakan, budaya sekolah akan berubah ke arah positif
dan memberi banyak peluang pada kemungkinan keberhasilan akademis yang bisa
dicapai (Fessler & Ungaretti, 1994).
Proses sertifikasi kemampuan
leadership guru sebenarnya dapat membantu pemerintah dalam upaya meningkatkan
kompetensi guru, baik kompetensi pada aspek pedagogis, kepribadian, maupun
sosial. Hanya, pertanyaannya ialah, adakah kemungkinan kebijakan bagi
pengembangan model sertifikasi jenis itu di benak para capres/cawapres ke
depan? Jika mungkin, universitas atau lembaga swadaya masyarakat jenis apa
yang bisa melakukannya? Seperti kita ketahui bersama, kelemahan mendasar
proses peningkatan kapasitas dan kemampuan kompetensi guru kita selama ini
lebih kepada tiadanya keseriusan kerja sama antara para peneliti di perguruan
tinggi dan otoritas pendidikan.
Guru selama ini hanya menjadi
objek pelatihan dan program sertifikasi yang dikembangkan tanpa riset dan assessment tentang kebutuhan akademis
guru itu sendiri. Harus disadari bersama, kedudukan sekolah bagi masyarakat
Indonesia sangat strategis, yakni sebagai tempat penyemaian bakat siswa
sekaligus kemampuan guru dalam mengajar. Fungsi dan kedudukan mereka
seharusnya mendapat dukungan akademis secara maksimal dari kalangan perguruan
tinggi secara konkret dan berkesinambungan.
Adalah
tugas perguruan tinggi untuk bekerja sama secara langsung dengan sekolah,
atau paling tidak membuat cluster-cluster
binaan, sehingga proses sertifikasi jenis itu menjadi reliable di masa
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar