Rabu, 11 Juni 2014

Kualitas, Bukan Kuantitas

Kualitas, Bukan Kuantitas

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  09 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PADA masa kampanye yang teramat panas saat ini, hampir dapat dipastikan tak ada masyarakat yang tak terpecah. Secara psikologis, perpecahan yang terjadi di hampir semua lapisan sosial-budaya masyarakat saat ini sebenarnya sangat mengkhawatirkan karena klaim dari setiap capres/ cawapres memang banyak tidak sehatnya. Maksudnya, semua argumen yang dibangun hampir seluruhnya tanpa data dan fakta, dan itu dapat menciptakan ketidakstabilan emosi masyarakat yang rata-rata tingkat pendidikannya juga tidak tinggi.

Pengaruh buruk yang saya maksud secara emosional tidak sehat ialah bagaimana terbukanya pertentangan satu kelompok dengan kelompok lain, terutama di tingkat para alim ulama dan guru-guru baik di sekolah, madrasah, maupun pondok pesantren. Efek dari pertentangan tersebut secara langsung membawa kebingungan di kalangan siswa karena nilai-nilai dasar untuk berkompetisi secara jujur sama sekali seperti tak dihiraukan para capres/cawapres. Akhirnya para capres/cawapres cenderung mengusung tema-tema populis tanpa data dan fakta, seperti isu tentang kesejahteraan guru yang selalu laku dikemas dengan cara apa pun.

Hampir dapat dipastikan, karena jumlah guru di Indonesia sangatlah berlebih, mereka rentan menjadi sasaran kampanye populis. Isu penaikan gaji selalu dibanderol sebagai strategi yang sama sekali tak mencerdaskan ketimbang melihat profesionalisme dan kompetensi para guru kita saat ini. Saya teringat isi kampanye lima tahun lalu ketika tim pemenangan SBY mengusung isu itu melalui kemasan program sertifikasi guru. Hasilnya? Seperti kita tahu semua, program sertifikasi memang berjalan, tetapi kualitas guru dan kualitas sekolah tak beranjak secara signifikan.

Pembedaan makna

Jika ditengok ke belakang dengan membaca secara saksama UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 ayat 1 menyebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Serentetan tugas yang tidak ringan seperti itu membuat guru mempunyai peran strategis dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Lingkup tugas guru tersebut juga jauh lebih berat dan lebih banyak, bahkan daripada ruang lingkup tugas dosen dan guru besar sekalipun. Entah apa yang ada di benak para penyusun UU yang membedakan makna mendidik dan mengajar dengan membimbing dan mengarahkan, serta membedakan antara menilai dan mengevaluasi.

Belum lagi beban `profesional' yang menyiratkan kesungguhan dan ketekunan dalam setiap usaha peningkatan kapasitas dan kompetensi guru, disertai dengan pengembangan kompetensi pedagogis, kepribadian, dan sosial seorang guru. 

Ada banyak kekhawatiran tentang guru jika dilihat dari aspek ruang lingkup tugas, profesionalisme, dan upaya pemerintah dalam melakukan usaha peningkatan kapasitas dan kompetensi guru melalui proses sertifikasi. Kekhawatiran tersebut menyangkut pola sertifikasi guru yang di dalam UU sangat rentan karena kewenangan penyelenggaraannya hanya diberikan kepada lembaga pendidikan tinggi yang ditunjuk pemerintah.

Padahal, jika proses sertifikasi didahului pemetaan kapasitas pedagogis yang menyangkut penguasaan instruksional materi ataupun organisasi sekolah, program itu sesungguhnya bisa diandalkan. Dalam hal penguasaan aspek instruksional, pemahaman guru tentang pengembangan kurikulum dapat disertifikasi melalui jalur formal seperti yang dirancang pemerintah. Jalur peningkatan kemampuan instruksional tersebut, jika dirancang dengan paduan pola internship yang komprehensif dan melibatkan banyak pengawas sekolah yang kompeten, diharapkan akan meningkatkan kapasitas leadership guru. Untuk meningkatkan kemampuan organisasional dan manajerial sekolah secara khusus, guru perlu dibiasakan untuk melakukan banyak peran dalam membantu tugas-tugas kepala sekolah. Inilah salah satu makna penting dari proses sertifikasi terhadap kemampuan leadership guru (Halverson & Diamond, 2011).

Libatkan guru

Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan kemampuan leadership guru juga akan mempermudah upaya sekolah dalam menggalang dukungan masyarakat. Guru yang memiliki leader ship yang baik akan mampu berkomunikasi secara efisien dengan masyarakat. Pada tahap tersebut, perluasan kapasitas dan tanggung jawab guru akan memberikan ruang bagi mereka melakukan banyak inisiatif dalam bekerja atas nama sekolah. Profesionalisme jenis itu sekaligus akan meningkatkan citra sekolah dan kemampuan akademis siswa sekaligus (Talbert & McLaughlin, 1994).

Beberapa hasil riset menunjukkan, semakin guru diberi kesempatan untuk membantu lebih banyak tugas administratif dan kehumasan sekolah, serta diikutsertakan dalam menentukan proses pengambilan keputusan di tingkat sekolah dan disertakan dalam memantau keberlangsungan sebuah kebijakan, budaya sekolah akan berubah ke arah positif dan memberi banyak peluang pada kemungkinan keberhasilan akademis yang bisa dicapai (Fessler & Ungaretti, 1994).

Proses sertifikasi kemampuan leadership guru sebenarnya dapat membantu pemerintah dalam upaya meningkatkan kompetensi guru, baik kompetensi pada aspek pedagogis, kepribadian, maupun sosial. Hanya, pertanyaannya ialah, adakah kemungkinan kebijakan bagi pengembangan model sertifikasi jenis itu di benak para capres/cawapres ke depan? Jika mungkin, universitas atau lembaga swadaya masyarakat jenis apa yang bisa melakukannya? Seperti kita ketahui bersama, kelemahan mendasar proses peningkatan kapasitas dan kemampuan kompetensi guru kita selama ini lebih kepada tiadanya keseriusan kerja sama antara para peneliti di perguruan tinggi dan otoritas pendidikan.

Guru selama ini hanya menjadi objek pelatihan dan program sertifikasi yang dikembangkan tanpa riset dan assessment tentang kebutuhan akademis guru itu sendiri. Harus disadari bersama, kedudukan sekolah bagi masyarakat Indonesia sangat strategis, yakni sebagai tempat penyemaian bakat siswa sekaligus kemampuan guru dalam mengajar. Fungsi dan kedudukan mereka seharusnya mendapat dukungan akademis secara maksimal dari kalangan perguruan tinggi secara konkret dan berkesinambungan.

Adalah tugas perguruan tinggi untuk bekerja sama secara langsung dengan sekolah, atau paling tidak membuat cluster-cluster binaan, sehingga proses sertifikasi jenis itu menjadi reliable di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar