Sabtu, 28 Juni 2014

Potensi Bahaya Pilpres

Potensi Bahaya Pilpres

Maria M Bhoernomo  ;   Budayawan di Kudus, Jawa Tengah
SINAR HARAPAN, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sejauh yang bisa disaksikan publik, tim-tim sukses capres sudah jelas-jelas saling mencela dan menyindir terkait kampanye pilpres. Bahkan, mencela dan menyindir hanya terkait masalah sepele, seperti warna baju, sehingga terkesan kekanak-kanakan.

Selain itu, sejauh ini publik menyaksikan banyaknya kampanye hitam yang sangat memprihatinkan, yang sangat mungkin berasal dari para pendukung capres. Hal ini pun mengesankan sikap kekanak-kanakan dalam berdemokrasi.

Bukan tidak mungkin bangsa dan negara kita akan tercabik-cabik dalam krisis politik berlarut-larut, jika masing-masing pihak tidak segera menghentikan sikap kekanak-kanakannya.

Harus dicermati juga, karena latar belakang kedua capres dari militer dan dari sipil, muncul juga gejala dikotomi sipil-militer yang bisa berkembang menjadi polarisasi sipil-militer yang sangat sensitif. Hal ini terkait adanya kasus pihak Babinsa yang dianggap ikut kampanye pilpres.

“Head to Head”

Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli nanti, yang hanya diikuti dua pasang kandidat, yang berarti head to head, memang layak diwaspadai bagi semua pihak karena menyimpan potensi bahaya yang sulit diprediksi.

Untuk sementara, kita paling jauh hanya bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk manakala hasil pilpres nyaris imbang, yang diwarnai kecurangan, lantas yang kalah mengamuk.

Kita sulit membayangkan apa jadinya bangsa dan negara kita jika yang kalah pilpres mengamuk, padahal kekuatan politiknya nyaris 50 persen.

Merujuk data empiris, jika kekuatan politik yang besar (nyaris 50 persen) mengamuk sehingga terjadi amuk massa karena kalah dalam pemilihan yang demokratis, akan selalu menimbulkan kemelut politik yang berlarut-larut.

Bukan tidak mungkin kita akan mengalami krisis politik, jika pilpres tahun ini tidak dijauhkan dari perilaku-perilaku kekanak-kanakan dan sindir-menyindir yang sama sekali tidak berguna bagi pembangunan demokrasi.

Harus diakui, munculnya head to head, di satu sisi memang bisa membuat pilpres lebih efisien. Namun, karena kekuatan dua kubu kandidat sama-sama nyaris imbang, sangat rentan berbenturan dalam arti yang sebenarnya yang bisa menimbulkan ledakan dahsyat yang sangat destruktif bagi keutuhan bangsa dan negara.

Karena itu, head to head dalam pilpres harus diwaspadai semua pihak. Selain itu, masing-masing kubu kandidat harus bersedia duduk bersama memberikan pencerahan politik kepada publik.

Hal tersebut, misalnya, kedua pihak bersepakat memelihara kerukunan nasional di atas segala-galanya. Dalam hal ini, berbagai hal yang bisa menimbulkan gejolak politik yang negatif, seperti terjadinya kecurangan dalam proses pilpres, harus dicegah.

“Legowo”

Untuk konteks Indonesia, kecurangan dalam proses pilpres layak dikaitkan dengan fenomena maraknya politik uang dan kelambatan proses rekapitulasi karena luasnya wilayah Tanah Air kita. Hal ini sudah tercermin dalam ribuan gugatan hasil pemilu 9 April yang diajukan pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Karena itu, upaya mencegah maraknya politik uang dan kelambatan proses rekapitulasi layak diperioritaskan. Politik uang hanya bisa dicegah oleh rakyat karena rakyatlah yang menikmatinya secara langsung. Karena itu, kita layak terus-menerus mengingatkan rakyat tentang dampak negatif maraknya politik uang.

Jika mayoritas rakyat sudah bisa dengan tegas menolak politik uang, Pilpres 9 Juli sangat mungkin tidak diwarnai maraknya politik uang. Rakyat layak dididik untuk cerdas dalam berdemokrasi. Misalnya, jika ada politik uang diterima saja, tapi masalah memilih sepenuhnya bebas dan rahasia serta menjadi hak rakyat yang tak bisa didikte siapa pun.

Begitu juga jika kelambatan proses rekaputilasi bisa diatasi, misalnya dengan digitalisasi yang didukung jaringan internet global. Pilpres 9 Juli mungkin akan lebih baik dan apa pun hasilnya akan diterima semua pihak dengan legowo.

Terkait sikap legowo, sejak sekarang masing-masing kubu kandidat layak juga belajar bersikap rasional, sebab sikap rasional akan memudahkan semua pihak bersikap legowo.

Hal ini, misalnya, jika nanti ternyata masih juga ada politik uang dan kelambatan rekapitulasi, semua pihak memakluminya sebagai risiko wajar dalam proses belajar berdemokrasi yang baik dan benar bagi bangsa kita yang memiliki wilayah sangat luas.

Dengan demikian, sikap legowo harus dibangun semua pihak sejak sekarang agar Pilpres 9 Juli bisa berlangsung damai. Siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah harus sama-sama legowo. Seperti petuah klasik berbahasa Jawa: Sing menang aja umuk, sing kalah aja ngamuk. Pepatah ini layak dipopulerkan untuk menepis potensi bahaya pilpres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar