Potensi
Bahaya Pilpres
Maria
M Bhoernomo ; Budayawan di Kudus,
Jawa Tengah
|
SINAR
HARAPAN, 26 Juni 2014
Sejauh
yang bisa disaksikan publik, tim-tim sukses capres sudah jelas-jelas saling
mencela dan menyindir terkait kampanye pilpres. Bahkan, mencela dan menyindir
hanya terkait masalah sepele, seperti warna baju, sehingga terkesan
kekanak-kanakan.
Selain itu,
sejauh ini publik menyaksikan banyaknya kampanye hitam yang sangat
memprihatinkan, yang sangat mungkin berasal dari para pendukung capres. Hal
ini pun mengesankan sikap kekanak-kanakan dalam berdemokrasi.
Bukan
tidak mungkin bangsa dan negara kita akan tercabik-cabik dalam krisis politik
berlarut-larut, jika masing-masing pihak tidak segera menghentikan sikap
kekanak-kanakannya.
Harus
dicermati juga, karena latar belakang kedua capres dari militer dan dari
sipil, muncul juga gejala dikotomi sipil-militer yang bisa berkembang menjadi
polarisasi sipil-militer yang sangat sensitif. Hal ini terkait adanya kasus
pihak Babinsa yang dianggap ikut kampanye pilpres.
“Head to Head”
Pemilihan
Presiden (Pilpres) 9 Juli nanti, yang hanya diikuti dua pasang kandidat, yang
berarti head to head, memang layak
diwaspadai bagi semua pihak karena menyimpan potensi bahaya yang sulit
diprediksi.
Untuk
sementara, kita paling jauh hanya bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan
terburuk manakala hasil pilpres nyaris imbang, yang diwarnai kecurangan,
lantas yang kalah mengamuk.
Kita
sulit membayangkan apa jadinya bangsa dan negara kita jika yang kalah pilpres
mengamuk, padahal kekuatan politiknya nyaris 50 persen.
Merujuk
data empiris, jika kekuatan politik yang besar (nyaris 50 persen) mengamuk
sehingga terjadi amuk massa karena kalah dalam pemilihan yang demokratis,
akan selalu menimbulkan kemelut politik yang berlarut-larut.
Bukan
tidak mungkin kita akan mengalami krisis politik, jika pilpres tahun ini
tidak dijauhkan dari perilaku-perilaku kekanak-kanakan dan sindir-menyindir
yang sama sekali tidak berguna bagi pembangunan demokrasi.
Harus diakui,
munculnya head to head, di satu sisi memang bisa membuat pilpres lebih
efisien. Namun, karena kekuatan dua kubu kandidat sama-sama nyaris imbang,
sangat rentan berbenturan dalam arti yang sebenarnya yang bisa menimbulkan
ledakan dahsyat yang sangat destruktif bagi keutuhan bangsa dan negara.
Karena
itu, head to head dalam pilpres harus diwaspadai semua pihak. Selain itu,
masing-masing kubu kandidat harus bersedia duduk bersama memberikan
pencerahan politik kepada publik.
Hal
tersebut, misalnya, kedua pihak bersepakat memelihara kerukunan nasional di
atas segala-galanya. Dalam hal ini, berbagai hal yang bisa menimbulkan
gejolak politik yang negatif, seperti terjadinya kecurangan dalam proses
pilpres, harus dicegah.
“Legowo”
Untuk
konteks Indonesia, kecurangan dalam proses pilpres layak dikaitkan dengan
fenomena maraknya politik uang dan kelambatan proses rekapitulasi karena
luasnya wilayah Tanah Air kita. Hal ini sudah tercermin dalam ribuan gugatan
hasil pemilu 9 April yang diajukan pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Karena
itu, upaya mencegah maraknya politik uang dan kelambatan proses rekapitulasi
layak diperioritaskan. Politik uang hanya bisa dicegah oleh rakyat karena
rakyatlah yang menikmatinya secara langsung. Karena itu, kita layak
terus-menerus mengingatkan rakyat tentang dampak negatif maraknya politik
uang.
Jika
mayoritas rakyat sudah bisa dengan tegas menolak politik uang, Pilpres 9 Juli
sangat mungkin tidak diwarnai maraknya politik uang. Rakyat layak dididik
untuk cerdas dalam berdemokrasi. Misalnya, jika ada politik uang diterima
saja, tapi masalah memilih sepenuhnya bebas dan rahasia serta menjadi hak
rakyat yang tak bisa didikte siapa pun.
Begitu
juga jika kelambatan proses rekaputilasi bisa diatasi, misalnya dengan
digitalisasi yang didukung jaringan internet global. Pilpres 9 Juli mungkin
akan lebih baik dan apa pun hasilnya akan diterima semua pihak dengan legowo.
Terkait
sikap legowo, sejak sekarang
masing-masing kubu kandidat layak juga belajar bersikap rasional, sebab sikap
rasional akan memudahkan semua pihak bersikap legowo.
Hal ini,
misalnya, jika nanti ternyata masih juga ada politik uang dan kelambatan
rekapitulasi, semua pihak memakluminya sebagai risiko wajar dalam proses
belajar berdemokrasi yang baik dan benar bagi bangsa kita yang memiliki
wilayah sangat luas.
Dengan
demikian, sikap legowo harus
dibangun semua pihak sejak sekarang agar Pilpres 9 Juli bisa berlangsung
damai. Siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah harus sama-sama legowo. Seperti petuah klasik
berbahasa Jawa: Sing menang aja umuk,
sing kalah aja ngamuk. Pepatah ini layak dipopulerkan untuk menepis
potensi bahaya pilpres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar