Philadelphia
: Kota Cinta
Parni
Hadi ; Wartawan dan Aktivis
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 24 Juni 2014
Aneh
atau justru mungkin sangat kreatif. Di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat
(AS), saya belajar tentang kerelawanan dari prasasti yang dipasang di
trotoar. Di Philadelphia, kota tempat Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) AS
diproklamasikan pada 4 Juli 1776 oleh Thomas Jefferson, saya belajar tentang
cinta dari tulisan yang dipasang di dinding dan karpet lobi sebuah hotel.
Bukan
cinta sembarang cinta, apalagi sekadar “esek-esek”, melainkan brotherly love, cinta persaudaraan.
Bacalah sendiri yang berikut ini;
But still there has been no greater love, no other
love. I have loved you like no brother could love, should love, true love,
absolute love: support, sacrifice, adoration, your pain, my envy always your
understanding, praise, criticism.
Begitu
puitis kata-kata yang tertulis dengan huruf-huruf besar itu. Terjemahan
bebasnya sebagai berikut;
Tetap saja masih belum pernah ada cinta yang lebih
besar, tidak ada cinta lain. Aku telah mencintaimu melebihi seorang saudara
dapat mencintai, semestinya mencintai, cinta sejati, cinta absolut: dukungan,
pengorbanan, pujian, sakitmu, rasa iriku selalu menjadi pengertian, pujian,
dan kritikmu.
Semula
saya bertanya-tanya, siapa yang menulis itu. Untung ada Mbak Hani White, orang Betawi dan aktivis
perempuan yang telah lama bermukim di Philadelphia. Ia menjelaskan, itu
adalah kata-kata dari pendiri Provinsi Pennsylvania dan perancang-bangun Kota
Philadelphia, William Penn (1644-1718).
William
Penn yang patungnya bertengger di puncak Balai Kota Philadelphia adalah
seorang Quaker (Religious Society of
Friends), komunitas penganut Kristen yang lebih suka berkumpul di luar
gereja dan bersikap antikekerasan atau peperangan, dengan alasan dan dalam
kondisi apa pun. Cinta persaudaraan itu pun dikukuhkan sebuah patung cinta (Love Statue) yang berdiri di Plaza John F Kennedy, untuk
mengabadikan nama Presiden AS legendaris itu.
Bangunan
tersebut tampak sederhana saja, kecuali tulisan “Love” berwarna merah yang disusun secara nyeni atau nyentrik.
Patung itu adalah karya Robert Indiana dan dipasang di pusat Kota
Philadelphia pada 1976. Banyak wisatawan dalam dan luar negeri, terutama
muda-mudi, yang berpose dan mengambil foto mereka di depan patung itu.
Dikarenakan
ungkapan “brotherly love” yang
dilengkapi patung cinta itu, Philadeplphia yang juga disebut Philly, dikenal
pula sebagai Kota Cinta.
Kampung Jawa di “Philly Kidul”
Berkat
kata-kata pendirinya, Philly diakui teman-teman Indonesia yang bermukim dan
belajar di kota itu lebih manusiawi terhadap para imigran, termasuk yang
tidak memilki dokumen kewarganegaraan (undocumented).
Di antara mereka adalah pengungsi Rohingya dan Indonesia. Mereka tidak
diuber-uber atau di-sweeping
petugas dan bisa hidup. Mereka bisa bekerja di industri, tentu kebanyakan
untuk jenis pekerjaan kasar dengan upah murah.
Toleransi
kehidupan bermasyarakat antar-ras, suku, bangsa dan, agama terjamin. Terdapat
16 gereja Indonesia dan satu masjid di Philly Selatan. Dikarenakan banyak
orang Jawa, terutama Jawa Timur bermukim di situ, daerah itu dikenal juga
sebagai sebagai Kampung Jawa “Philly
Kidul”. Suasana di Masjid Al Falah itu persis seperti di kampung Jawa.
Jemaah masjid itu banyak yang berpeci dan bersarung. Percakapan pun banyak
berlangsung dalam bahasa Jawa.
Mau cari
makanan khas Indonesia, lebih khusus lagi Jawa, jangan tanya. Tempe goreng,
tempe kering, mendoan, soto, sate, rawon, gado-gado, cendol, pepes, dan
kerupuk dengan mudah diperoleh sekitar 10 warung. Tentu saja karena di AS
sebutannya adalah cafe. Untuk
mencari bahan mentah dan bumbu-bumbunya ada lima toko/grocery store Indonesia.
Kehidupan
intelektual masyarakat Indonesia di Philly juga terjamin. Ada majalah Indonesian Lantern dengan tagline “The Voice of Indonesian Community in America”. Terbit dalam
bahasa Indonesia dan Inggris. Edisi Mei-Juni 2014 ini ada tulisan tentang reog ponorogo. Pemimpin redaksinya
adalah Mbak Indah Nuritasari dan Managing
Editor-nya Didi Prambadi. Keduanya sudah saya kenal sebagai wartawan di
Jakarta.
Ada lagi
perempuan Indonesia yang sedang ngetop. Ia adalah Cut Zahara, sesuai namanya,
ia berasal dari Aceh. Kiprahnya sebagai aktivis peduli lingkungan,
pemberdayaan, dan pendidikan anak pengungsi dan kaum dhuafa, menjadi cover story majalah itu, “Signs of Change”. Bersama Dompet
Dhuafa, Cut Zahara dan sejumlah kawan aktivis mendirikan Center of Learning, yang mengajari anak-anak bermain, calistung, mengaji, dan mencintai
lingkungan.
Berada
di luar negeri bisa membuat orang mudah rindu dan lebih mencintai Tanah Air.
Semoga Jakarta, yang baru saja berulang tahun, 22 Juni lalu, sebagai kota
proklamasi, pusat birokrasi, dan industri, bisa lebih manusiawi serta penuh
toleransi terhadap pendatang. Apalagi, jika bisa menjadi “kota cinta” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar