Belajar
Peka
Samuel
Mulia ; Penulis Mode dan Gaya
Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
29 Juni 2014
Sambil
menunggu datangnya mobil jemputan, saya dan rekan kerja mengobrol soal
mengapa ada orang yang enggan ditengok saat mereka berbaring di rumah sakit.
Sejujurnya saya adalah orang yang semacam itu. Saya merasa terganggu dengan
kehadiran mereka. Tentu berbeda alasannya dengan cerita teman kerja saya di
bawah ini.
Prihatin?
Begini
ceritanya. Seorang temannya berada di rumah sakit dengan sebuah diagnosa yang
mematikan. Artinya bahwa ia hanya tinggal menanti saatnya untuk menutup mata
selamanya. Beberapa temannya berkunjung untuk menyatakan keprihatinan mereka,
dan keprihatinannya itu dieksekusi dengan komentar seperti ini. ”Elo sih
makannya enggak bener makanya sekarang jadi begini. Gue tu ya, kalau makan tu
selalu dipikir, apa yang sehat dan apa yang tidak sehat. Enggak asal makan
doang.”
Teman
saya melanjutkan ceritanya. ”Mbok ya sedikit peka. Orang sudah sekarat kok
malah dimarah-marahin gitu.” Saya sendiri juga tak tahu, setelah dewasa
seperti sekarang ini, apakah saya ini masih perlu belajar berbicara, belajar
menyatakan keprihatinan dengan tepat dan yang utama belajar menjadi lebih
peka?
Seandainya
yang berkomentar tajam itu bisa lebih peka, mungkin kalimat pedas yang
mengandung nasihat positif itu diucapkan ketika si pasien masih dalam keadaan
sehat. Kalau ia memang teman yang baik, ia akan menganjurkan si pasien atau
teman-teman lainnya sejak lama, sejak pertama kali ia tahu bahwa asupan yang
benar dan sehat itu mampu menyelamatkan.
Mungkin,
ia tak punya waktu untuk melakukan tindakan preventif dan ia datang ketika
semuanya sudah terlambat. Maka kepekaan itu sesungguhnya sebuah cara untuk
mencegah datangnya keterlambatan sebuah kebaikan. Saya kemudian berpikir,
bahwa si pasien sekarang berada di ujung tanduk, salah satu andil yang
membuatnya, yaa... adalah yang berkomentar pedas itu.
Di zaman
seperti sekarang ini, sejujurnya saya sendiri menjadi tidak tahu apakah
menjadi peka itu, dan apakah tidak peka itu. Coba saya beri contoh kejadian
di bawah ini, dan apa kira-kira menurut Anda.
Di suatu
sore saya sedang berada di mal. Saya berjalan dari kamar kecil ke sebuah
rumah makan tempat saya membuat janji temu dengan seorang klien. Saat tiba di
rumah makan, saya melewati sebuah meja teman yang kebetulan juga berada di
tempat yang sama. Ia menyapa, dan kemudian berkata begini. ”Lima detik aja,
elo milih capres A apa B?
Tersetrum
Menurut
saya, saya ini tidak peka terhadap pertanyaan itu, sehingga yang lima detik
itu berubah menjadi dua puluh menit. Padahal tujuan utama saya adalah bertemu
klien, dan tidak bertemu teman saya dan masuk ke sebuah percakapan panjang.
Seandainya
saja saya peka, setelah saya memberi jawaban, saya akan meninggalkan mereka
dan tidak membiarkan klien saya menunggu. Bahwa mereka tidak setuju dengan
jawaban saya, seharusnya saya tak perlu memedulikan mereka.
Tapi
pada kenyataannya, saya peduli dengan mereka, dan tidak peduli dengan klien
saya. Saya tidak peduli dengan yang menjadi tujuan utama, dan saya sungguh
peduli kepada yang hanya menyapa. Itu juga yang menyebabkan acapkali, tujuan
dalam hidup saya tak tercapai, karena saya tidak peka untuk memilih
prioritas.
Contoh
berikutnya. Sudah beberapa kali kalau saya sedang berjalan terutama di mal,
banyak orang berjalan dalam posisi melintang bersama tiga atau empat
rekannya. Keadaan itu menutupi seluruh jalan sehingga orang tak bisa berjalan
dengan benar.
Demikian
juga kalau sedang menaiki eskalator. Sampai saya berpikir, apakah setelah
dewasa ini saya juga harus belajar hanya untuk mengetahui berjalan yang benar
itu yang seperti apa. Mungkin, yang harus saya pelajari bukan cara
berjalannya, tetapi kepekaannya.
Kepekaan
bahwa jalan di area publik itu bukanlah berjalan di area milik perorangan
atau sekelompok orang. Area publik itu harus bisa dinikmati oleh khalayak
lainnya tanpa mereka merasa terganggu.
Sudah
beberapa kali saya mengunjungi negeri matahari terbit, dan beberapa kali saya
melihat diri saya dan teman-teman bisa berjalan dengan benar, mengantre tanpa
menggerutu, berbicara dengan lembut, dan tidak keras seperti biasanya.
Nah,
mengapa kepekaan kami hanya tumbuh di tempat orang lain dan bukan di rumah
sendiri. Begini seorang teman berkomentar. ”Di rumah sendiri, kan beda, kita
bisa seenaknya. Di rumah tetangga malu kali...”
Saya
jadi bertanya mengapa orang lain bisa disiplin, bisa peka, saya tidak bisa?
Apakah menjadi peka itu perlu adanya kedisiplinan yang ditegakkan oleh orang
lain dan bukan oleh diri kita sendiri?
Sungguh
saya tak bisa menjawabnya. Mungkin, ini hanya mungkin, dunia ini bisa
berwarna karena saya bisa berteriak, yang lain bisa berbicara dengan halus.
Saya malas pakai sabuk pengaman di dalam mobil, yang lain sungguh bisa
berpikir bahwa itu bukan sebuah beban, tetapi sebuah cara untuk melindungi
diri saat kejadian buruk menimpa.
Saya
bisa tidak atau kurang peka terhadap penggunaan sabuk pengaman, yang lain
bisa peka dan sangat peka. Sehingga kalau keduanya saling mengunjungi dan
bertemu, keduanya bisa tersetrum hanya karena sebuah perbedaan. Mungkin
dengan demikian, hidup akan terasa menjadi lebih hidup. Mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar