Wacana
Pemimpin Kuat
Syamsul
Hadi ; Pengajar Pembangunan
Internasional di FISIP UI
|
KOMPAS,
28 Juni 2014
WACANA
yang berkembang dalam kampanye pilpres saat ini menghadirkan kesepakatan umum
bahwa yang dibutuhkan bangsa ini adalah kepemimpinan yang kuat, yang
dibahasakan di ruang publik sebagai ”pemimpin yang tegas”.
Ia
seolah menjadi anti tesis terhadap tipe kepemimpinan yang konservatif dan
”lunak” yang gemar menyiasati persoalan dengan cara membiarkan persoalan itu
mengambang dalam rangka mencari aman dan menghindari risiko. Masalahnya
adalah ketegasan atau strong leadership seperti apa yang benar-benar kita
butuhkan saat ini?
Dalam
rentang antara ketegasan retoris yang menghibur hati untuk sementara waktu di
satu sisi dan ketegasan substantif yang menghadirkan solusi berkelanjutan di
sisi lain, kita membutuhkan diskusi yang tidak hanya bersifat
ideologis-normatif, tetapi juga pragmatis-implementatif. Setidaknya tiga hal
perlu kita cermati dalam hal ini.
Pertama,
harus diakui bahwa kita butuh tipe kepemimpinan yang ”berbeda” dalam arti
yang tidak terus terjebak pada ortodoksi kepemimpinan business as usual.
Kedua, yang dibutuhkan bukan semata visi yang indah, melainkan kapasitas
kepemimpinan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan yang membumi dan
kontekstual. Ketiga, kapasitas itu haruslah ditopang oleh kemampuan untuk
memobilisasi dan mempertahankan dukungan publik atas kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Becermin pada Korsel
Marilah
kita becermin pada Korea Selatan. Para ahli pembangunan internasional umumnya
sepakat bahwa keberhasilan Korsel, yang dalam waktu sekitar tiga dasawarsa
(1960-an hingga 1990-an) telah bertransformasi dari negara terbelakang dan
miskin menjadi negara maju berbasis industri modern yang kokoh dan kompetitif
disertai tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif tinggi dan merata,
merupakan contoh nyata keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang digalang
oleh kepemimpinan politik kuat.
Dalam
hal ini Alice Amsden (1996) berpendapat bahwa kunci keberhasilan pembangunan
di Korsel adalah peranan negara yang efektif dalam transformasi ekonomi
nasional yang mewujud dalam tiga faktor pokok: (1) kepemimpinan politik yang
kuat; (2) perencanaan pembangunan; dan (3) kebijakan dan anggaran yang masuk
akal (reasonable).
Terlihat
bahwa kepemimpinan politik yang kuat menjadi variabel pertama bagi
keberhasilan pembangunan. Masalahnya apakah kepemimpinan kuat itu harus
berkonotasi dengan kecenderungan otoritarianisme seorang pemimpin? Ternyata
tidak, karena, seperti dikatakan Peter Dauvergne (1998), kepemimpinan politik
bisa saja kuat dalam hal menerapkan langkah-langkah koersif, tetapi lemah
pada kapasitas organisasional dan teknis untuk menerapkan
kebijakan-kebijakannya di lapangan. Dengan kata lain, kita butuh kepemimpinan
kuat bukan dalam pengertian predatory leadership di mana kepemimpinan politik
justru berpotensi membunuh potensi dan kreativitas masyarakat dalam rangka
mengorganisasikan kekuasaan.
Di sisi
lain, pembentukan aliansi politik yang ”inklusif” dimana segmen-segmen
kelompok strategis dalam bisnis dan politik bergabung di dalamnya mungkin
akan meredakan kekhawatiran akan munculnya resistensi-resistensi
kelompok-kelompok sosial yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah.
Namun, seperti dikhawatirkan Linda Weiss (1998), bergabungnya
kelompok-kelompok bisnis dan politik dominan yang kental vested interest-nya
dalam sebuah rezim politik justru akan menghadirkan potensi bagi dibajaknya
negara oleh kepentingan-kepentingan kelompok yang kuat yang pada gilirannya
akan menurunkan kapasitas transformatif dari kepemimpinan politik itu
sendiri.
Kyeong-won
Kim (2003) secara panjang lebar menguraikan bagaimana dalam periode pasca
krisis Asia terjadi tarik-menarik kuat antara Pemerintah Korsel yang mencoba
berlaku ”otonom” di satu sisi dan kelompok-kelompok konglomerat (chaebols) yang ingin mengamankan
kepentingan bisnisnya di sisi lain. Terlihat dalam kasus Korsel makin besar
kesanggupan seorang pemimpin mengidentifikasi dan membedakan dengan tegas
kepentingan publik yang genuine dan berjangka panjang di satu sisi dengan
kepentingan korporasi yang bersifat ”abu-abu” dan berjangka pendek di sisi
lain akan berpengaruh pada warisan keberhasilan kepemimpinannya dalam jangka
panjang. Sebaliknya, pemimpin yang tersandera kepentingan-kepentingan
strategis (khususnya kepentingan korporasi) justru lebih banyak mewariskan
benang kusut persoalan baru bagi penerusnya.
Konteks kekinian
Dalam
diskusi tentang kepemimpinan di Indonesia selalu digambarkan adanya dua tipe
kepemimpinan, yaitu tipe solidarity maker yang tergambar pada diri Soekarno
dan tipe administratur yang diwakili sosok Mohammad Hatta. Harus dicermati
bahwa tipologi itu dibuat oleh Herbert Feith dalam konteks kesejarahan yang
sangat berbeda dengan saat ini. Feith mendasarkan tipologi kepemimpinannya
pada konteks awal terbangunnya fondasi kebangsaan (nation building) di mana substansi perdebatan semacam apakah
revolusi politik sudah selesai masih mengemuka. Soekarno memandang revolusi
politik belum selesai dengan dicapainya kemerdekaan. Karena itu, mobilisasi
massa untuk tujuan-tujuan politik yang besar perlu terus digalang.
Sebaliknya, Mohammad Hatta memandang bahwa yang dibutuhkan setelah dicapainya
kemerdekaan adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis dan terukur di
bidang ekonomi dan sosial.
Apabila
kita sepakat dengan Mohammad Hatta bahwa yang lebih dibutuhkan adalah
bagaimana mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan pembangunan yang terprogram
dan terukur demi kemaslahatan kehidupan rakyat, kapasitas kepemimpinan yang
mengedepankan kemampuan manajerial dan implementatif di lapangan pada saat
ini lebih dibutuhkan daripada kapasitas kepemimpinan yang sifatnya dream maker, retoris, dan simbolis.
Kita
membutuhkan pemimpin dengan kapasitas yang teruji untuk menghadirkan
solusi-solusi nyata yang benar-benar membumi (on the ground solutions), terukur, dan menyelesaikan masalah tanpa menghadirkan
gesekan-gesekan sosial yang melelahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar