Siap
Menang dan Siap Kalah
Sumaryoto
Padmodiningrat ; Anggota DPR
|
SUARA
MERDEKA, 26 Juni 2014
"Ungkapan Prabowo perlu direalisasikan oleh
semua pihak, terutama para kandidat dan pendukungnya, supaya siap menang
sekaligus siap kalah"
’’PERTAHANAN terbaik adalah menyerang,’’ kata
Tsun Tzu (544-496 SM). Barangkali terinspirasi oleh ajaran filsuf dan ahli
strategi perang asal Tiongkok itulah maka dua calon presiden, Joko Widodo dan
Prabowo Subianto, saling melancarkan serangan dalam tiga kali debat yang
telah berlangsung.
Sebagai
prajurit yang banyak bertugas di medan perang, semisal Timor Timur, kita tahu
Prabowo adalah petarung. Begitu pun Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo, dan
hal itu ia buktikan dengan mengikuti tiga kali pemilihan kepala daerah
(pilkada), yakni dua kali di Solo dalam perebutan kursi wali kota, dan sekali
di Jakarta dalam perebutan kursi gubernur, dan menang.
Sebagai
petarung, dalam benak keduanya tentu sudah tertanam ungkapan seperti tersurat
dalam puisi Widji Thukul, penyair asal Solo yang sajak-sajaknya digandrungi
Jokowi, namun di sisi lain penyair asal Solo itu menjadi korban penculikan
pada 1997/1998 yang dituduhkan melibatkan Prabowo. Puisi itu yakni ”Hanya Ada Satu Kata: Lawan!” (Peringatan; 1996).
Saling
serang tak hanya terjadi di arena debat dan kampanye tapi juga di kalangan
pendukungnya melalui berbagai macam isu. Serangan terhadap Jokowi terutama
menyangkut isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang kemudian tak
terbukti. Adapun Prabowo, disangkutkan dengan isu penculikan aktivis
prodemokrasi yang berakibat pada pemberhentiannya dari dinas militer.
Serangan
demi serangan terjadi cukup keras dan sporadis, sampai-sampai beredar tabloid
yang berisi fitnah dan menjelek-jelekkan Jokowi. Serangan yang menimpa
Prabowo juga tak kalah keras, melalui keberedaran kopi surat pemecatannya
oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Dalam konteks ini, para purnawirawan
jenderal yang berada pada masing-masing kubu melakukan perang urat saraf.
Buntut dari serangan-serangan ini adalah pelaporan oleh masing-masing kubu
terhadap kubu lain kepada Bawaslu dan Mabes Polri.
Serangan
demi serangan yang dilancarkan masing-masing kubu dan cenderung membabi-buta
inilah yang menyebabkan Pilpres 2014 yang akan berlangsung 9 Juli nanti
adalah pilpres terburuk sepanjang sejarah pilpres langsung digelar sejak
2004. Kedua kubu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Jokowi-Jusuf Kalla,
berikut pendukungnya agaknya alpa bahwa selain mengajarkan strategi ”pertahanan terbaik adalah menyerang”,
Tsun Tzu juga mengajarkan strategi lain, yakni ”memenangi seratus pertempuran bukanlah kesempurnaan tertinggi.
Pasalnya, kesempurnaan tertinggi adalah meredam dan mengalahkan pasukan musuh
tanpa harus bertempur.” Dengan kata lain, seperti diajarkan RM
Sosrokartono (1877-1952), ’’nglurug
tanpa bala, menang tanpa ngasorake’’ (maju
tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan martabat lawan).
Menghargai Pahlawan
Karena
itu, dalam sisa waktu debat dan kampanye, sampai 5 Juli 2014, hendaknya para
kandidat dan pendukungnya menggunakan kesempatan tersebut untuk memaparkan
visi-misi dan program, tanpa perlu menjelekkan, menghina, apalagi memfitnah
lawan. Silakan beradu argumen, bukan sentimen pribadi. Dengan beradu argumen,
dan bila berdasarkan argumen itu kemudian seorang kandidat terpilih maka
ibaratnya ia tak perlu berperang, tapi cukup melakukan langkah-langkah
persuasif guna memengaruhi pihak lawan dan pendukungnya.
Hentikan
politik Machiavellian yang menghalalkan segala cara, seperti menebarkan
fitnah melalui tabloid yang oleh Dewan Pers disebut sebagai produk haram
pers, dan biarkan proses hukum berjalan secara fair. Hentikan politik belah
bambu (menginjak yang satu dan mengangkat yang lain) seperti dilakukan para
purnawirawan jenderal di kedua kubu.
Jangan
pula membuka kotak pandora yang sebenarnya tak perlu, seperti dilakukan
Mahfud MD dengan mengatakan Bung Karno melanggar hak asasi manusia (HAM),
meskipun kemudian pernyataan tersebut diklarifikasi. Sekali kotak pandora
terbuka maka semua aib bangsa ini akan terbuka keluar sehingga ajaran leluhur
mikul dhuwur mendhem jero akan terabaikan. Pun pepatah mengatakan, ”bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa para pahlawannya”.
Jangan
sampai hanya demi kepentingan politik praktis, dukung-mendukung capres sambil
berharap nanti mendapat bagian ”kue” kekuasaan, lalu ajaran leluhur dan
budaya adiluhung bangsa terabaikan. Janganlah para tokoh yang selama ini
menyandang nama besar justru menurunkan derajatnya, justru oleh ucapan,
sikap, atau tindakannya sendiri, atau mendegradasi integritasnya sendiri.
Seperti
disampaikan Prabowo ketika deklarasi kampanye damai oleh KPU, para kandidat
capres-cawapres adalah putra-putra terbaik bangsa sehingga siapa pun yang
kelak terpilih harus dihormati dan diterima dengan legawa dan lapang dada.
Ungkapan Prabowo perlu direalisasikan oleh semua pihak, terutama para
kandidat dan pendukungnya, supaya siap menang sekaligus siap kalah. Pasalnya,
dalam sebuah pertarungan, hanya ada satu yang akan keluar sebagai pemenang,
dan sebagai petarung, kita yakin baik Prabowo maupun Jokowi sudah menyadari
sehingga keduanya sudah siap mental bila nanti menang atau kalah. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar