Muhammadiyah
dan Pemilihan Presiden
Benni
Setiawan ; Dosen Universitas
Negeri Yogyakarta
|
TEMPO.CO,
26 Juni 2014
Pemilihan
presiden 9 Juli sudah semakin dekat. Black
campaign (kampanye hitam) muncul bertubi-tubi. Bahkan, Muhammadiyah,
sebagai organisasi massa Islam, pun ikut terseret sebagai korban dalam arus
kampanye hitam ini. Hal itu menunjukkan secara gamblang bahwa kebangsaan kita
semakin pudar dan rapuh. Kebangsaan kita jauh dari semangat Pancasila dan UUD
1945.
Sebagai
organisasi yang lebih tua dari umur Republik, Muhammadiyah terpanggil untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam pidato milad Muhammadiyah ke-101,
tertulis, "Muhammadiyah mengajak
pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen dan
kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai dengan sikap mengedepankan
keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan,
bermitra dengan seluruh komponen bangsa, dan mampu menunjukkan jiwa
kenegarawanan yang utama."
Pidato
tersebut menegaskan posisi dan peran Muhammadiyah dalam kebangsaan.
Muhammadiyah, sebagai bagian dari civil
society, perlu mengingatkan calon presiden. Bahwasanya mereka dipilih
untuk menjadi pemimpin. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa merasa gelisah
jika tidak mampu bekerja optimal. Senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna
memakmurkan bangsa, dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Karena
itu, seorang pemimpin selayaknya menyemai kebajikan setiap saat. Dalam
kesejarahan, Muhammadiyah telah mewariskan semangat juang menjadi pelayan
dari kepemimpinan A.R. Fachruddin. Pak AR, begitu ia disapa, menjadi simbol
dai ikhlas, bersahaja, dan tawaduk.
Ia pun
senantiasa menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui bahasa-bahasa
sederhana. Ia senantiasa ingin dekat dengan umat. Ia sering mengunjungi desa
dan menyapa masyarakat. Kesederhanaan, ketulusan, dan ketelatenan menyapa
masyarakat menjadi ciri utama kepemimpinan Pak AR. Melalui sikap yang demikian,
Presiden Soeharto pun seakan tunduk pada wejangan Pak AR.
Lebih
lanjut, kebangsaan hari ini akan kokoh jika pemimpinnya mampu menjadi
teladan. Sebaliknya, ketika keteladanan menghilang dan hanya menjadi kata
tanpa ucapan, kebangsaan akan runtuh. Bangsa ini harus diselamatkan dari
proses kepemimpinan yang rapuh. Pasalnya, jika bangsa dan negara ini ambruk,
Muhammadiyah pun akan roboh.
Karena
itu, Muhammadiyah tidak dalam posisi mendukung atau menolak seorang capres.
Sikap itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah dalam pemilihan presiden 2014 ingin
membangun politik berperadaban. Politik adiluhung
sebagai pengejawantahan sikap dan konsistensi Muhammadiyah dalam membangun
kebangsaan.
Kelompok-kelompok
seperti Surya Madani Indonesia (SMI) yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta
dan Relawan Mentari Indonesia (RMI) yang mendukung pasangan Jokowi-JK, tidak
bertindak atas nama Muhammadiyah. Mereka adalah simpatisan yang kebetulan
terbangun dari jejaring aktivis Persyarikatan. Jadi, tak ada hubungan
struktural dengan Persyarikatan.
Muhammadiyah
memposisikan diri sebagai bapak bangsa, pengayom semua capres. Sikap ini
bukan cara Muhammadiyah mencari selamat atau bermain di dua kaki.
Muhammadiyah tetaplah organisasi besar yang tak tergiur bermain di arena
politik. Khitah sebagai organisasi massa Islam amar makruf nahi mungkar lebih
berharga daripada sekadar turut serta dalam hiruk-pikuk politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar