Intoleransi
Melumpuhkan Demokrasi
Benni
Setiawan ; Dosen di Universitas
Negeri Yogyakarta,
Peneliti di Maarif
Institute for Culture and Humanity
|
SINAR
HARAPAN, 25 Juni 2014
Kasus
intoleransi menyembul di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden. (pilpres)
intoleransi merupakan masalah serius bangsa. Intoleransi bukan sekadar
masalah biasa, namun, ia mengancam eksistensi republik ini. Intoleransi
menjadi musuh utama terwujudnya nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Kasus
intoleransi yang terbaru tersuguh dari keteduhan Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), awal Juni. Pelarangan ibadat Paskah di Gunung Kidul; penyerangan
jemaat Santo Fransicus Agung Gereja Banteng, di Ngaglik, Sleman; serta
perusakan dan penyegelan gereja di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan
Sleman, Kabupaten Sleman.
Aksi
tersebut tentu sangat mengusik ketenteraman warga DIY khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Kedamaian yang telah terajut lama seakan
terempas aksi-aksi tak beradab tersebut.
Bangunan
demokrasi Nusantara penuh keramahan, kesantunan, dan kesahajaan pun ambruk.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa aksi-aksi intoleran itu muncul di
tengah ruang publik yang begitu luas di era Reformasi sekarang?
Etos Global
Persoalan
yang dihadapi agama-agama dalam pembangunan perdamaian bukan soal kompetensi,
melainkan komitmen dan kapabilitas. Komitmen merupakan kata utama membangun
bina damai. Tanpa komitmen yang kuat dari diri sendiri dan lingkungan, akan
sulit membangun perdamaian abadi.
Setelah
terbangun komitmen, hal kedua adalah kapabilitas yang mumpuni. Artinya,
kemampuan seseorang mengelola kebersamaan menjadi kata kuncinya. Kapabilitas
seorang pemeluk agama adalah menjaga orang lain, seperti ia menyelamatkan
diri sendiri dan keluarganya. Setelah dua hal itu terbangun, yang perlu ada
dalam diri seseorang adalah etos global.
Hans
Kung memberi argumentasi tentang alasan perdamaian memerlukan sebuah etos
global yang mendukung koeksistensi damai semua umat manusia dalam sebuah
rumah bersama itu, kein uberleben ohne weltethos (tidak ada keberlangsungan
kehidupan umat manusia tanpa etos global; kein weltfriede ohne
religionsfriede (tidak ada perdamaian dunia tanpa ada perdamaian di antara
agama-agama); dan kein religionsfriede ohne religionsdialog (tidak ada
perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antaragama).
Trilogi
perdamaian Hans Kung di atas adalah ungkapan yang paling padat, mencakup
tuntutan bagi semua agama di dunia, untuk memulai babak baru membangun
perdamaian dunia berdasarkan etos bersama, etos yang mengalir keluar dari
oase kekayaan spiritualitas dalam agama-agama itu sendiri, bukan sebuah etos
hasil rekayasa sosial yang datang dari luar oase kekayaan spiritualitas agama-agama
tersebut (Robert B Baowollo, 2010).
Asas Kebangsaan
Dialog
menjadi sebuah keniscayaan. Dialog dan musyawarah menjadi mantra kehidupan.
Musyarawah bukan sekadar mencari kata sepakat, melainkan menggali ide dan
gagasan besar untuk hidup rukun tanpa prasangka.
Persangkaan
hanya dapat luntur ketika para pihak mampu duduk semeja dan berhubungan tanpa
sekat. Prasangka sering kali muncul karena setiap anggota masyarakat tak
terhubung dalam komunitas beradab (bonnum communie), meminjam istilah
Habermas.
Konsepsi
musyarakat itu termaktub dalam butir Pancasila sila kedua, “Kemanusiaan yang
adil dan beradab”. Tatanan masyarakat harus terbangun dalam bingkai
kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil sejak di alam pikiran akan membuka
ruang dialog tanpa prasangka.
Jika
dalam pikiran kita terperangkap “racun” penuh kedengkian dan kebencian, ruang
dialog sulit terbangun. Berbeda jika ruang alam bawah sadar dipenuhi
keyakinan bahwa keberagamaan tak akan pernah melukai maka kehidupan beradab
akan terwujud.
Kehidupan
beradab adalah yang kita pikirkan menginspirasi tindakan. Setiap tindakan
senantiasa didasarkan sikap sportif, welas asih, dan kemanusiaan yang mulia.
Saat
ketiga hal itu mewujud dalam keseharian manusia, ia akan bertindak atas dasar
akal sehat. Akal sehat akan menuntun umat menuju penghargaan diri dan
lingkungan. Ego sektoral pun akan lenyap dengan sendirinya.
Dengan
demikian, aksi intoleran merupakan bukti betapa lemahnya pemahaman diri dan
lingkungan seseorang. Mereka bertindak atas ego yang memaksanya keluar dari
kemanusiaan yang beradab.
Inilah
yang kemudian menyebabkan kerapuhan demokrasi. Kebebasan berpendapat, berserikat,
dan beragama terkurung dan terkungkung dalam sekat primordial. Sekat itu
bahkan sering didasarkan kepada pemaknaan realitas keagamaan.
Demokrasi
yang membuka ruang publik ternyata masih menyisakan persoalan serius, yaitu
ketidakmampuan seseorang memaknai kebebasan dalam bingkai kemanusiaan yang
adil dan beradab. Namun, kerapuhan itu tak begitu saja disebabkan pemaknaan
sempit seseorang.
Peraturan
pemerintah sering malah memicu timbulnya kebencian tersebut. Sebagai contoh,
surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang rumah ibadah. Peraturan
itu kerap dijadikan tameng sekaligus pembenaran oleh kelompok tertentu untuk
melakukan tindak intoleran. Oleh karena itu, sudah selayaknya SKB tersebut
dicabut guna menjamin berlangsungnya kehidupan penuh keadaban
berperikemanusiaan.
Akhirnya,
aksi intoleransi yang tersaji di Nusantara merupakan bukti nyata, betapa
keberagamaan di republik ini belum tersemai berdasarkan asas kebangsaan.
Keberagaman sering kali masih dipenuhi keraguan dan kecurigaan (prasangka)
karena kurangnya dialog. Kebuntuan dialog pun kadang muncul dan “ditumpangi”
peraturan pemerintah yang tak memihak iklim demokrasi.
Semoga
pemimpin terpilih mendatang mampu mengubah wajah demokrasi menjadi ramah
terhadap keberagamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar