Berpolitik
di Hotel
Bandung
Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad
Solo
|
SUARA
MERDEKA, 26 Juni 2014
DEBAT
calon presiden berlangsung di hotel di Jakarta, 15 Juni 2014. Sehari sebelum
acara debat, Joko Widodo rapat dengan tim ahli di hotel di Solo. Deklarasi
dukungan kaum politik dari DPR untuk Prabowo Subianto berlangsung di hotel di
Jakarta, 16 Juni 2014. Berpolitik di hotel telah menjadi kelaziman. Hotel tak
cuma berfungsi untuk penginapan, rapat bisnis, konser musik, atau acara
pernikahan.
Kini di
hotel, kaum politik menjalankan peristiwa-peristiwa heboh. Hotel makin
”memengaruhi” siasat politisasi ruang. Ingat, hari-hari menjelang dan sesudah
pemilu legislatif, 9 April 2014, sekian partai politik mengadakan pelbagai
acara besar di hotel: muskernas, rapimnas, atau rakornas. Hotel menjadi ruang
berpolitik dengan pelbagai fasilitas dan permainan simbol untuk
dikomunikasikan ke publik.
Kita
mulai mendapat kumpulan imajinasi tentang hotel sebagai ruang berpolitik bagi
kaum berpakaian rapi, perlente, berduit, dan terkenal. Pengertian politik
bergerak ke ruang elitis. Hotel tentu memiliki pelbagai fasilitas untuk
memudahkan agenda-agenda politik. Di hotel, orang-orang datang berpredikat ”tamu”
atau ”pengunjung”. Peristiwa politik di hotel berlangsung dengan seleksi dan
undangan. Hotel megah dan besar memberi pengaruh atas pembentukan imajinasi
politik bereferensi ruangan mewah, makanan mahal, pesona tata suara, dan
lampu terang.
Di Indonesia,
berpolitik di hotel sudah berlangsung sejak awal abad XIX. Semula, hotel adalah tempat bagi pelancong
atau musafir untuk menginap dalam agenda pelesiran dan pengembaraan. Di
hotel, orang istirahat, tidur, dan makan. Peristiwa-peristiwa di hotel bertambah
sesuai perubahan zaman. Hotel perlahan menjadi ruang politik. Agenda-agenda
kolonial digerakkan dengan pertemuan atau rapat di hotel.
Alkisah,
R Goenawan mengelola Hotel Medan Prijaji (Batavia) sebagai bukti kemauan
mengembuskan gerakan politik Islam dan resistansi terhadap kolonialisme.
Hotel adalah ruang propaganda dan semaian gagasan-gagasan politik berbarengan
pembesaran Sarekat Islam (Takashi Shiraishi, 1997). Politik kolonial
ditandingi gerakan politik melalui pemaknaan hotel.
Pengertian Modern
Makna
politis hotel muncul akibat para pedagang bumiputera beragama Islam dari
pelbagai daerah sering menginap saat menjalankan bisnis dan pertemuan politik
di Batavia. Hotel sanggup menggerakkan
pengertian-pengertian modern tentang kota, politik, agama, ekonomi,
nasionalisme.
Sejarah
politik di Batavia tentu tak bisa melupakan keberadaan Hotel Des Indies. Konon, Des
Indies adalah hotel terbaik di Batavia, sejak abad XIX. Jean Rocher dan
Iwan Santosa (2013) mencatat bahwa pelbagai peristiwa penting pernah terjadi
di Des Indies, mulai urusan makan sampai politik. Ingat, masa 1940-an, Des
Indies menjadi saksi sejarah, tempat pemahkotaan Sultan Hamengku Buwono IX,
raja dari Kesultanan Yogyakarta. Kaum politik Indonesia pun menginap dan
mengadakan rapat-rapat politik di Des Indies menjelang 17 Agustus 1945.
Pemaknaan politik makin menjadikan hotel tersebut sebagai referensi memori
Indonesia.
Kisah
Hotel Des Indies perlahan surut, sejak berganti nama menjadi Duta Indonesia.
Pertumbuhan kota-kota di Indonesia dan situasi politik-ekonomi menghendaki
ada hotel-hotel besar dan berfasilitas komplet. Legenda Hotel Des Indies
mulai kehilangan pikat dan pamor, tak menjadi rujukan utama mulai masa
1950-an. Memori makin hilang akibat ”penghancuran” Hotel Des Indies, berganti menjadi pusat perbelanjaan bernama
Duta Merlin.
Soekarno
justru membuat legenda baru dengan pendirian Hotel Indonesia, 1962. Soekarno
ingin mengisahkan Indonesia sebagai negeri bermartabat. Ambisi dibuktikan
melalui pembangunan hotel sebagai simbol modernitas dan politik. Arifin
Pasaribu (2014) mencatat bahwa pembangunan Hotel Indonesia adalah realisasi
dari impian Soekarno agar Indonesia memiliki hotel bertaraf internasional:
tempat untuk konferensi, jamuan makan, penginapan, dan pertemuan politik.
Keberadaan
hotel menjadi representasi dari kesanggupan Indonesia membuat agenda-agenda
besar, dari pariwisata sampai politik. Pembangunan Hotel Indonesia
menggunakan dana pampasan perang dari Jepang, pembuktian dari narasi
Indonesia di zaman revolusi. Hotel Indonesia diresmikan oleh Soekarno pada 5
Agustus 1962 dengan mengucap pidato berjudul ‘’Tundjukkanlah Kepribadian Indonesia’’. Hotel turut menentukan
pengisahan Indonesia di mata dunia.
Di Hotel
Indonesia, Soekarno mengumumkan pandangan seni sebagai representasi
keindonesiaan. Soekarno meminta ada prasasti mencantumkan puisi gubahan
Ramadhan KH. Puisi untuk merangsang imajinasi tentang kepribadian Indonesia
dengan buaian kata dan makna: Mega-mega
jang disentuh, pudar karena keagungan kerdja/ Badai-badai jang ditentang
njisih karena keagungan djiwa/ Tiadalah kebahagiaan sebesar kebahagiaan
selesai kerdja/ Tiadalah kelapangan sebesar kelapangan kemenangan djiwa.
Hotel mirip halaman-halaman imajinasi, ruang pembentukan Indonesia.
Memori
politik Indonesia mulai berpusat di hotel, mengimbuhi peran rumah, sekolah,
asrama, gedung pertemuan, atau lapangan. Sejak awal abad XX, agenda-agenda
kaum pergerakan nasionalisme sering berlangsung di ruang-ruang populis dan
sederhana sebelum memusat ke hotel. Kesadaran ruang menentukan bahasa dan
sikap berpolitik, menerangkan posisi kaum politik di mata publik. Sekarang,
sejarah baru tentang politik Indonesia tercipta di hotel. Berpolitik di hotel
memendarkan imajinasi elitis untuk Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar