Jumat, 13 Juni 2014

Undang-Undang Koperasi

Undang-Undang Koperasi

M Rosyaad  ;   Pensiunan Pegawai Bank
KOMPAS,  11 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MAHKAMAH Konstitusi menyatakan UU No 17/2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak punya kekuatan hukum yang mengikat. ”UU No 25/1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai terbentuknya UU yang baru,” demikian Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan, Rabu, 28 Mei 2014.

Meski menghormati putusan itu, Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan mengaku kecewa atas dibatalkannya UU No 17/2012 mengingat UU ini telah 10  tahun dipersiapkan oleh  pemerintah bersama DPR, khususnya dalam menghadapi persaingan dalam rangka berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Tampaknya dalam mempersiapkan UU baru, pemerintah, DPR, dan para pemangku koperasi melihat lambatnya pertumbuhan koperasi selama ini dibandingkan pertumbuhan pilar-pilar usaha yang lain, yakni perseroan terbatas (PT) swasta dan BUMN. Untuk mengatasi ketertinggalan tersebut, diperlukan kemudahan menghimpun modal yang besar guna memajukan sistem serta membayar manajer dan karyawan yang berkualitas, baik di bidang pemasaran maupun pekerjaan lain.

Itu sebabnya dalam UU Koperasi yang baru, antara lain, dibuka kesempatan bagi anggota koperasi untuk membesarkan modal koperasi dengan cara membeli sertifikat modal koperasi (SMK), semacam saham, berapa pun jumlahnya. Untuk meredam kekhawatiran pemilik modal besar akan menguasai jalannya koperasi, maka dalam UU baru itu dinyatakan bahwa setiap pemilik SMK tidak peduli berapa pun banyaknya SMK yang dibeli, hanya memiliki satu suara saja di dalam rapat umum anggota (RUA).

Selain itu, pemerintah dan masyarakat dimungkinkan pula menempatkan modal penyertaan dalam koperasi. Modal dari luar inilah yang menuai banyak kritik karena bisa melemahkan posisi anggota koperasi.

Selain segi permodalan, ketentuan mengenai jenis koperasi, yakni koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam, juga menuai banyak kritik. Bagi koperasi kecil, memiliki berbagai usaha saja masih sulit berkembang, apalagi bidang usahanya dipasung jadi hanya satu bidang. Kritik-kritik tersebut akhirnya jadi gugatan dari banyak pihak melalui MK.

Kesimpulan dari kejadian pembatalan UU ini adalah segala sesuatu harus mengikuti bunyi konstitusi. Begitu ada kecenderungan mengarah ke ”liberal”, misalnya, serta-merta MK dapat membatalkannya. Ini berbeda dengan di Tiongkok, misalnya, di mana bidang politik/ideologinya berkiblat pada sosialisme dengan satu partai, tetapi sistem ekonominya memakai asas ekonomi pasar yang sangat  liberal dan hasilnya malah mencengangkan dunia.

Beberapa masukan

Dalam usaha menyusun UU Koperasi yang baru, beberapa hal berikut perlu mendapat pertimbangan. Pertama, SMK yang dimiliki anggota dengan pembatasan hak suara dalam RUA kiranya dapat diteruskan.

Kedua, yang ”berbahaya” bagi anggota adalah datangnya modal dari luar. Ini sebaiknya dibatalkan. Dana dari luar sebaiknya berbentuk pinjaman, persyaratannya diatur sesuai kepentingan koperasi sehingga tidak membahayakan kepentingan anggota.

Ketiga, UU  lama menggunakan istilah simpanan yang berarti uang tersebut dapat diminta kembali manakala anggota keluar dari koperasi, sedangkan UU baru memakai istilah setoran yang berarti uang tersebut tidak dapat ditarik kembali. Yang terakhir ini kurang menarik.

Keempat, jangan membatasi koperasi dengan usaha tertentu, seperti koperasi konsumen, koperasi produsen, dan koperasi jasa. Pembatasan ini akan menyulitkan koperasi, terutama yang masih lemah. Biarkan mereka bebas berkembang. Mungkin koperasi simpan-pinjam dapat diatur tersendiri mengingat pengawasannya ada  di tangan Otoritas Jasa Keuangan.

Kelima, pembatasan domisili anggota, pengurus, dan pengawas juga melemahkan pengembangan koperasi. Sebagai contoh, sebuah koperasi pensiunan suatu bank bisa memiliki 6.000 anggota, bahkan lebih. Mereka  berdomisili di mana saja, tersebar di seluruh Nusantara sesuai domisili saat seorang pegawai bank menjalani masa pensiun. Jika mereka yang dari banyak daerah itu boleh menjadi anggota satu koperasi saja, koperasi tersebut pasti cepat berkembang.

Jika setiap pensiunan bisa menempatkan modalnya Rp 1 juta saja, berarti modal koperasi langsung terkumpul Rp 6 miliar. Ini sangat  berarti dalam pengembangan koperasi, terutama di alam persaingan usaha seperti saat ini. Hasilnya pun dapat dinikmati oleh semua anggota di mana pun ia berdomisili.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar