Undang-Undang
Koperasi
M
Rosyaad ; Pensiunan Pegawai Bank
|
KOMPAS,
11 Juni 2014
|
MAHKAMAH
Konstitusi menyatakan UU No 17/2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan
UUD 1945 sehingga tidak punya kekuatan hukum yang mengikat. ”UU No 25/1992 tentang Perkoperasian
berlaku untuk sementara waktu sampai terbentuknya UU yang baru,” demikian
Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan, Rabu, 28 Mei
2014.
Meski
menghormati putusan itu, Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan mengaku
kecewa atas dibatalkannya UU No 17/2012 mengingat UU ini telah 10 tahun dipersiapkan oleh pemerintah bersama DPR, khususnya dalam
menghadapi persaingan dalam rangka berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Tampaknya
dalam mempersiapkan UU baru, pemerintah, DPR, dan para pemangku koperasi
melihat lambatnya pertumbuhan koperasi selama ini dibandingkan pertumbuhan
pilar-pilar usaha yang lain, yakni perseroan terbatas (PT) swasta dan BUMN. Untuk
mengatasi ketertinggalan tersebut, diperlukan kemudahan menghimpun modal yang
besar guna memajukan sistem serta membayar manajer dan karyawan yang
berkualitas, baik di bidang pemasaran maupun pekerjaan lain.
Itu
sebabnya dalam UU Koperasi yang baru, antara lain, dibuka kesempatan bagi
anggota koperasi untuk membesarkan modal koperasi dengan cara membeli
sertifikat modal koperasi (SMK), semacam saham, berapa pun jumlahnya. Untuk
meredam kekhawatiran pemilik modal besar akan menguasai jalannya koperasi,
maka dalam UU baru itu dinyatakan bahwa setiap pemilik SMK tidak peduli
berapa pun banyaknya SMK yang dibeli, hanya memiliki satu suara saja di dalam
rapat umum anggota (RUA).
Selain
itu, pemerintah dan masyarakat dimungkinkan pula menempatkan modal penyertaan
dalam koperasi. Modal dari luar inilah yang menuai banyak kritik karena bisa
melemahkan posisi anggota koperasi.
Selain
segi permodalan, ketentuan mengenai jenis koperasi, yakni koperasi konsumen,
koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam, juga menuai
banyak kritik. Bagi koperasi kecil, memiliki berbagai usaha saja masih sulit
berkembang, apalagi bidang usahanya dipasung jadi hanya satu bidang.
Kritik-kritik tersebut akhirnya jadi gugatan dari banyak pihak melalui MK.
Kesimpulan
dari kejadian pembatalan UU ini adalah segala sesuatu harus mengikuti bunyi
konstitusi. Begitu ada kecenderungan mengarah ke ”liberal”, misalnya,
serta-merta MK dapat membatalkannya. Ini berbeda dengan di Tiongkok,
misalnya, di mana bidang politik/ideologinya berkiblat pada sosialisme dengan
satu partai, tetapi sistem ekonominya memakai asas ekonomi pasar yang
sangat liberal dan hasilnya malah
mencengangkan dunia.
Beberapa masukan
Dalam
usaha menyusun UU Koperasi yang baru, beberapa hal berikut perlu mendapat
pertimbangan. Pertama, SMK yang dimiliki anggota dengan pembatasan hak suara
dalam RUA kiranya dapat diteruskan.
Kedua,
yang ”berbahaya” bagi anggota adalah datangnya modal dari luar. Ini sebaiknya
dibatalkan. Dana dari luar sebaiknya berbentuk pinjaman, persyaratannya
diatur sesuai kepentingan koperasi sehingga tidak membahayakan kepentingan
anggota.
Ketiga,
UU lama menggunakan istilah simpanan
yang berarti uang tersebut dapat diminta kembali manakala anggota keluar dari
koperasi, sedangkan UU baru memakai istilah setoran yang berarti uang
tersebut tidak dapat ditarik kembali. Yang terakhir ini kurang menarik.
Keempat,
jangan membatasi koperasi dengan usaha tertentu, seperti koperasi konsumen,
koperasi produsen, dan koperasi jasa. Pembatasan ini akan menyulitkan
koperasi, terutama yang masih lemah. Biarkan mereka bebas berkembang. Mungkin
koperasi simpan-pinjam dapat diatur tersendiri mengingat pengawasannya
ada di tangan Otoritas Jasa Keuangan.
Kelima,
pembatasan domisili anggota, pengurus, dan pengawas juga melemahkan
pengembangan koperasi. Sebagai contoh, sebuah koperasi pensiunan suatu bank
bisa memiliki 6.000 anggota, bahkan lebih. Mereka berdomisili di mana saja, tersebar di
seluruh Nusantara sesuai domisili saat seorang pegawai bank menjalani masa
pensiun. Jika mereka yang dari banyak daerah itu boleh menjadi anggota satu
koperasi saja, koperasi tersebut pasti cepat berkembang.
Jika
setiap pensiunan bisa menempatkan modalnya Rp 1 juta saja, berarti modal
koperasi langsung terkumpul Rp 6 miliar. Ini sangat berarti dalam pengembangan koperasi,
terutama di alam persaingan usaha seperti saat ini. Hasilnya pun dapat
dinikmati oleh semua anggota di mana pun ia berdomisili. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar