Jumat, 13 Juni 2014

Kepemimpinan Lingkungan

Kepemimpinan Lingkungan

Budi Widianarko  ;   Dosen Program Magister Lingkungan dan Perkotaan,
Unika Soegijapranata
KOMPAS,  11 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DARI kacamata lingkungan, naskah visi, misi, dan program kedua pasangan capres-cawapres yang  masing-masing setebal 41 halaman (Joko Widodo-Jusuf Kalla) dan sembilan halaman (Prabowo Subianto-Hatta Rajasa) hanya melahirkan pesimisme. Pasangan mana pun yang terpilih nantinya tidak akan mampu memperbaiki perlindungan dan pelestarian lingkungan di negeri ini. Selama restorasi lingkungan dibiarkan tersandera oleh pertumbuhan ekonomi dan selama kelembagaan lingkungan masih belum diberdayakan, maka kelestarian lingkungan adalah utopia belaka. Alih-alih akan menyaksikan perubahan kondisi lingkungan yang nyata, ”perubahan” yang paling realistis sangat boleh jadi hanya sejumlah proyek restorasi lingkungan sebagai ”pemanis” pertumbuhan ekonomi.

Dokumen visi, misi, dan program kedua pasangan capres-cawapres itu belum merefleksikan kesadaran bahwa ekosistem sebagai pembatas sistemik bagi kegiatan ekonomi. Meminjam istilah Redekop (2010) dalam buku Leadership for Environmental Sustainability, kedua pasangan pemimpin itu masih mengidap defisit wawasan masa depan. Kegagalan untuk memiliki sudut pandang jangka panjang dalam menerawang masa depan adalah cerminan keterbatasan cakrawala waktu kapitalisme yang memandang bahwa masa depan seolah merdeka dari keterbatasan sehingga terus mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dan industri.

Dewasa ini yang diperlukan adalah kepemimpinan ekologis (ecological leadership) yang berani mengarungi cara berpikir sistem, bukan sepenggal-sepenggal. Mengutip Simon Western (2008), dalam paradigma kepemimpinan baru ini keutuhan, keterkaitan, spiritualitas, saling ketergantungan dan keberlanjutan merupakan nilai-nilai utama. Ciri-ciri paradigma kepemimpinan ini belum tampak dalam agenda lingkungan kedua pasangan capres-cawapres. Keduanya masih berambisi menggenjot kegiatan ekonomi yang berlangsung dalam ekosistem yang sudah penuh bopeng. Wawasan mereka masih terperangkap dalam jebakan revolusi industri pertama ketika manusia begitu yakin akan kedigdayaannya dalam menundukkan alam.

Agenda lingkungan

Pasangan Prabowo-Hatta menempatkan isu lingkungan sebagai agenda tersendiri yang terdiri atas delapan program plus beberapa program lingkungan yang termuat dalam agenda ”Membangun Kembali Kedaulatan Pangan, Energi dan Sumber Daya Alam”. Di pihak lain, pasangan Jokowi-JK tidak menempatkan isu lingkungan sebagai agenda tersendiri, tetapi termuat dalam agenda ”Berdikari dalam Bidang Ekonomi” dan ”Berdaulat dalam Bidang Politik”.

Agenda lingkungan Jokowi-JK memuat 23 butir gagasan, sedangkan milik Prabowo-Hatta memuat 13 butir. Dari 23 dan 13 butir gagasan dari setiap pasangan ini terdapat tujuh butir yang sama, yaitu menyangkut  komponen status lingkungan: (1) hutan, (2) pencemaran, (3) air, (4) pertambangan, (5) keanekaragaman hayati, (6) energi, dan (7) perubahan iklim. Selain itu, Jokowi-JK juga mengangkat butir rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan, sedangkan Prabowo-Hatta menonjolkan butir rehabilitasi daerah aliran sungai.  Selebihnya Prabowo-Hatta mengemukakan empat butir lain menyangkut strategi pendekatan lingkungan, yaitu (a) penegakan hukum, (b) instrumen ekonomi, (c) teknologi, dan (d) kerja sama. Jokowi-JK juga mengangkat  15 butir menyangkut SPL yang bukan hanya mencakup (a) penegakan hukum, (b) instrumen ekonomi, (c) teknologi, dan (d) kerja sama, melainkan juga mengedepankan pendekatan perubahan gaya hidup.

Dalam strategi pendekatan lingkungan itulah kedua pasangan ini berbeda. Jokowi-JK menyodorkan pendekatan perubahan perilaku: penyadaran, keteladanan, dan partisipasi sukarela. Untuk mendukung ketahanan energi dan mereduksi emisi gas buang, misalnya, pasangan ini secara eksplisit mengusung program transportasi massal dan berbasis energi lokal (meski implementasinya belum terungkap secara jelas). Beberapa strategi lain yang diajukan adalah (1) penyadaran tentang perlunya berperilaku ramah lingkungan (tak melakukan illegal logging, fishing, dan mining) yang sekaligus disertai dengan penyediaan alternatif bagi warga, (2) edukasi konsumen, dan (3) keteladanan oleh tokoh/pemimpin (role model) dalam perilaku peduli lingkungan.

Pendekatan hukum, atau disebut oleh mendiang Profesor Otto Soemarwoto sebagai strategi atur dan awasi, tidak dapat berdiri sendiri. Dalam pergulatan  panjang penyelesaian persoalan lingkungan di Indonesia, sudah terbukti atur dan awasi tidak efektif. Usaha penindakan secara hukum terhadap pelaku pencemar atau perusak lingkungan hingga saat ini bisa dikatakan belum banyak membuahkan hasil. Singkatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan tidak cukup hanya ”diperangi” menggunakan aplikasi teknologi dan hukum atau direduksi dengan insentif ekonomi. Perubahan perilaku sukarela diyakini akan lebih efektif, tetapi untuk mewujudkannya bukan perkara mudah.

Tantangan

Tantangannya adalah bagaimana ”menggerakkan hati” warga. Pengetahuan bahwa lingkungan harus dijaga untuk tidak dicemari atau dirusak sudah ada dalam pikiran warga. Begitu pula mereka tahu bahwa ada tindakan hukum yang mengancam jika perusakan dan pencemaran lingkungan dilakukan. Namun, ketergerakan hati tetap diperlukan untuk menyatukan pengetahuan dan perilaku lingkungan. Pasangan Jokowi-JK telah menuliskan program yang dimaksudkan untuk menggerakkan hati. Untuk menggerakkan hati warga perlu kepemimpinan lingkungan. Pemimpin yang bukan hanya paham tentang pentingnya isu lingkungan, melainkan juga mampu menunjukkan visi dan otoritas untuk menggerakkan segenap sistem menuju tindakan nyata.

Lebih jauh, agenda lingkungan kedua pasangan capres-cawapres masih tertindas oleh prioritas pertumbuhan ekonomi. Masalah lingkungan belum masuk dalam arus utama pemerintahan mereka yang masih lebih bertitik berat pada pembangunan ekonomi. Lingkungan masih sekadar ”pemanis” (accessory)—jika bukan ”pelayan” (servant)—pembangunan ekonomi. Dalam bangunan pemikiran yang ditawarkan, kedua pasangan ini sangat jelas terbaca upaya perbaikan kondisi (restorasi) lingkungan selalu dikaitkan dengan kemanfaatan ekonominya. Dengan kata lain, restorasi lingkungan bukanlah demi keberlanjutan lingkungan, melainkan demi melayani kebutuhan pertumbuhan ekonomi.

Lebih jauh lagi, agenda lingkungan kedua pasangan tak secara eksplisit menyentuh sejumlah tantangan lingkungan utama di negeri ini. Sebut saja masalah asap yang terkait kebakaran/pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang senantiasa menjadi pencoreng wajah Indonesia di Asia Tenggara. Begitu pula faktor desentralisasi dan otonomi daerah yang nyata-nyata telah memicu kerusakan dan pencemaran lingkungan tidak dapat sorotan khusus. 

Kedua pasangan sama sekali tak menyebut rencana penguatan kelembagaan lingkungan. Kelembagaan lingkungan yang ada saat ini, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup hingga segenap instansi subordinatnya di tingkat provinsi dan kota/kabupaten, belum memiliki kewenangan memadai untuk mengatasi hambatan lintas sektoral. Tanpa kemauan politik memperkuat posisi kelembagaan lingkungan, sangat sulit mengarusutamakan lingkungan dalam pembangunan sarat gairah ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar