Teknologi
Informasi Mengawal Bonus Demografi
Valerian
Timothy ; Asisten Riset di American Studies Center, Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
04 Juni 2014
Pada tahun 2020-2035, Indonesia
diprediksi akan meraih bonus demografi, yakni populasi usia produktif lebih
banyak dari populasi usia nonproduktif. Namun, Indonesia baru bisa
mendapatkan bonus demografi jika memiliki penduduk muda yang pintar. Tanpa
itu, Indonesia hanya akan mengalami kutukan demografi.
Syarat meraih bonus demografi
memang menciptakan kondisi kelompok masyarakat produktif (15-64 tahun) yang
kreatif, pintar, dan inovatif sehingga mampu berproduksi secara maksimal.
Pemerintah Indonesia
mengimplementasikan syarat ini dengan kebijakan beasiswa LPDP dan
Presidential Scholarship untuk mendorong murid-murid Indonesia bersekolah di
luar negeri dan berbakti untuk negara setelah lulus.
Menurut laporan UNFPA, sebuah
negara yang sedang menuju bonus demografi akan dihadapkan pada risiko kondisi
politik yang tidak stabil apabila tidak mampu merespons keinginan kelompok
masyarakat miskin mendapatkan kesempatan yang sama dengan kelompok masyarakat
kaya.
Tantangan kedua adalah saat
mencapai bonus demografi, Indonesia akan mendapatkan pertumbuhan jumlah orang
kritis yang sangat tinggi karena semakin banyak lulusan luar negeri yang
berkarya di Indonesia.
Pemikiran mereka akan
memengaruhi masyarakat sehingga pemerintah perlu menciptakan ekosistem yang
cocok agar mereka bisa bekerja dan berkomunikasi dengan pemerintah.
Pemerintah juga perlu membuat kebijakan yang bisa merespons masyarakat dengan
lebih cepat, efisien, dan akurat. Bagaimana caranya?
Kuasai informasi
Kuncinya adalah menguasai
teknologi informasi untuk berinteraksi dengan rakyat. Awal tahun 1997,
Indonesia memiliki proyek ”Nusantara 21”, tetapi tujuan utamanya adalah
memperkuat Satelit Palapa untuk kepentingan pemerintah. Proyek ini terkesan
kontradiktif dengan ide otonomi daerah waktu itu sehingga proyek ”Nusantara
21” kurang populer dan terhenti ketika terjadi pergantian rezim.
Pada zaman SBY, pemerintah
memakai fasilitas UKP4 dan jejaring sosial untuk mendapatkan input dari
masyarakat.
Walaupun kebijakan menguasai
teknologi informasi semakin berkembang, Presiden SBY belum memiliki arah
kebijakan untuk membangun kabel serat optik secara merata di seluruh
Indonesia, juga perangkat keras dan lunak, untuk mengembangkan teknologi
informasi.
Berdasarkan perspektif cybersuperiority, kedua perangkat
(kabel serat optik dan software-hardware
computer) sangat penting seperti halnya satelit untuk memperkuat
keamanan, ekonomi, dan kebudayaan Indonesia.
Kita sudah melihat bukti, tidak
kuatnya infrastruktur kabel serat optik, satelit, dan komputer di Indonesia
membuat negara lain mampu menyadap Pemerintahan Indonesia lewat Satelit
Palapa.
Pada era Orde Baru, peluncuran
proyek ”Nusantara 21” dilakukan untuk menyebarkan nilai-nilai pemersatuan
Nusantara sebagai negara kepulauan. Kebijakan yang diperkuat dengan Keppres
No 30 Tahun 1997 ini dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi Telematika Indonesia
untuk pemutakhiran proyek Palapa.
Namun, pemutakhiran satelit saja
tidak cukup. Pada abad ke-21, satelit bukan lagi satu-satunya infrastruktur superhighway informasi yang penting.
Kabel serat optik dan perangkat lunak dan keras komputer itu juga menjadi
penting.
Tulisan Eom Jeung Ho tentang cybersuperiority mengatakan bahwa
sebuah negara perlu menguasai infrastruktur teknologinya untuk kepentingan
militer agar kepentingan negara terjaga dari serangan negara lain.
Konsep ini kemudian berkembang
menjadi negara tidak hanya harus menguasai infrastruktur teknologi untuk
kepentingan militer, tetapi juga untuk kegiatan ekonomi, kebudayaan, dan
lainnya.
Semakin meningkatnya partisipasi
rakyat Indonesia memakai teknologi informasi juga menjadi tantangan bagi
Pemerintah Indonesia supaya membuat kebijakan berdasarkan kebutuhan
rakyatnya.
Partisipasi rakyat yang semakin
tinggi dalam teknologi informasi juga meningkatkan risiko kriminalitas dunia
maya. Maka, pemerintah perlu juga mempersiapkan kebijakan untuk mengawasi dan
menangkal kejahatan internet, seperti hacking, penipuan online, penyadapan,
penyebaran rumor secara masif, dan pencurian informasi.
Peta ”cybersuperiority”
Dengan demikian, penting bagi
negara mana pun termasuk Indonesia, untuk menguasai informasi dunia maya
sekaligus membuat kebijakan berdasarkan kebutuhan rakyatnya. Untuk itu,
pemerintah perlu membuat peta cybersuperiority
yang terdiri dari tiga jenis lapisan.
Lapisan paling dasar adalah unsur-unsur
kenapa dunia maya disebut dunia informasi, yaitu karena kemampuannya
mempercepat, mengawasi, menstimulasi, dan menyimpan informasi.
Dengan kata lain, pada lapisan
ini yang penting adalah unsur kognitif seperti kecepatan, simulasi,
pengawasan, dan penyimpanan.
Lapisan kedua berupa alat-alat
atau infrastruktur yang merepresentasikan kecepatan, simulasi, pengawasan,
dan penyimpanan informasi. Umumnya, unsur-unsur tersebut adalah perangkat
komputer (PC, laptop, kamera, handphone, server), satelit, dan kabel serat
optik.
Lapisan ketiga adalah
unsur-unsur publik, seperti rakyat, media, perusahaan. Unsur-unsur ini adalah
target dari pemanfaatan teknologi informasi untuk kemajuan peradaban bangsa,
penyebaran media, dan produktivitas perusahaan.
Dengan membuat peta cybersuperiority, arah kebijakan
pemerintah dalam menguasai teknologi informasi untuk kesejahteraan negara
menjadi lebih jelas. Lalu, di mana kaitan strategi menguasai teknologi
informasi dengan meraih bonus demografi?
Penguasaan
teknologi informasi atau cybersuperiority
berperan penting untuk mengawal kestabilan negara menuju bonus demografi dan
pasca bonus demografi untuk menyerap dan mengakomodasi keinginan rakyat yang
tersebar di dunia maya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar