Semua
Harus Diketahui Polisi
Ashadi
Siregar ; Peneliti Media; Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta
|
KOMPAS,
04 Juni 2014
Peristiwa
di Yogyakarta boleh dianggap bersifat lokal. Namun, berita Kompas: ”Kemajemukan Terusik, Sekelompok Orang
Serang Acara Doa Bersama di Sleman” (31/5/2014, hal 15) harus diterima
sekaligus menyadarkan bahwa ini mencerminkan kondisi bersama yang
memprihatinkan. Dengan membiarkan berlarut-larut bukan mustahil Indonesia
akan punya sejenis Boko Haram nantinya.
Sekelompok
orang menyerbu, merusak rumah, dan menganiaya hanya karena ada acara berdoa
dan latihan paduan suara Kristiani. Secara demonstratif, pelaku mengenakan
pakaian yang secara stereotip menggambarkan kelompok Islam. Kekerasan dalam
interaksi antarumat beragama ternyata tak surut meski kalangan Islam yang
mendukung kemajukan berbangsa tak henti menyerukan perlunya saling
menghargai. Polisi memang bergerak cepat, tetapi ada yang perlu dicatat dari
berita Kompas:
”Kepala Polda DIY Brigadir Jenderal (Pol) Haka
Astana mengatakan, polisi sudah menangkap satu orang berinisial Kh yang
diduga terlibat penyerangan. Kh ditangkap di rumahnya yang tak jauh dari
lokasi kejadian. Haka menambahkan, pihaknya belum bisa menyimpulkan motif
penyerangan. Namun, dia menjamin warga tak perlu takut menjalankan kegiatan
yang tak bertentangan dengan aturan. ’Namun, kami berharap, jika ada kegiatan
bersama-sama, mohon polisi diberi tahu,’ kata dia”.
Pernyataan
”jika ada kegiatan bersama-sama, mohon
polisi diberi tahu”, tidak pelak menimbulkan kesan tentang pendekatan
menghadapi keamanan warga. Ini paralel dengan sikap polisi jika ada
perampokan nasabah bank. Seolah kesalahan pada korban karena ”...kalau mengambil uang di bank dalam
jumlah besar, minta pengawalan polisi untuk pengamanan”.
Pengamanan, keamanan
Bayangkan
jika setiap pengajian agama dalam komunitas harus memberi tahu polisi, apakah
polisi akan mengawalnya? Berapa banyak polisi yang harus menunggui mengingat
banyaknya majelis taklim, persekutuan doa, atau ibadah bersama oleh penganut
agama-agama yang ada di Indonesia. Begitu juga dengan pengambilan uang di
bank. Bukan soal jumlah besar atau kecil perlu pengamanan. Uang Rp 5 juta
sangat berharga bagi nasabah kecil. Jika dana miliaran dirampok, mungkin
tidak jadi soal bagi korporasi yang mengasuransikan setiap asetnya. Karena
itu, bukan pengawalan spesifik orang per orang yang diperlukan karena
pastilah yang kaya akan mendapat prioritas.
Jika
pengamanan yang diperlukan, setiap orang akan membentuk dan membiayai
pengawal pribadi. Kelompok agama akan punya pasukan sendiri. Korporasi harus
menyewa satuan pengamanan terlatih. Ini semua mencerminkan hilangnya
kepercayaan kepada negara, khususnya kepada aparatur untuk fungsi keamanan.
Di Youtube ada klip Presiden Obama berjalan kaki menyapa orang di jalanan
(http://www.youtube.com/watch?v= gZR1CvSQntE). Di situ terlihat pengamanan
yang tak mencolok, tak ada aparat berpakaian seragam, tidak ada serdadu yang
menyingkirkan warga yang dilewati. Jika memang ada keamanan, buat apa
pengamanan spesifik yang berlebihan?
Keamanan
di ruang publik (public-sphere)
dalam parameter birokratis adalah dari statistik penangkapan pelanggar hukum.
Namun, bagi warga, yang lebih penting rasa aman. Bagaimana disebut ada
keamanan jika saat sekadar berdoa bersama merasa waswas, khawatir akan
diserbu.
Pendekatan
operasionalisme (Peursen, CA van, 1976, Strategi Kebudayaan, BPK Gunung Mulia
-Penerbit Yayasan Kanisius, Jakarta-Yogyakarta) kiranya perlu tetap dirujuk
guna menghindari pendekatan jangka pendek dalam kubangan struktur institusi
sendiri. Banyak hal harus disesali ketika setting
zaman dan eksistensi diri berubah. Seorang prajurit merasa sukses dalam
struktur kerjanya saat dapat mematikan musuh, bahkan membuat satu kampung tak
hancur. Namun, saat keberadaan diri akan jadi negarawan, ketegasan saat
berperang digugat sebagai kekejaman. Cara pandang hanya dalam lingkup kerja
struktural dapat mengabaikan kepentingan mendasar warga yang harus dilayani.
Kemajemukan yang terusik
Dengan
pendekatan pengamanan, kemajemukan niscaya tak bermakna apalagi jika disebut
(sekadar terusik). Persoalan mendasar adalah pembiaran terhadap tindakan
kekerasan dalam kehidupan publik. Ruang publik merupakan zona yang memerlukan
keamanan berdasarkan rasionalitas. Warga tak perlu pengamanan fisik satu per
satu pribadi atau kelompok manakala ruang publik merupakan zona aman.
Peristiwa terakhir di Yogyakarta yang berada di daerah istimewa merupakan
tonjokan telak bagi publik Yogyakarta. Bagaimana mungkin di wilayah ini
tindak kekerasan terjadi? Bahkan, beberapa waktu lalu terpajang dengan masif
ucapan terima kasih kepada tentara yang membunuh warga sipil.
Betapapun warga yang dibunuh itu preman, gali, bromocorah, atau apa pun
sebutannya tak ada rasionalitas bagi tindakan pembunuhan. Hukuman mati lewat
pengadilan pun perlu proses pengujian (dengan rasionalitas) bertingkat, tidak
dengan kemarahan atau kebencian. Akar sikap anti kekerasan adalah
rasionalitas dalam melihat kenyataan diperlukan dalam seluruh aspek kehidupan
bersama di ruang publik. Nah, wong
Yogya boleh menatap dirinya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar