“Requiem”
bagi Pasifisme di Asia
Rene
L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
04 Juni 2014
Negara-negara
besar, baik di dalam maupun di luar kawasan Asia, seolah-olah menganggap
kawasan yang relatif stabil dan damai selama tiga dekade terakhir ini menjadi
lahan mengadu gagasan dan konsep arsitektur keamanan. Namun, seperti tak ada
satu pun yang memahami bahwa nilai, norma, dan hukum internasional dalam berbangsa
serta bernegara di kawasan ini dijunjung sepenuhnya oleh kebutuhan stabilitas
domestik dan regional bagi pembangunan nasional setiap negara.
Perdebatan
yang memuncak pada acara tahunan Dialog Shangri-La Ke-13 yang diselenggarakan
pekan lalu di Singapura oleh International
Institute for Strategic Studies (IISS) menyisakan beberapa pertanyaan
mendasar. Pertama, apakah benar peran payung keamanan melalui perimbangan
kekuatan model Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang
sekarang diwujudkan antara AS-Tiongkok menghasilkan kebebasan, stabilitas,
dan perdamaian di kawasan ini?
Kedua,
apakah arsitektur keamanan buatan Tiongkok disebut Yazhou Xin Anquan Guan
(Konsep Keamanan Baru Asia) ataupun arsitektur keamanan buatan Jepang tentang
Kontribusi Proaktif bagi Perdamaian adalah bentuk baru militerisme Asia yang
mengabaikan nilai-nilai regional tentang politik gotong royong bersemangat ”ringan sama dijinjing berat sama dipikul”?
Kita
khawatir, banyaknya konsep arsitektur keamanan yang dikembangkan AS
(kebijakan poros), Tiongkok, Jepang, dan ASEAN (melalui ARF dan EAS) justru
akan mematikan gagasan pasifisme di dalamnya dan berubah menjadi aksi
militansi atas nama kepentingan nasional masing-masing.
Asia
Tenggara berada di tengah semua kepentingan negara besar di dalam dan luar
kawasan Asia, terimpit mempertahankan eksistensi strategisnya dalam adu
kepentingan lingkup pengaruh dan masuk ke dalam pusaran perimbangan kekuatan
(balance of power). Persoalannya
tidak hanya mencakup lomba persenjataan sebagai konsekuensi konsep arsitektur
keamanan setiap pihak, tetapi juga pada perubahan nilai, norma, dan hukum
internasional yang mengikat keseimbangan dinamis selama ini.
Jepang,
Filipina, dan Singapura, serta negara lain percaya, nilai-nilai keterbukaan
dan pluralisme politik eksistensi kekuatan AS di kawasan ini sebagai
penangkal efektif atas tekanan-tekanan Tiongkok. Artinya, superioritas
kekuatan militer AS menjadi jaminan mengimbangi kemajuan dan ekspansi
ekonomi, demografi, dan geografi Tiongkok.
Tiongkok
dengan mentalitas ”Negara Tengah” bertindak semaunya menebar balkanisasi
terhadap ASEAN. Negeri itu juga berteriak di berbagai forum keamanan tentang
warisan sejarah klaim kedaulatan di Kepulauan Senkaku, Paracel, dan Spratly
sebagai simbol patriotisme guna mencari kekuatan primordialnya dalam
menentukan jalannya sistem internasional.
Persaingan
Tiongkok-AS merupakan faktor utama yang bisa mengubah arsitektur keamanan
kawasan yang selama ini terjaga dalam mekanisme kerja sama dan saling
pengertian di tingkat bilateral, regional, dan multilateral. Faktor ini
setidaknya ditentukan oleh, pertama, tekanan Beijing yang terus-menerus
menolak hak batas landas kontinen negara lain dan memperlakukan mereka
seperti Tibet atau Xinjiang.
Kedua, pangkal persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan terletak pada
sembilan garis putus-putus yang tak pernah secara tegas bisa dijelaskan
dasar, maksud, dan tujuannya oleh Beijing. Ratifikasi atas hukum laut UNCLOS
tak memungkinkan membuat garis-garis batas kedaulatan di lautan, di mana
kebebasan navigasi harus menjadi jaminan mendasar melakukan perundingan
damai. Atau, Tiongkok memilih misa kematian bagi stabilitas dan perdamaian di
kawasan ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar