Jumat, 06 Juni 2014

“Requiem” bagi Pasifisme di Asia

“Requiem” bagi Pasifisme di Asia

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  04 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Negara-negara besar, baik di dalam maupun di luar kawasan Asia, seolah-olah menganggap kawasan yang relatif stabil dan damai selama tiga dekade terakhir ini menjadi lahan mengadu gagasan dan konsep arsitektur keamanan. Namun, seperti tak ada satu pun yang memahami bahwa nilai, norma, dan hukum internasional dalam berbangsa serta bernegara di kawasan ini dijunjung sepenuhnya oleh kebutuhan stabilitas domestik dan regional bagi pembangunan nasional setiap negara.

Perdebatan yang memuncak pada acara tahunan Dialog Shangri-La Ke-13 yang diselenggarakan pekan lalu di Singapura oleh International Institute for Strategic Studies (IISS) menyisakan beberapa pertanyaan mendasar. Pertama, apakah benar peran payung keamanan melalui perimbangan kekuatan model Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sekarang diwujudkan antara AS-Tiongkok menghasilkan kebebasan, stabilitas, dan perdamaian di kawasan ini?

Kedua, apakah arsitektur keamanan buatan Tiongkok disebut Yazhou Xin Anquan Guan (Konsep Keamanan Baru Asia) ataupun arsitektur keamanan buatan Jepang tentang Kontribusi Proaktif bagi Perdamaian adalah bentuk baru militerisme Asia yang mengabaikan nilai-nilai regional tentang politik gotong royong bersemangat ”ringan sama dijinjing berat sama dipikul”?

Kita khawatir, banyaknya konsep arsitektur keamanan yang dikembangkan AS (kebijakan poros), Tiongkok, Jepang, dan ASEAN (melalui ARF dan EAS) justru akan mematikan gagasan pasifisme di dalamnya dan berubah menjadi aksi militansi atas nama kepentingan nasional masing-masing.

Asia Tenggara berada di tengah semua kepentingan negara besar di dalam dan luar kawasan Asia, terimpit mempertahankan eksistensi strategisnya dalam adu kepentingan lingkup pengaruh dan masuk ke dalam pusaran perimbangan kekuatan (balance of power). Persoalannya tidak hanya mencakup lomba persenjataan sebagai konsekuensi konsep arsitektur keamanan setiap pihak, tetapi juga pada perubahan nilai, norma, dan hukum internasional yang mengikat keseimbangan dinamis selama ini.

Jepang, Filipina, dan Singapura, serta negara lain percaya, nilai-nilai keterbukaan dan pluralisme politik eksistensi kekuatan AS di kawasan ini sebagai penangkal efektif atas tekanan-tekanan Tiongkok. Artinya, superioritas kekuatan militer AS menjadi jaminan mengimbangi kemajuan dan ekspansi ekonomi, demografi, dan geografi Tiongkok.

Tiongkok dengan mentalitas ”Negara Tengah” bertindak semaunya menebar balkanisasi terhadap ASEAN. Negeri itu juga berteriak di berbagai forum keamanan tentang warisan sejarah klaim kedaulatan di Kepulauan Senkaku, Paracel, dan Spratly sebagai simbol patriotisme guna mencari kekuatan primordialnya dalam menentukan jalannya sistem internasional.

Persaingan Tiongkok-AS merupakan faktor utama yang bisa mengubah arsitektur keamanan kawasan yang selama ini terjaga dalam mekanisme kerja sama dan saling pengertian di tingkat bilateral, regional, dan multilateral. Faktor ini setidaknya ditentukan oleh, pertama, tekanan Beijing yang terus-menerus menolak hak batas landas kontinen negara lain dan memperlakukan mereka seperti Tibet atau Xinjiang.

Kedua, pangkal persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan terletak pada sembilan garis putus-putus yang tak pernah secara tegas bisa dijelaskan dasar, maksud, dan tujuannya oleh Beijing. Ratifikasi atas hukum laut UNCLOS tak memungkinkan membuat garis-garis batas kedaulatan di lautan, di mana kebebasan navigasi harus menjadi jaminan mendasar melakukan perundingan damai. Atau, Tiongkok memilih misa kematian bagi stabilitas dan perdamaian di kawasan ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar