Tantangan
Sektor ESDM
Pri
Agung Rakhmanto ; Peneliti Moderate Muslim Society (MMS)
|
KOMPAS,
04 Juni 2014
Dua
pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang ada menawarkan visi-misi
pada sektor energi dan sumber daya mineral yang lebih kurang sama mulianya,
paling tidak dari apa yang tertulis. Lebih kurang keduanya pada intinya
sama-sama menjanjikan kemandirian dan kedaulatan dalam pengelolaan energi dan
sumber daya mineral (ESDM) dan menjadikannya sebagai modal dasar untuk
memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. Namun, satu-dua periode pemerintahan
bukanlah waktu yang panjang untuk bisa merealisasikan janji itu.
Mewujudkan
visi-misi menjadi kenyataan tentu tak semudah (hanya) menuliskannya di satu-dua
lembar kertas untuk syarat administratif pendaftaran pasangan
capres-cawapres. Siapa pun yang akan menjalankan roda pemerintahan mendatang
akan menghadapi tantangan yang tidak
mudah pada bidang ESDM.
Saya
memprediksi, kalaupun para penyelenggara pemerintahan mendatang bekerja keras
dan konsisten, dengan kondisi politik-ekonomi-sosial dan birokrasi yang ada,
yang bisa dicapai dalam lima tahun pertama adalah sebatas menyelesaikan
persoalan- persoalan operasional yang telah (sebelumnya) ada sambil pada batas dan tingkatan tertentu melakukan
koreksi-koreksi dan meletakkan dasar fondasi kebijakan untuk periode
selanjutnya.
Listrik, BBM, dan gas
Di
bidang energi, di antara persoalan operasional yang utama adalah pemenuhan
kebutuhan listrik, BBM, gas untuk domestik yang dapat diandalkan. Dari
ketiganya, rapor di dalam pemenuhan listrik dan gas selama ini dapat
dikatakan merah. Di samping terjadi defisit pada keduanya, pasokan yang ada
pun sering kali tidak dapat diandalkan.
Listrik
sering padam dan kebutuhan gas industri tak ada kepastian pasokannya. Masalah
operasional yang lain adalah eksekusi program-program yang selama ini
terkendala persoalan teknis dan nonteknis, di antaranya adalah investasi dan
aktivitas eksplorasi produksi migas yang banyak terkendala persetujuan
birokrasi, perizinan dan pembebasan lahan, dan pembangunan pembangkit listrik
yang molor dari jadwal.
Koreksi
dan dasar fondasi kebijakan yang perlu dan semestinya dapat dilakukan di
antaranya adalah menyangkut revisi UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas
(Migas), alokasi investasi langsung pada infrastruktur transmisi, dan
distribusi listrik untuk meningkatkan keandalan pasokan. Juga kebijakan tarif
listrik khususnya panas bumi dan subsidinya, peta jalan dan skema konkret
insentif untuk investasi infrastruktur energi seperti jaringan pipa gas dan
kilang, dan peta jalan dan alokasi anggaran konkret untuk program
pengembangan bahan bakar nabati dalam skala masif ataupun sistem dan
mekanisme insentif untuk kewajiban penggunaannya di sektor transportasi.
Dalam
hal yang berhubungan dengan subsidi energi di APBN, khususnya subsidi BBM,
koreksi semestinya dapat dilakukan dengan mulai membangun sistem dan
mekanisme subsidi langsung kepada pengguna dan bukan lagi sistem subsidi
terhadap harga jenis BBM.
Di
bidang sumber daya mineral, persoalan operasional utama adalah pada
penertiban dan pengawasan terhadap ribuan izin usaha pertambangan yang selama
ini tumpang tindih, liar, dan tak mengikuti peraturan perundangan yang berlaku
di dalam hal kewajiban penerimaan negara.
Hal
operasional lainnya yang terkait dengan kebijakan adalah implementasi dari UU
Minerba No 4/2009, termasuk di dalamnya menyangkut implementasi kebijakan
hilirisasi mineral dan eksekusi pembangunan smelter. Arah pengelolaan
pertambangan nasional yang jelas perlu harus segera dirumuskan agar dapat
diselaraskan dengan desentralisasi kewenangan penerbitan izin usaha
pertambangan kepada pemerintah daerah yang sudah digariskan sendiri di dalam
UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.
Nasionalisasi: jangan
Dalam
hal pengelolaan hulu energi dan sumber daya mineral, nasionalisasi dalam
bentuk pengambilalihan aset dan semacamnya sebaiknya tidak ditempuh karena
ditinjau dari berbagai aspek pada dasarnya memang tidak memungkinkan untuk
dilakukan. Negosiasi ulang dengan strategi yang jitu dan pendekatan diplomasi
bisnis yang menjunjung tinggi asas kepatutan menjadi pilihan yang paling
rasional dan elegan meskipun hal itu tetap harus dilakukan secara saksama dan
hati-hati.
Pada
akhirnya, saya percaya bukan kedua hal (yang cenderung bersifat mercusuar)
ini yang akan menentukan kemandirian dan kedaulatan kita di dalam pengelolaan
sektor ESDM nasional.
Jika kita bisa konsekuen dan konsisten menyelesaikan persoalan-persoalan
operasional yang ada dan terus-menerus membangun fondasi kebijakan serta
mengimplementasikannya secara konkret dan berkelanjutan lintas periode
pemerintahan, itu sudah akan sangat membantu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar