Menyikapi
Kampanye Negatif
Dinna
Wisnu ; Co-founder dan Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi
Universitas Paramadina
|
KOMPAS,
04 Juni 2014
Hari
pemilihan presiden dan wakil presiden RI adalah 9 Juli dan yang makin terasa
adalah suasana memanas antarpendukung kedua kubu capres dan cawapres. Dalam
Twitter, Facebook, berita online, diskusi nirelektronik (ceramah, kegiatan
sosial, diskusi kelompok, dan media cetak), makin tajam serangan antarkubu,
seperti isu praktik ibadah seorang capres, kepribadian, kehidupan pribadi,
bahkan identitas etnis dijadikan bahan menjatuhkan reputasi lawan. Di media
kemudian ramai dibicarakan cara menyikapi kampanye negatif. Dalam ruang demokrasi,
kampanye negatif perlu dipahami secara proporsional. John Geer (2006)
mengatakan, kampanye negatif adalah segala bentuk kritik yang dilancarkan
seorang kandidat terhadap lawannya dalam kampanye.
Disebut
negatif karena itu dilakukan dalam upaya meningkatkan keraguan tentang lawan,
bukan menunjukkan mengapa seorang kandidat layak dipilih. Wujudnya serangan
terhadap individu, iklan yang tak adil, iklan yang kasar dan tak pantas,
mendiskreditkan seseorang, membuat perbandingan atau membicarakan lawan dengan
mengkritik visi dan misinya, pencapaian, kualifikasi, dan lain-lain.
Kotor jangan hitam
Dalam
literatur studi ilmu politik, ada yang membedakan kampanye negatif dengan
taktik kotor alias kecurangan (David
Mark 2009). Contoh kecurangan adalah fitnah dan tipu daya, misalnya
skandal Watergate di AS pada 1974, ketika terungkap sebuah unit dalam tim
kampanye capres Nixon bertugas menyiarkan kabar bohong serta menyadap dan
melakukan operasi intelijen untuk menghancurkan karakter pesaingnya dalam
pilpres 1972.
Di
Indonesia, mungkin ini setara kampanye hitam meski dalam keilmuan istilah itu
banyak dipersoalkan karena mengandung makna kolonial yang prejudis dan
menggambarkan dominasi kuasa. Penggunaan kata hitam juga dipersoalkan karena
selama ini cenderung diasosiasikan sebagai sesuatu yang buruk (contoh: black magic, black list, black market,
dan seterusnya). Komunitas kulit hitam berusaha mendekonstruksi label macam
itu. Lebih cocok jika kita menggunakan istilah kampanye kotor untuk merujuk
pada praktik yang melanggar hukum dan tidak etis.
Kenyataannya
kampanye negatif lebih mudah dikritik daripada dihindari. Jika disinyalir ada
pencemaran nama baik atau fitnah, pengadilan yang akan menentukan kebenaran
tudingan itu. Pemilu dapat berlalu dulu sampai kemudian ada bukti-bukti yang
menguatkan adanya penggunaan taktik kotor. Artinya, sebagai pemilih kita
dituntut cerdas membaca situasi dan para pengamat lebih jeli dalam
melontarkan komentar dan saran.
Kampanye
negatif bisa dilakukan kubu mana pun. Menurut David Damore (2002), ada empat
variabel menentukan mengapa suatu kubu memilih melakukan kampanye negatif.
Pertama, jarak waktu menuju pilpres. Semakin dekat menuju pilpres, semakin
masyarakat akan dibanjiri kampanye negatif karena pada masa-masa itulah
kampanye positif mencapai titik jenuh dan pemilih butuh pembedaan konkret
antarcalon. Kedua, perilaku lawan di masa sebelumnya. Semakin seorang calon
disudutkan di masa awal kampanye, semakin gigih pula ia akan membalas dengan mendiskreditkan
lawan. Ketiga, posisi elektabilitas dalam jajak pendapat. Lebih mudah bagi
calon yang merasa tertinggal untuk menegasikan prestasi lawan daripada
mengangkat isu tertentu yang belum tentu disambut baik pemilih.
Keempat,
karakter isu yang dianggap menonjol dan ampuh menggalang dukungan dalam
pemilu. Sering kali isu itu adalah isu yang memecah belah kelompok karena
pembedaan macam itu pula yang akhirnya membantu melahirkan karakter aliran
pendukung bagi parpol-parpol.
Dari
empat variabel tadi, kemungkinan pemilih Indonesia dibanjiri kampanye negatif
memang tinggi. Dari segi waktu kampanye, durasi kampanye pilpres yang resmi
terbilang sangat singkat hanya sekitar 39 hari. Di AS, masa kampanye pilpres
resmi dimulai saat primary (pemilu
awal) dan makin gencar saat konvensi partai digelar, artinya ada 9-11 bulan.
Pada masa-masa itulah keasyikan pemilih membandingkan capres dan cawapres
dipupuk. Sekitar sebulan sebelum pilpres, nyaris tak ada lagi diskusi yang
produktif di televisi, radio, ataupun jejaring sosial. Yang terjadi saling
tuding, saling cerca, serta dengan istilah dan gambar-gambar vulgar bahkan
kejam. Sudah beberapa kali pilpres saya lalui di AS dan rata-rata orang
memilih tidak menonton televisi dan tidak berdiskusi politik menjelang pilpres
karena muak. Bedanya, di Indonesia para pemilih nyaris tak punya pilihan lain
karena waktu kampanye telanjur sangat pendek.
Selain
itu, demokrasi butuh kedewasaan dalam menanggapi, berpikir, dan bertindak
dari para pemilih karena pada akhirnya karakter parpol hanya dapat terbentuk
ketika menghadapi isu-isu yang berpotensi memecah keutuhan bangsa. Perpecahan
politik sempat memunculkan konflik berdarah di sejumlah negara demokrasi di
Eropa dan AS terkait agama, ras, kelompok kaya dan kaum pekerja, kaum
bangsawan dan rakyat jelata.
Hal ini
perlu diantisipasi di Indonesia. Yang paling perlu diwaspadai saat ini adalah
isu SARA karena parpol di Indonesia ”terbelah” secara horizontal dalam
politik aliran yang basisnya kaum sekuler/nasionalis versus kaum religius/ agamis.
Berbeda dengan parpol di Eropa dan AS yang umumnya terbagi dalam garis
ideologis yang vertikal antara yang liberal-market
dan regulated-market, liberal dan
sosialis, kanan dan kiri. Pengalaman berdarah dari demokrasi yang usianya
sudah ratusan tahun hendaknya menjadi pelajaran untuk menyikapi masa-masa ini
dengan lebih bijak.
Dengan
kadar isu yang amat sensitif dalam pemilu kali ini, pertama, aparat keamanan
dan intelijen disiagakan mencegah benturan fisik antarkelompok dan menindak
tegas kelompok-kelompok yang meresahkan masyarakat karena ancaman ataupun
aksi fisik.
Kedua,
kampanye negatif dapat digunakan sebagai kampanye positif untuk beberapa isu,
misalnya tema pelanggaran HAM. Lembaga-lembaga HAM atau Komisi Nasional HAM
dapat mengusulkan kepada pasangan
capres-cawapres sebuah peta jalan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi
untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Kita
lihat setiap kubu mengantongi dukungan dari tokoh HAM dan anti korupsi yang
dapat berbicara dengan bahasa yang sama. Dengan demikian, kita juga
mengurangi bahaya kampanye negatif yang umumnya membuat banyak orang menjadi
golput karena pesimistis dan sinis dengan proses pemilu yang berlangsung.
Ketiga, perlu dibangun wacana perpanjangan masa kampanye agar setiap
capres dapat melakukan kampanye positif dengan mempertajam aspek positif visi
misi mereka. Masyarakat, khususnya yang belum memutuskan memilih siapa, dapat
mencerna rencana-rencana positif setiap kandidat sehingga ketika kampanye
negatif terjadi mereka dapat memiliki pertimbangan lebih baik dan rasional.
Indonesia harus bisa melalui tantangan demokrasi ini dengan baik demi
mencapai praktik demokrasi yang substansial dan bermutu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar