Memperkuat
Toleransi
Ulil
Absor ; Peneliti Moderate Muslim Society (MMS)
|
KOMPAS,
04 Juni 2014
Indonesia
merupakan negara yang kaya ragam budaya, baik dari segi kesenian maupun
tradisi ritual keagamaan. Namun, tradisi dan ritual keagamaan yang berbeda
sering dianggap menyimpang oleh sebagian masyarakat. Apalagi, ada pihak yang
belakangan gencar mengampanyekan pemurnian agama, bahkan menebarkan ancaman
bagi kelompok lain.
Hal itu
bertolak belakang dengan fakta bahwa bangsa Indonesia beragam suku, bahasa,
dan agama sesuai dengan semboyan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika, semboyan
seorang Buddha dari Kerajaan Majapahit, Empu Tantular. Tujuannya waktu itu
agar pengikut Hindu-Buddha akur dan hidup harmonis.
Ironisnya,
fanatisme terhadap golongan membuat mereka buta tentang arti menghargai
perbedaan. Tudingan sesat menyesatkan antar-golongan dan menganggap paling
benar aliran yang dianutnya, bahkan sampai membakar tempat peribadatan agama
lain yang menurutnya sesat.
Segala
bentuk tindak kekerasan dalam beragama dan bernegara seperti ini jelas tidak
sesuai dengan yang telah dirumuskan para tokoh nasional dalam perumusan asas
dasar negara Indonesia. Para tokoh perumusan asas dasar negara di antaranya
(1) Soekarno dengan pemikirannya terkait landasan dasar negara tentang
kebangsaan, perikemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan sosial; (2) Moh
Yamin dengan pemikiran perikebangsaan, perikemanusiaan, periketuhanan,
perikerakyatan, dan kesejahteraan rakyat; dan (3) Supomo dengan pemikirannya
tentang persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir batin, musyawarah, dan
keadilan sosial.
Dari
yang sudah dirumuskan itu, kemudian terbentuklah Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia. Tampak jelas bahwa asas dasar negara tidak
berlandaskan atas keberpihakan kepada satu golongan, melainkan atas dasar
keragaman budaya bangsa. Dengan keberbedaan ini, Indonesia diharapkan mampu
menjadi bangsa yang mau menghormati dan menghargai perbedaan serta menumbuhkan
sikap peduli terhadap sesama.
Kearifan
sosial-agama semacam ini layak jadi pijakan bangsa dalam memupuk persatuan
dan kesatuan antaretnis maupun agama seiring dengan munculnya tekanan Islam
pada ideologi religio-politik yang menekankan penerapan syariah secara kafah
dan khilafah Islamiyah. Penjajahan kultur sering memicu konflik horizontal,
penindasan jender, dan tidak adanya sentuhan keserasian serta keselarasan
sebagai sesama manusia.
Kehidupan
sosial masyarakat yang semakin terdistorsi arus kepentingan berbagai
kelompok, serta munculnya isu pemaksaan sistem monokulturalitas, jelas
bertentangan dengan kaidah bangsa yang kaya dengan ragam budaya. Karena itu,
diperlukan orientasi baru tentang toleransi berbasis pluralitas dan
multikulturalitas sebagai upaya menjaga keutuhan bangsa di tengah perbedaan
yang semakin kompleks.
Pengaruh Hindu-Buddha
Kehidupan
religius masyarakat di Indonesia, khususnya Jawa, sebelum kedatangan Islam
bercorak animisme dan dinamisme. Setelah ajaran Hindu-Buddha masuk di tanah
Jawa, mereka lebih terbuka menerima agama apa pun dengan pemahaman bahwa
semua agama itu baik. Lama-kelamaan kepercayaan animisme dan dinamisme serta
budaya Hindu-Buddha terkikis. Mulailah dikenal agama Islam setelah wali sanga
datang di tanah Jawa. Mereka kagum dengan nilai-nilai Islam yang begitu besar
manfaatnya dalam hidup sehari-hari. Mereka langsung bisa menerimanya dan
Islam berkembang pesat sampai saat ini.
Toleransi
ajaran wali sanga dapat dilihat dari kesenian wayang. Pengalihan fungsi unsur
keagamaan Hindu-Buddha sebagai media dakwah melalui kesenian wayang dirasa
efektif dalam penyebaran agama Islam tanpa harus menghilangkan tradisi yang
sudah ada. Begitu juga dari segi arsitektur, percampuran budaya terlihat dari
bangunan masjid kuno yang menggunakan gapura (budaya Hindu) sebagai pintu
masuk serta adanya menara sebagai tempat pemujaan kepada dewa mereka. Ini
kemudian dialihfungsikan sebagai media (mengumandangkan azan) mengajak
masyarakat berbondong-bondong meramaikan masjid. Bangsa Indonesia tak bisa
lepas dari multikulturalisme.
Sebagai
contoh, dengan kecerdasan dan kelembutan hati Sunan Kalijaga, ia mampu
menciptakan kesenian bersuasana Hindu-Buddha sebagai bentuk toleransi kepada
masyarakat waktu itu. Kesenian merupakan sarana efektif dan sangat toleran
dalam menyampaikan ajaran Islam terhadap budaya lokal. Sunan Kalijaga
berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Masyarakat harus didekati secara bertahap dengan mengikuti sambil memengaruhi
masyarakat setempat tanpa harus menghilangkan unsur tradisi dan budaya yang
sudah mereka anut.
Tak
heran, yang sudah diajarkan Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (perpaduan)
dalam mengenalkan Islam. Sunan Kalijaga juga menggubah lagu ”Ilir-ilir”
sebagai sarana dakwah yang efektif dan mudah diterima masyarakat. Lagu itu
mengandung pesan atau makna tentang asal-usul dan tujuan hidup manusia,
memberi rasa optimistis kepada orang yang melakukan amal kebaikan demi hari
akhir karena kesempatan di dunia harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan.
Lagu
”Ilir-ilir” merupakan lagu berbasis geopolitik waktu itu sehingga sebagian
besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga, di antaranya
adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, dan Pajang.
Betapa
besar kebijaksanaan dan toleransi antaragama yang ditanamkan para wali sanga
dan bukti proses islamisasi bukanlah dengan jalan kekerasan, tetapi dengan
kelembutan yang ditawarkan. Islam bisa jadi agama yang berkembang seperti
sekarang ini. Ini seharusnya menyadarkan kita bahwa saat menyebarkan ajaran
Islam bukan sikap radikal yang ditampakkan hingga menghilangkan substansi
Islam yang toleran, melainkan dengan sifat terbuka terhadap budaya yang
masuk, melestarikan budaya yang sudah ada, dan implementasi Islam sebagai agama
rahmatan lil alamin.
Bangsa ini harus berani mengambil sikap tegas terhadap isu SARA,
membuka wawasan dan memaknai kehidupan sosial yang lebih terbuka, serta
bijaksana memahami segala bentuk keragaman budaya sebagai langkah awal
membina persatuan dan kesatuan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar