Sujiatmi
dan Athirah
Asvi
Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
JAWA
POS, 09 Juni 2014
KEPRIBADIAN
Joko Widodo yang sederhana dan kerja keras itu tidak terlepas dari sentuhan
sang ibunda Sujiatmi. Buku Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi yang ditulis Kristin
Samah dan Fransisca Ria Susanti bercerita tentang seorang ibu yang menanamkan
pendidikan budi pekerti, kesederhanaan hidup, kerendahan hati, hingga
akhirnya membentuk karakter Jokowi seperti sekarang ini. Sujiatmi berpesan
kepada anaknya: Nek mlakumu lurus, lempeng, uripmu mesti penak (Kalau jalanmu
lurus, lempang, hidupmu pasti enak”. Sangat sederhana cara dia mengajar
anak-anaknya. ”Untuk apa punya mobil sepuluh? Apa iya kalau mau pergi
sepuluh-sepuluhnya dipakai”.
Apresiasi
terhadap cara Sujiatmi membesarkan Jokowi, salah satunya, disampaikan Nina
Akbar Tanjung. ”Ibu Sujiatmi itu wanita yang sukses karena berhasil
membesarkan anak-anak. Beliau tetap mengajarkan filsafat luhur ojo dumeh (jangan mentang-mentang),”
kata Nina. Selain memuji pendidikan karakter yang dilakukan, Nina juga
menyinggung sosok Sujiatmi. ”Beliau
sangat luar biasa. Beliau juga berdagan. Selain itu juga jadi ibu rumah
tangga. Jadi, dulu waktu Jokowi sedang sakit, ibunya juga rela mengantarkan
anaknya ke sekolah dengan sepeda motor dan saat menjemput dicandain temannya
bahwa Jokowi dijemput oleh saudaranya,” cerita Nina. Dalam kesempatan itu,
Nina juga menjelaskan kebiasaan ibunda Jokowi yang selalu berpesan bahwa jika
ingin kaya, berkecimpunglah dalam bisnis, bukan dalam politik.
Menurut
penulis AS Emily Post, karakteristik perempuan hebat ditandai dengan empat
sifat: ketulusan, kesederhanaan, simpati, dan ketenangan. Semuanya itu
dimiliki Sujiatmi, ibunda Jokowi. Kegiatan rutin Haijah Sujiatmi ini adalah
Sabtu senam, hari-hari lain mengikuti pengajian di kampung dan di beberapa
tempat lain, sedangkan setiap hari Senin dia puasa sambil istirahat di rumah.
Dalam
buku ini juga disinggung tentang pertemuan Joko Widodo dengan calon istrinya,
Iriana. Semuanya berjalan sederhana. Iriana adalah teman sekolah Iit, adik
perempuan Jokowi. Sujiatmi yakin bahwa menantunya, Iriana, adalah perempuan
yang tahu apa yang harus dilakukannya dalam mendampingi Jokowi.
Ibu juga
memiliki peran sentral dalam kehidupan Jusuf Kalla seperti tergambar dalam
novel Athirah yang ditulis Alberthien Endah maupun biografi singkat yang
disusun Basri Tetteng dkk. Menurut JK, sosok ibu yang dia panggil Emma itulah
yang membentuknya sehingga menjadi seperti saat ini. Ibu adalah matahari yang
selalu memancarkan nilai-nilai dan menanamkan prinsip-prinsip yang mewarnai
hidupnya. Emma menghadapi masalah hidup tidak dengan menangis, tetapi dengan
sikap positif.
Novel
tersebut bertutur mengenai perjuangan seorang ibu yang menikah di usia muda
dengan seorang pedagang dan harus pula berbagi suami dengan perempuan lain.
Namun, kondisi itu menjadikan sosok yang jauh lebih kuat dalam mengarungi
hidup, membesarkan anaknya, dan tetap mendampingi suaminya. ”Ibu saya memang
menerima kenyataan dan pasrah. Dia mengatasi itu dengan berdagang dan
berdakwah sehingga bisa membesarkan kesepuluh anaknya,” kata Jusuf. Dia
merintis perdagangan kain sutra dan bisnis ini berkembang dengan pesat. JK
dengan senang hati menceritakan bahwa justru sang ibu yang menyelamatkan
perusahaan bapaknya yang terguncang tahun 1965. Ada proyek besar yang mandek
dan ratusan orang karyawan belum dibayar. Sang ibu berkata kepada suaminya,
Haji Kalla ”Aku yang akan membayar gaji semua pegawaimu, beri tahu saja
jumlahnya, nanti aku siapkan.”
Athirah
adalah perempuan yang dermawan. Berbeda dengan suaminya yang menjadi tokoh NU
di Sulawesi Selatan, dia justru banyak membantu kegiatan Muhammadiyah. Tanah
miliknya diwakafkan untuk membangun pesantren yang dikelola oleh Aisyiah,
organisasi sayap perempuan Muhammadiyah.
Tak lupa
disinggung tentang Mufidah, putri seorang guru agama di Makassar dari
Sumatera Barat. Pada mulanya, keluarga Mufidah meragukan Jusuf Kalla karena
semula mereka menginginkan putrinya disunting oleh orang sekampung. Kedua,
mereka juga mengetahui bahwa Haji Kalla beristri dua. Mereka tidak ingin
Jusuf mencontoh bapaknya dan mengakibatkan putrinya dimadu. Namun, Jusuf
berjuang untuk meyakinkan Mufidah dan keluarganya. Berkat keuletan Jusuf, dia
berhasil mempersunting gadis asal Minangkabau. Sebelum akad nikah, Haji Kalla
berbisik kepada Jusuf, ”Nak, jaga Mufidah baik-baik. Jangan lakukan apa yang
Bapak lalukan terhadap ibumu”. Pada akhir novel Athirah itu, Jusuf Kalla
berkata kepada Mufidah, ”Aku memang bukan suami yang sempurna, Tapi, satu hal
yang bisa kujamin, aku tak akan pernah melukai hatimu”. Mufidah tersenyum.
Dari kisah di atas tergambar bahwa pendidikan karakter seyogianya
dimulai sejak dini di tengah keluarga dan dalam hal ini ibu memiliki peran
sentral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar