Rabu, 11 Juni 2014

Sujiatmi dan Athirah

Sujiatmi dan Athirah

Asvi Warman Adam  ;   Sejarawan LIPI
JAWA POS,  09 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KEPRIBADIAN Joko Widodo yang sederhana dan kerja keras itu tidak terlepas dari sentuhan sang ibunda Sujiatmi. Buku Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi yang ditulis Kristin Samah dan Fransisca Ria Susanti bercerita tentang seorang ibu yang menanamkan pendidikan budi pekerti, kesederhanaan hidup, kerendahan hati, hingga akhirnya membentuk karakter Jokowi seperti sekarang ini. Sujiatmi berpesan kepada anaknya: Nek mlakumu lurus, lempeng, uripmu mesti penak (Kalau jalanmu lurus, lempang, hidupmu pasti enak”. Sangat sederhana cara dia mengajar anak-anaknya. ”Untuk apa punya mobil sepuluh? Apa iya kalau mau pergi sepuluh-sepuluhnya dipakai”.

Apresiasi terhadap cara Sujiatmi membesarkan Jokowi, salah satunya, disampaikan Nina Akbar Tanjung. ”Ibu Sujiatmi itu wanita yang sukses karena berhasil membesarkan anak-anak. Beliau tetap mengajarkan filsafat luhur ojo dumeh (jangan mentang-mentang),” kata Nina. Selain memuji pendidikan karakter yang dilakukan, Nina juga menyinggung sosok Sujiatmi.   ”Beliau sangat luar biasa. Beliau juga berdagan. Selain itu juga jadi ibu rumah tangga. Jadi, dulu waktu Jokowi sedang sakit, ibunya juga rela mengantarkan anaknya ke sekolah dengan sepeda motor dan saat menjemput dicandain temannya bahwa Jokowi dijemput oleh saudaranya,” cerita Nina. Dalam kesempatan itu, Nina juga menjelaskan kebiasaan ibunda Jokowi yang selalu berpesan bahwa jika ingin kaya, berkecimpunglah dalam bisnis, bukan dalam politik.

Menurut penulis AS Emily Post, karakteristik perempuan hebat ditandai dengan empat sifat: ketulusan, kesederhanaan, simpati, dan ketenangan. Semuanya itu dimiliki Sujiatmi, ibunda Jokowi. Kegiatan rutin Haijah Sujiatmi ini adalah Sabtu senam, hari-hari lain mengikuti pengajian di kampung dan di beberapa tempat lain, sedangkan setiap hari Senin dia puasa sambil istirahat di rumah.

Dalam buku ini juga disinggung tentang pertemuan Joko Widodo dengan calon istrinya, Iriana. Semuanya berjalan sederhana. Iriana adalah teman sekolah Iit, adik perempuan Jokowi. Sujiatmi yakin bahwa menantunya, Iriana, adalah perempuan yang tahu apa yang harus dilakukannya dalam mendampingi Jokowi.

Ibu juga memiliki peran sentral dalam kehidupan Jusuf Kalla seperti tergambar dalam novel Athirah yang ditulis Alberthien Endah maupun biografi singkat yang disusun Basri Tetteng dkk. Menurut JK, sosok ibu yang dia panggil Emma itulah yang membentuknya sehingga menjadi seperti saat ini. Ibu adalah matahari yang selalu memancarkan nilai-nilai dan menanamkan prinsip-prinsip yang mewarnai hidupnya. Emma menghadapi masalah hidup tidak dengan menangis, tetapi dengan sikap positif.

Novel tersebut bertutur mengenai perjuangan seorang ibu yang menikah di usia muda dengan seorang pedagang dan harus pula berbagi suami dengan perempuan lain. Namun, kondisi itu menjadikan sosok yang jauh lebih kuat dalam mengarungi hidup, membesarkan anaknya, dan tetap mendampingi suaminya. ”Ibu saya memang menerima kenyataan dan pasrah. Dia mengatasi itu dengan berdagang dan berdakwah sehingga bisa membesarkan kesepuluh anaknya,” kata Jusuf. Dia merintis perdagangan kain sutra dan bisnis ini berkembang dengan pesat. JK dengan senang hati menceritakan bahwa justru sang ibu yang menyelamatkan perusahaan bapaknya yang terguncang tahun 1965. Ada proyek besar yang mandek dan ratusan orang karyawan belum dibayar. Sang ibu berkata kepada suaminya, Haji Kalla ”Aku yang akan membayar gaji semua pegawaimu, beri tahu saja jumlahnya, nanti aku siapkan.”

Athirah adalah perempuan yang dermawan. Berbeda dengan suaminya yang menjadi tokoh NU di Sulawesi Selatan, dia justru banyak membantu kegiatan Muhammadiyah. Tanah miliknya diwakafkan untuk membangun pesantren yang dikelola oleh Aisyiah, organisasi sayap perempuan Muhammadiyah.

Tak lupa disinggung tentang Mufidah, putri seorang guru agama di Makassar dari Sumatera Barat. Pada mulanya, keluarga Mufidah meragukan Jusuf Kalla karena semula mereka menginginkan putrinya disunting oleh orang sekampung. Kedua, mereka juga mengetahui bahwa Haji Kalla beristri dua. Mereka tidak ingin Jusuf mencontoh bapaknya dan mengakibatkan putrinya dimadu. Namun, Jusuf berjuang untuk meyakinkan Mufidah dan keluarganya. Berkat keuletan Jusuf, dia berhasil mempersunting gadis asal Minangkabau. Sebelum akad nikah, Haji Kalla berbisik kepada Jusuf, ”Nak, jaga Mufidah baik-baik. Jangan lakukan apa yang Bapak lalukan terhadap ibumu”. Pada akhir novel Athirah itu, Jusuf Kalla berkata kepada Mufidah, ”Aku memang bukan suami yang sempurna, Tapi, satu hal yang bisa kujamin, aku tak akan pernah melukai hatimu”. Mufidah tersenyum.

Dari kisah di atas tergambar bahwa pendidikan karakter seyogianya dimulai sejak dini di tengah keluarga dan dalam hal ini ibu memiliki peran sentral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar