Rabu, 11 Juni 2014

Memahlawankan Soeharto, Apa Salahnya?

Memahlawankan Soeharto, Apa Salahnya?

Endang Suryadinata  ;   Salah satu penulis dalam buku
Warisan Daripada Soeharto (2008)
JAWA POS,  09 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
JANJI capres Prabowo yang hendak menjadikan Soeharto pahlawan bila kelak terpilih menjadi presiden menuai polemik hebat. Kalangan aktivis HAM atau reformis yang antikolusi, korupsi, dan nepotisme yang bersyukur atas lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 kini dipenuhi kecemasan bakal bangkitnya kembali Orba lewat janji tersebut.

Janji itu perlu dikritisi. Tapi, sikap kritis di sini tidak ada tendensi politis terkait dengan pilpres. Jadi, tulisan ini bukan anti kepada capres tertentu, lalu merekomendasikan capres yang lain. Tidak. Sikap kritis ini murni demi kepentingan bangsa yang lebih besar, betapa kita sungguh perlu sadar betapa berbahayanya jika Soeharto dengan segala ideologinya kembali bangkit setelah 16 tahun reformasi (Mencegah Bangkitnya Kembali Soeharto, Jati Diri Jawa Pos, 21/5/2014).

Memang, Soeharto yang lahir 8 Juni 1921 dan mangkat pada 27 Januari 2008 itu terus mewariskan polemik hebat di masyarakat kita. Janji Prabowo di atas mengingatkan penulis kepada iklan Partai Keadilan Sejahtera di TV pada 2008. Iklan berdurasi 30 detik dalam rangka Hari Pahlawan itu menggambarkan   Soeharto sebagai pahlawan nasioal seperti Soekarno. Anis Matta yang ketika itu sekretaris jenderal PKS meminta semua pihak menempatkan diri secara proporsional dalam menilai penampilan gambar Soeharto bersama para pahlawan nasional yang lain. Sebagai manusia biasa, Soeharto punya kesalahan. PKS juga memiliki pengalaman yang tidak mengenakkan terkait dengan Soeharto. Tapi, demi perubahan, PKS tidak dendam kepada masa lalu.

Tentu saja kecaman mengalir bagai mata air dari berbagai pihak, khususnya dari mereka yang menjadi korban rezim Soeharto seperti Budiman Sujatmiko. Menurut Fachry Ali, PKS tengah berjudi dengan iklan tersebut (Jawa Pos,12/11/2008).

Maka, jelas Prabowo juga tengah berjudi dengan janjinya. Memang, sebagian elite yang menikmati berkah kemakmuran Soeharto bisa dengan mudah berargumentasi bahwa kebijakan Soeharto yang otoriter atau melanggar HAM dianggap sebagai keniscayaan yang wajar sebagai harga yang harus dibayar bagi kemakmuran dan kemajuan ekonomi ketika itu. Merekalah yang pasti berada di balik tersebarnya gambar Pak Harto yang berkata ’’Enak zaman ku to?’’.

Tapi, para korban pelanggaran HAM dan mereka yang dibungkam, termasuk media, pasti akan berkata tidak pada jargon tersebut. Bagaimanapun, tetap lebih enak pada zaman sekarang. Pasalnya, lewat media sosial yang di era Soeharto memang belum lahir atau di media konvensional seperti koran dan TV, kita bebas menyampaikan aspirasi apa pun, termasuk menyuarakan sikap tidak setuju kepada pemerintah. Mengkritik presiden pun bukan barang tabu.

Maka, kebebasan yang telah kita nikmati 16 tahun ini lebih bernilai daripada kemakmuran di era Soeharto. Apalagi, sejatinya kemakmuran itu menipu karena harga yang harus dibayar adalah orang harus diam dan tidak boleh punya pendapat berbeda dari penguasa. Apakah kita mau kembali set back ke era jahiliyah seperti itu?

Lalu, soal kemakmuran atau kemajuan ekonomi yang diraih Pak Harto hendaknya jangan dimitoskan. Kemakmuran itu mungkin tercapai, tapi tidak selama 32 tahun Pak Harto berkuasa. Dari 1968 hingga 1994, mungkin dia sukses. Pertanyaan kita, mengapa menjelang lengsernya, dia justru tunduk kepada IMF? Coba cermati foto ketika Michael Camdessus, managing director IMF, berdiri menyaksikan Soeharto menandatangani letter of intent (LoI) dari IMF pada Mei 1998, pada saat itulah sebenarnya Soeharto mengaku telah gagal dari sisi ekonomi akibat kencangnya krisis moneter ketika itu.

Terkait dengan usul memberikan gelar kepahlawanan kepada Pak Harto, tulisan ini tidak bermaksud mencegah. Berdasar Undang-Undang No 33 Tahun 1964 dan Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial No 281/PS/X/2006, siapa pun bisa dicalonkan menjadi pahlawan asal memenuhi syarat seperti konsisten berjuang seumur hidup bagi bangsa dan negara, mempunyai jiwa/semangat nasionalisme yang tinggi, memiliki jangkauan yang luas dan berskala nasional, serta tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Terkait dengan gelar pahlawan, jangan lagi ada sangkaan orang bisa menjadi pahlawan lewat jalur cepat atau lambat. Misalnya, penetapan Jenderal Basuki Rahmad. Tokoh yang berjasa dalam mendapatkan Supersemar 1966 itu diangkat menjadi pahlawan nasional sehari setelah meninggal pada 8 Januari 1969. Lalu, proses pengangkatan Ibu Tien Soeharto sebagai pahlawan nasional pada 1996 juga berlangsung cepat, hanya berselang sehari pasca wafatnya pada 28 April 1996. Sementara itu, Bung Karno yang wafat pada 20 Juni 1970 baru ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1986.

Yang terbaik dari semua itu, kita masing-masing sebenarnya bisa mempersembahkan rangkaian pengorbanan tanpa pamrih bagi bangsa, negara, dan kemanusiaan, tanpa terobsesi disebut pahlawan. Jika kita bisa tetap menomorsatukan NKRI, Pancasila, UUD1945, dan Bhinneka Tunggal Ika serta tidak mengorbankan semua demi ambisi sesaat dalam pilpres, kita juga pahlawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar