Memahlawankan
Soeharto, Apa Salahnya?
Endang
Suryadinata ; Salah satu penulis dalam buku
Warisan
Daripada Soeharto (2008)
|
JAWA
POS, 09 Juni 2014
JANJI
capres Prabowo yang hendak menjadikan Soeharto pahlawan bila kelak terpilih
menjadi presiden menuai polemik hebat. Kalangan aktivis HAM atau reformis
yang antikolusi, korupsi, dan nepotisme yang bersyukur atas lengsernya
Soeharto pada 21 Mei 1998 kini dipenuhi kecemasan bakal bangkitnya kembali
Orba lewat janji tersebut.
Janji
itu perlu dikritisi. Tapi, sikap kritis di sini tidak ada tendensi politis
terkait dengan pilpres. Jadi, tulisan ini bukan anti kepada capres tertentu,
lalu merekomendasikan capres yang lain. Tidak. Sikap kritis ini murni demi
kepentingan bangsa yang lebih besar, betapa kita sungguh perlu sadar betapa
berbahayanya jika Soeharto dengan segala ideologinya kembali bangkit setelah
16 tahun reformasi (Mencegah Bangkitnya Kembali Soeharto, Jati Diri Jawa Pos,
21/5/2014).
Memang,
Soeharto yang lahir 8 Juni 1921 dan mangkat pada 27 Januari 2008 itu terus
mewariskan polemik hebat di masyarakat kita. Janji Prabowo di atas
mengingatkan penulis kepada iklan Partai Keadilan Sejahtera di TV pada 2008.
Iklan berdurasi 30 detik dalam rangka Hari Pahlawan itu menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan nasioal seperti
Soekarno. Anis Matta yang ketika itu sekretaris jenderal PKS meminta semua
pihak menempatkan diri secara proporsional dalam menilai penampilan gambar
Soeharto bersama para pahlawan nasional yang lain. Sebagai manusia biasa,
Soeharto punya kesalahan. PKS juga memiliki pengalaman yang tidak mengenakkan
terkait dengan Soeharto. Tapi, demi perubahan, PKS tidak dendam kepada masa
lalu.
Tentu
saja kecaman mengalir bagai mata air dari berbagai pihak, khususnya dari
mereka yang menjadi korban rezim Soeharto seperti Budiman Sujatmiko. Menurut
Fachry Ali, PKS tengah berjudi dengan iklan tersebut (Jawa Pos,12/11/2008).
Maka,
jelas Prabowo juga tengah berjudi dengan janjinya. Memang, sebagian elite
yang menikmati berkah kemakmuran Soeharto bisa dengan mudah berargumentasi
bahwa kebijakan Soeharto yang otoriter atau melanggar HAM dianggap sebagai
keniscayaan yang wajar sebagai harga yang harus dibayar bagi kemakmuran dan kemajuan
ekonomi ketika itu. Merekalah yang pasti berada di balik tersebarnya gambar
Pak Harto yang berkata ’’Enak zaman ku to?’’.
Tapi,
para korban pelanggaran HAM dan mereka yang dibungkam, termasuk media, pasti
akan berkata tidak pada jargon tersebut. Bagaimanapun, tetap lebih enak pada
zaman sekarang. Pasalnya, lewat media sosial yang di era Soeharto memang
belum lahir atau di media konvensional seperti koran dan TV, kita bebas
menyampaikan aspirasi apa pun, termasuk menyuarakan sikap tidak setuju kepada
pemerintah. Mengkritik presiden pun bukan barang tabu.
Maka,
kebebasan yang telah kita nikmati 16 tahun ini lebih bernilai daripada
kemakmuran di era Soeharto. Apalagi, sejatinya kemakmuran itu menipu karena
harga yang harus dibayar adalah orang harus diam dan tidak boleh punya
pendapat berbeda dari penguasa. Apakah kita mau kembali set back ke era
jahiliyah seperti itu?
Lalu,
soal kemakmuran atau kemajuan ekonomi yang diraih Pak Harto hendaknya jangan
dimitoskan. Kemakmuran itu mungkin tercapai, tapi tidak selama 32 tahun Pak
Harto berkuasa. Dari 1968 hingga 1994, mungkin dia sukses. Pertanyaan kita,
mengapa menjelang lengsernya, dia justru tunduk kepada IMF? Coba cermati foto
ketika Michael Camdessus, managing
director IMF, berdiri menyaksikan Soeharto menandatangani letter of intent (LoI) dari IMF pada
Mei 1998, pada saat itulah sebenarnya Soeharto mengaku telah gagal dari sisi
ekonomi akibat kencangnya krisis moneter ketika itu.
Terkait
dengan usul memberikan gelar kepahlawanan kepada Pak Harto, tulisan ini tidak
bermaksud mencegah. Berdasar Undang-Undang No 33 Tahun 1964 dan Surat Edaran
Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial No 281/PS/X/2006, siapa pun bisa
dicalonkan menjadi pahlawan asal memenuhi syarat seperti konsisten berjuang
seumur hidup bagi bangsa dan negara, mempunyai jiwa/semangat nasionalisme
yang tinggi, memiliki jangkauan yang luas dan berskala nasional, serta tidak
pernah melakukan perbuatan tercela.
Terkait
dengan gelar pahlawan, jangan lagi ada sangkaan orang bisa menjadi pahlawan
lewat jalur cepat atau lambat. Misalnya, penetapan Jenderal Basuki Rahmad.
Tokoh yang berjasa dalam mendapatkan Supersemar 1966 itu diangkat menjadi
pahlawan nasional sehari setelah meninggal pada 8 Januari 1969. Lalu, proses
pengangkatan Ibu Tien Soeharto sebagai pahlawan nasional pada 1996 juga
berlangsung cepat, hanya berselang sehari pasca wafatnya pada 28 April 1996.
Sementara itu, Bung Karno yang wafat pada 20 Juni 1970 baru ditetapkan
sebagai pahlawan nasional pada 1986.
Yang terbaik dari semua itu, kita masing-masing sebenarnya bisa
mempersembahkan rangkaian pengorbanan tanpa pamrih bagi bangsa, negara, dan
kemanusiaan, tanpa terobsesi disebut pahlawan. Jika kita bisa tetap
menomorsatukan NKRI, Pancasila, UUD1945, dan Bhinneka Tunggal Ika serta tidak
mengorbankan semua demi ambisi sesaat dalam pilpres, kita juga pahlawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar