Rupiah
dan Suap Proyek Kereta Jepang
A
Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
09 Juni 2014
ADA dua
berita penting sepanjang pekan lalu. Pertama, rupiah melemah ke level Rp
11.850 per dollar AS. Kedua, koran The
Japan Times mengungkapkan indikasi suap oleh perusahaan konsultan Jepang,
Japan Transportation Consultants Inc,
terhadap pejabat di Indonesia, Vietnam, dan Uzbekistan. Pemerintah Vietnam
cepat tanggap dan menangkap enam orang, termasuk wakil direktur umum
perusahaan kereta Vietnam, Tran Quoc
Dong, sementara Indonesia belum (Kompas,
4/6).
Pelemahan
rupiah disebabkan dua faktor, yaitu eksternal dan internal. Dari sisi
eksternal, perekonomian Amerika Serikat mencatat data impresif terhadap
kinerjanya. Dalam empat bulan ini, perekonomian AS berhasil menyerap di atas
200.000 tenaga kerja baru. Ini sangat mengagumkan dan jauh di atas ekspektasi
140.000 orang mendapat pekerjaan seperti yang terjadi sejak Mei 2013.
Akibatnya
jelas, ekspektasi terhadap masa depan perekonomian AS kian berbunga-bunga.
Investor global pun segera memindahkan aset-asetnya—termasuk di negara-negara
emerging markets seperti Indonesia—kembali ke denominasi dollar AS dan surat
berharga di bursa efek New York. Itulah sebabnya, pekan lalu, indeks harga
saham di New York mendekati 17.000, level sebelum kebangkrutan bank investasi
Lehman Brothers pada September 2008. Inilah indeks tertinggi di AS sesudah
krisis subprime mortgage.
Di sisi
lain, Gubernur Bank Sentral Eropa Mario Draghi secara mengejutkan—meski
sebenarnya sudah mewacanakannya sejak lama—menurunkan suku bunga acuan hingga
minus 0,1 persen. Dengan kebijakan itu, setiap bank umum di Eropa yang
menyimpan uangnya di Bank Sentral Eropa justru harus membayar bunga 0,1
persen. Kebijakan itu terpaksa ditempuh karena Draghi menilai perekonomian
Eropa sangat memerlukan stimulus. Suku bunga negatif ini diharapkan bisa
memaksa bank-bank umum mendorong ekspansi kredit (lending) dibandingkan sekadar menyimpan likuiditas di bank
sentral.
Kebijakan
itu belum tentu serta-merta bisa mendorong kredit dari perbankan. Sebab, jika
tingkat kepercayaan pelaku ekonomi sedang rendah seperti sekarang, kebijakan
likuiditas longgar semacam itu belum tentu otomatis membangkitkan gairah
konsumsi dan investasi para pelaku ekonomi.
Sebaliknya,
hal itu direspons para pemilik likuiditas dengan melakukan perpindahan dana
dari Eropa ke AS, dari euro ke dollar AS, dan menjual surat berharga
berdenominasi euro di Eropa menuju surat berharga berdenominasi dollar AS.
Akibatnya, dollar AS menguat terhadap mata uang di seluruh dunia.
Dari
sisi internal Indonesia, data neraca perdagangan defisit 1,96 miliar dollar
AS. Defisit yang besar ini sangat memukul kondisi psikologis pasar tatkala
kita mulai merajut asa surplus perdagangan pada 2014 ini. Defisit terutama
karena impor minyak. Defisit migas 1 miliar dollar AS dan defisit nonmigas
hampir 900 dollar AS.
Derasnya
defisit yang disebabkan minyak juga berimbas pada tekanan fiskal yang hebat.
Subsidi BBM dan listrik bakal melonjak Rp 110 triliun yang membuat pemerintah
berniat memangkas APBN 2014 dengan Rp 100 triliun. Meski didera defisit
perdagangan, cadangan devisa malah naik 1,4 miliar dollar AS menjadi 107
miliar AS. Namun, kenaikan ini tidak cukup membantu rupiah karena sentimen
lain yang lebih kuat, yakni faktor AS dan defisit perdagangan kita.
Saya
pikir pemerintah perlu melakukan berbagai kombinasi kebijakan, di antaranya
(1) mengurangi subsidi BBM dan listrik dengan menaikkan harga BBM atau bisa
juga membedakan harga BBM untuk mobil dan sepeda motor; (2) memangkas
anggaran; dan (3) sedikit menaikkan defisit anggaran menjadi 2,5 persen
produk domestik bruto. Ketiga kombinasi itu diharapkan dapat menghindari
petaka fiskal yang lebih besar.
Soal
indikasi suap pada proyek kereta Jepang, sudah seharusnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih bertindak proaktif. Meski belum ada laporan
resmi, karena sudah dimuat di koran Jepang paling berpengaruh (The Japan Times), tidak ada alasan
bagi KPK untuk tidak kalah gesit dibandingkan otoritas hukum di Vietnam yang
sudah menangkap pelakunya.
Proyek
infrastruktur adalah jantung persoalan daya saing Indonesia sehingga harus
terus didorong pembangunannya. Namun, tidak berarti pembangunannya dilakukan
secara tergopoh-gopoh sehingga boleh menabrak tata kelola (governance). Di sisa waktu
pemerintahan lama yang tinggal beberapa bulan, kasus itu harus
diprioritaskan.
Jangan sampai timbul kesan bahwa kita kalah gesit dari Vietnam, salah
satu kompetitor kita di Asia Tenggara. Kita sedang berupaya untuk mendapat
limpahan investasi dari Thailand yang kondisi politiknya memburuk. Untuk
meyakinkan investor, kita harus menunjukkan bahwa kita kompeten dan memiliki
daya saing. Itu hanya bisa dirajut dengan cara mengungkap dan menghukum siapa
saja yang disuap JTC. Momentum ini jangan dilewatkan presiden petahana
sebelum kelak dialihkan estafetnya kepada presiden dan pemerintahan baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar