DISKUSI
FRI-KOMPAS
Harapan
kepada Presiden
Indira
Permanasari ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
09 Juni 2014
MENJELANG
pemerintahan baru yang selangkah lagi terbentuk, para pemimpin perguruan
tinggi menggagas sebuah kementerian baru. ”Rumah” Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, tempat bernaung perguruan tinggi bersama pendidikan dasar
menengah selama ini, dirasa tak tepat lagi.
Gagasan
itu menguat dalam Konvensi Kampus X dan Temu Tahunan XVI Forum Rektor
Indonesia di Solo, 29-31 Januari 2014, dalam rupa rekomendasi, pembentukan
Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan/Teknologi (KPT dan Iptek).
Struktur pendidikan tinggi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) dianggap tak lagi relevan menjawab persoalan dan tantangan yang
dihadapi perguruan tinggi.
Pada era
perdagangan bebas ASEAN, pendidikan tinggi menghadapi tantangan, yakni
kemampuan bersaing melalui produk-produk perguruan tinggi, seperti sumber
daya manusia serta hasil penelitian dan produk teknologi. Peran perguruan
tinggi tidak sekadar mengajar dan mendidik, tetapi lebih besar lagi, menjadi
motor pembangunan berbasis riset. Pemisahan pendidikan tinggi dalam
kementerian tersendiri dirasa akan memungkinkan perguruan tinggi
memaksimalkan pencapaiannya.
Struktur
lama dipandang tak pula sesuai dengan jiwa, kultur, dan identitas perguruan
tinggi. Di bawah Kemdikbud, perguruan tinggi akan terus dipandang sebagai
kelanjutan sekolah menengah. Sampai-sampai ada gurauan di kalangan petinggi
kampus, rektor bisa diibaratkan sebagai ”kepala sekolah tinggi”.
Padahal,
pendidikan tinggi bukan sekadar kelanjutan dari pendidikan menengah, tetapi
entitas spesifik yang sama sekali berbeda dari persekolahan. Kegiatan kampus
sangat beragam, tidak hanya meluluskan atau mengajar mahasiswa, tetapi pada
akhirnya dapat menjadi kekuatan moral dalam pengembangan sebuah bangsa.
Kampus mengelola pengetahuan sesuai kebutuhan zaman, bukan sekadar mengurus
mahasiswa atau dosen. Dengan demikian, kampus itu entitas yang adaptif dan
seharusnya lincah mengikuti perkembangan, tidak kaku.
Rektor
yang sekarang ini berstatus Kepala Satuan Kerja Kemdikbud merasa terbatas
ruang geraknya dan kebijakan cenderung tersentralisasi. Lebih rumit lagi,
perguruan tinggi mesti bertanggung jawab kepada tiga kementerian, yakni ke
Kemdikbud untuk urusan akademik dan substansi, ke Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terkait sumber daya manusia, serta
Kementerian Keuangan seputar masalah keuangan. Perguruan tinggi kemudian
disibukkan oleh persoalan birokrasi dan administrasi
Berpasangan
dengan fungsi riset dalam satu wadah kementerian baru dirasa lebih pas.
Sebagai perbandingan, negara-negara yang maju industrinya, memasangkan pendidikan
tinggi dengan riset teknologi dan inovasi dalam satu kementerian. Sebut saja,
Perancis dengan Ministry of Higher
Education and Science, Jerman dengan Federal
Ministry of Education and Research, serta Jepang dengan Ministry of Education, Culture, Sport,
Science, and Technology.
Bukan gagasan baru
Penyatuan
pendidikan dengan riset dan teknologi bukan gagasan baru. Pada era Kabinet
Dwikora tahun 1964-1966, akhir pemerintahan Soekarno, pernah berdiri
Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), yang merupakan
paduan perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Bahkan, merger besar terjadi
ketika pemerintah lalu membentuk Departemen Urusan Riset Nasional (Durenas)
dan menempatkan Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di dalamnya dengan tugas
tambahan membangun Lembaga Riset Nasional.
Namun,
tidak cukup semata pembentukan kementerian baru untuk menjawab persoalan dan
tantangan perguruan tinggi, terutama terkait riset dan pembangunan. Sejauh
ini, masih menggunung masalah mendasar lain. Masih ada kesenjangan hubungan
antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri. Padahal, dalam kerangka
pembangunan, hubungan ketiganya sangat penting. Belum lagi sinergi penelitian
di antara lembaga-lembaga penelitian lain.
Investasi
total bidang penelitian dan pengembangan juga sangat kecil. Menurut hasil
kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, anggaran belanja riset cenderung
stagnan sepuluh tahun terakhir, hanya berkisar 0,07-0,08 dari produk domestik
bruto (PDB). Padahal, negara yang sukses membangun ekonominya, rasio anggaran
litbangnya minimal 1 persen dari PDB.
Ada pula
persoalan kecilnya angka partisipasi kasar di perguruan tinggi. Angka
partisipasi kasar di perguruan tinggi baru sekitar 30 persen. Bandingkan
dengan Malaysia yang mencapai 70 persen. Padahal, besaran warga yang
mengakses perguruan tinggi menjadi penanda penting kemampuan sebuah bangsa
membangun berdasarkan pengetahuan
Jumlah
total tenaga penelitian pun minim. Idealnya, Indonesia punya 200.000 tenaga
peneliti. Jumlah yang segelintir itu pun masih diincar negara-negara lain
sehingga terjadi brain drain. Permasalahan jumlah dan angka itu berkelindan
dengan belum terbangunnya kultur riset dan keterbatasan kompetensi sumber
daya manusia untuk riset.
Kini, persoalannya bukan lagi sebatas perguruan tinggi di bawah
kementerian yang mana. Namun, lebih soal perumusan tata kelola yang
memampukan perguruan tinggi untuk lebih lentur dan lincah menjalankan
perannya dan menghadapi ragam tantangan tersebut. Tanpa kelincahan dan
fleksibilitas, perguruan tinggi akan terus menghadapi masalah serupa apa pun
kementeriannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar