Perlu
Strategi Baru di Sektor Ekonomi
Helmi
Arman ; Chief Economist Citibank Indonesia
|
KOMPAS,
09 Juni 2014
TANPA
perubahan strategi pembangunan ekonomi, Indonesia bisa perlahanlahan merosot
kembali menjadi negara berpendapatan rendah.
Jalan
keluarnya membutuhkan kerja sama semua elemen pemerintahan. Pemahaman,
kepemimpinan, dan kemampuan koordinasi pemerintahan mendatang akan segera
diuji.
Hampir
setahun telah lewat sejak gejolak pasar keuangan di pertengahan 2013.
Kebijakan-kebijakan stabilisasi yang digagas Bank Indonesia dan Kementerian
Keuangan, seperti kenaikan suku bunga, pengetatan aturan impor, dan
pengucuran kredit, mulai membuahkan hasil. Walau pertumbuhan ekonomi turun
signifikan, pergerakan nilai tukar dan pasar modal lebih stabil.
Timbul
harapan bahwa perekonomian bisa kembali normal seusai pemilu. Dunia bisnis
akan ekspansi lagi, persis seperti setelah gejolak-gejolak sebelumnya pada
tahun 2005 dan 2008.
Boleh-boleh
saja kita berharap. Namun, perlu disadari tantangan yang dihadapi sekarang
jauh lebih rumit. Walaupun pertumbuhan ekonomi sudah turun, kebutuhan impor
barang dan jasa relatif masih sangat besar terhadap ekspor. Ini merupakan
perbedaan mendasar antara sekarang dan tahun 2009.
Implikasi
dari kondisi ini, arus modal asing dan utang luar negeri akan semakin
dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Artinya, tak bisa
ditawar lagi, Indonesia harus meningkatkan kinerja ekspor agar devisa bertambah
dan kewajiban luar negeri tidak mencapai tingkat yang mencekik.
Jika
ditelaah kembali, kondisi tingginya kebutuhan impor sekarang ini terjadi
lantaran pembangunan ekonomi tidak terarah dengan baik. Fokusnya semata- mata
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik sehingga timbul berbagai
inefisiensi yang membuat impor melejit.
Penjualan
mobil, motor, dan semen yang melesat selama 10 tahun terakhir ini selalu
disambut tepuk tangan. Baru belakangan disadari bahwa minimnya pembangunan
transportasi publik mengakibatkan bengkaknya impor bahan bakar minyak (BBM).
Sementara itu, pembangunan properti
tanpa memperhatikan peruntukan tata ruang memicu lonjakan impor pangan.
Ubah model pertumbuhan
Dengan
defisit perdagangan barang dan jasa yang sekarang sudah struktural, Indonesia
harus mulai mengubah model pertumbuhan ekonominya. Pembangunan harus sinkron
dengan usaha memperkuat ekspor dan menjaga pertumbuhan impor.
Sektor
manufaktur yang berorientasi ekspor harus dibangun untuk meningkatkan devisa
dan mengimbangi kenaikan kewajiban luar negeri. Insentif fiskal untuk
penanaman modal asing hendaknya diarahkan pada pembangunan kapasitas ekspor,
misalnya di sektor otomotif, produk tekstil, dan kimia dasar.
Apabila
dilihat dari survei teranyar JETRO (lembaga perdagangan luar negeri
Pemerintah Jepang), perusahaan-perusahaan manufaktur di Jepang menilai
Indonesia kalah dari Thailand dan Malaysia dalam tiga aspek: infrastruktur,
kesiapan sumber daya manusia, dan insentif fiskal untuk berinvestasi. Ketiga
hal inilah yang harus diprioritaskan oleh pemerintahan mendatang.
Sementara
itu, pembangunan sektor domestik harus dibuatkan strategi baru. Walaupun
sulit mengurangi ketergantungan terhadap barang modal impor, ada peluang yang
realistis untuk menekan impor melalui peningkatan efisiensi penggunaan BBM
dan bahan baku industri, seperti besi, plastik dan kimia.
Pemerintah
daerah dan kota- kota besar harus dikoordinasikan untuk membangun sistem
angkutan umum modern dan memberikan disinsentif untuk penggunaan kendaraan
pribadi. Subsidi BBM harus segera dihapus secara bertahap dan dialihkan untuk
angkutan umum. Strategi yang ada sekarang, yakni memotong belanja modal untuk
mengakomodasi subsidi BBM, sudah salah arah.
Pembangunan
kapasitas industri dasar sejauh ini berhasil menekan impor bahan baku besi.
Yang harus dipikirkan berikutnya adalah bagaimana menekan pertumbuhan impor
bahan baku plastik dan kimia yang banyak dipakai terutama oleh industri
barang konsumen dan ritel.
Karena
itu, pembangunan infrastruktur pun jangan hanya terfokus pada hal-hal
tradisional seperti pembangunan jalan raya, pelabuhan, bandara, dan listrik.
Infrastruktur air bersih, pengangkutan sampah, dan sistem daur ulang juga
sangat penting untuk menekan impor bahan kimia dan plastik yang selama empat
tahun terakhir melonjak 110 persen (satu setengah kali lebih cepat daripada
pertumbuhan total impor nonmigas).
Mencapai
pertumbuhan 5-6 persen dalam dasawarsa mendatang akan lebih sulit daripada
mencapai pertumbuhan di atas 6 persen pada dasawarsa terakhir. Tanpa
perubahan haluan, bersiaplah melihat pertumbuhan ekonomi perlahan-lahan selip
ke bawah 5 persen, sepaket dengan risiko pengangguran dan kemiskinan yang
membengkak.
Fenomena
defisit neraca perdagangan barang dan jasa yang kita alami sekarang merupakan
masalah struktural makroekonomi. Namun, solusinya berada di ranah
mikroekonomi. Hal ini tak bisa diselesaikan hanya dengan satu atau dua paket
kebijakan dari Bank Indonesia ataupun Kementerian Keuangan. Dibutuhkan kerja
sama semua elemen pemerintah pusat dan daerah.
Saat ini tingkat utang luar negeri sudah hampir satu setengah kali
lebih besar daripada nilai ekspor setahun, di atas rata-rata negara-negara
besar Asia lainnya. Hal tersebut harus dihindari agar posisi utang luar
negeri tidak melebihi kemampuan negara ini untuk melunasinya seperti pada
1998. Waktu sudah mendesak karena, meski ada perubahan strategi dari
sekarang, hasilnya baru akan tampak 5-10 tahun kemudian. Presiden baru nanti
memang harus berani cepat bertindak dan memiliki visi yang jauh melebihi
periode kepemimpinannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar