Kewenangan
Pusat dan Daerah
Farouk
Muhammad ; Anggota Komite I DPD RI;Tim Kerja RUU Pemda
|
KOMPAS,
05 Juni 2014
PEMBAHASAN
RUU Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sedang
dilakukan oleh Panitia Khusus DPR bersama pemerintah dan DPD RI. DPD menjadi
mitra strategis dalam pembahasan karena RUU ini merupakan jantung
pemerintahan daerah yang menjadi basis representasi DPD. RUU ini menyangkut
masa depan daerah yang sejatinya menjadi tulang punggung pemerintahan
nasional.
Hubungan
pemerintah dan pemda diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 Bab VIII tentang
Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2). Pada Ayat (1)
disebutkan, ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,
yang diatur dengan undang-undang.” Lalu diperjelas pada Ayat (2), ”Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”
UUD
menjabarkan esensi pembagian kewenangan daerah dalam dua istilah, yaitu
kewenangan ”mengatur” dan kewenangan ”mengurus”. Dalam terminologi akademik,
istilah ”mengatur” merujuk pada hak membuat kebijakan (policy making)
sekaligus melaksanakannya, sementara istilah ”mengurus” merujuk pelaksana
kebijakan yang dibuat pemerintah.
Mandat
UUD tersebut selanjutnya diatur dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang disahkan pada 18 Oktober 2004. UU ini membagi urusan pemerintah
pusat dan pemda menjadi dua. Pertama, urusan yang mutlak menjadi kewenangan
pemerintah pusat meliputi enam urusan: politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Kedua, di luar
keenam urusan di atas pada dasarnya merupakan urusan yang menjadi kewenangan
pemda. Hal ini ditegaskan pada Pasal 10 Ayat (1) yang menyatakan bahwa
pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ini ditentukan
menjadi urusan pemerintah.
Dengan
konstruksi di atas, UU No 32/2004 sebenarnya menganut prinsip general
competence di mana urusan pemerintahan yang dirinci di dalam UU adalah urusan
yang menjadi kewenangan pemerintah, sementara di luar urusan pemerintah yang
disebutkan merupakan urusan daerah otonom (residual power). Kebalikan dari prinsip ini adalah prinsip ultra vires doctrine di mana UU
merinci urusan pemerintah yang menjadi kompetensi daerah otonom. Penerapan
prinsip tersebut menandai perubahan radikal dalam perkembangan otonomi daerah
sejak kemerdekaan republik. Hal ini sejalan dengan tuntutan reformasi yang
mengoreksi sistem pemerintahan kita dari sentralistik di masa Orde Baru
menjadi desentralistik.
Meski
demikian, pada saat yang sama UU No 32/2004 juga mengatur bagian urusan
pemerintahan yang bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang
penanganan dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama
antara pemerintah dan pemda yang tergantung pada tiga kriteria: eksternalitas
(pertimbangan dampak/akibat), akuntabilitas (pertimbangan siapa yang paling
dekat dengan akibat/dampak), dan efisiensi (pertimbangan sumber daya untuk
melaksanakan suatu urusan).
Politik desentralisasi
Menurut
penulis, pembagian urusan dalam UU No 32/2004 menyebabkan tidak jelasnya
politik desentralisasi sebagaimana mandat Pasal 18 UUD 1945. Bahkan, UU No
32/2004 cenderung tidak sejalan dan tidak konsisten dengan UUD yang telah
memberikan arahan jelas bahwa pemda mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
UU No
32/2004 mengindikasikan penganutan politik desentralisasi yang rancu bahkan melahirkan
praktik kepemerintahan yang tumpang tindih, jauh dari prinsip good
governance. Pengaturan dalam UU ini melahirkan tanda tanya tentang apa
sesungguhnya yang menjadi kewenangan pemerintah dan pemda. Di satu pihak UU
menganut prinsip general competence
dan residual power, tetapi di lain
pihak menggunakan lagi prinsip concurrent
yang mengaburkan implementasi prinsip yang disebut terdahulu. Konsekuensinya,
porsi terbesar dalam pembagian anggaran justru dialokasikan untuk pemerintah.
Lagi pula UU itu lebih menekankan pembagian kewenangan dari segi urusan
(fungsional) daripada segi strata kewenangan (struktural) seperti dianut UU
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Lebih
dari itu, dalam pengelolaan dana, pemerintah menggunakan lagi platform dana
dekonsentrasi dan tugas perbantuan kepada pemda untuk penyelenggaraan
urusan-urusan yang justru menjadi kewenangannya. Oleh karena itu, dalam
pembahasan RUU Desa yang akhirnya menetapkan pengalokasian dana alokasi desa
sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer kepada menteri dalam negeri
dan pejabat yang mewakili menteri keuangan pada waktu itu penulis—sebagai
senator yang secara spesifik dan eksplisit ditugaskan oleh konstitusi untuk
ikut mengatur hubungan pusat dan daerah-- menuntut pemerintah—bukan untuk
mengasihani, melainkan mengembalikan kewenangan pemda beserta dana yang
melekat dengannya.
Kewenangan mutlak pemerintah
Kritik
penulis selanjutnya menyangkut enam urusan yang disebutkan merupakan urusan
mutlak pemerintah. Pada praktiknya, pelaksanaan urusan tersebut membutuhkan
kerja sama dan dukungan pemda. Lalu, apa sesungguhnya makna penyebutannya
sebagai kewenangan mutlak atau absolut?
Menyangkut
urusan pertahanan, pemda sangat penting perannya dalam ikut mempersiapkan
sumber daya manusia (SDM). Misalnya, penjagaan daerah-daerah perbatasan dalam
konteks pertahanan akan bernilai strategis bagi daerah terkait jika mereka
ikut dilibatkan. Jika pemda dibebaskan dari urusan ini, yang terjadi bisa
saja sikap tak acuh serta tidak ada rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab
dalam upaya pertahanan negara.
Menyangkut
urusan keamanan, keamanan nasional menjadi kewenangan pusat, tetapi keamanan
lokal jelas merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurusnya. UU
Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Konflik Sosial juga telah mengangkat
konsep keamanan lokal dan menjabarkan kewenangan daerah dalam menjaga
keamanan serta mengembangkan kewaspadaan (intelijen). Pada praktiknya ada
program perpolisian masyarakat (polmas) dan lain sebagainya yang melibatkan
partisipasi pemda, terutama dalam kerja sama dan pendanaan.
Menyangkut
urusan yustisi, penulis berpendapat istilah yustisi kurang tepat dalam
konteks pembagian kewenangan pemerintah (eksekutif) karena yustisi menyangkut
kewenangan yudikatif. Mungkin lebih tepat menggunakan istilah kewenangan
(manajemen) penegakan hukum. Dalam hal-hal tertentu, dari aspek manajemen
penegakan hukum (nonmateri hukumnya) nyatanya tidak bisa berjalan efektif
tanpa dukungan pemda. Oleh karena itu, pemda perlu dilibatkan dalam
upaya-upaya penegakan hukum (baca: dukungan administratif) yang terkait
dengan pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam (penambangan/pembalakan
liar), perdagangan manusia, penanggulangan narkotika, dan lain-lain.
Menyangkut
urusan agama, manajemen keagamaan harus dilaksanakan secara cermat dengan
melibatkan peran pemda sehingga bukan hanya monopoli pemerintah pusat, yang
dalam praktiknya justru menjadi sumber masalah bagi kemajuan pembangunan.
Kasus yang pernah mengemuka adalah polemik bantuan pemda kepada madrasah yang
notabene di bawah naungan Kementerian Agama sebagai instansi vertikal. Atas
dasar paham tersebut, pemda tidak dapat menganggarkan bantuan bagi
madrasah-madrasah di seluruh Indonesia. Hal ini melanggengkan keterpurukan
kondisi madrasah yang tertinggal dari sekolah-sekolah umum di bawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang notabene telah
di”dekonsentrasi”-kan ke pemda.
Hal
serupa juga terkait kebijakan pemberian dukungan anggaran oleh pemda bagi
aparat keamanan dan penegak hukum. Sejumlah temuan Badan Pemeriksa Keuangan
masih menyalahkan kebijakan demikian karena bertentangan ketentuan UU No
32/2004. Sementara itu, daerah sangat berkepentingan untuk ikut membangun dan
mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi itu karena berpengaruh pada penciptaan
kondisi yang kondusif bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah.
Realitas
di atas menggambarkan dan menegaskan bahwa sejatinya tidak ada urusan yang
benar-benar mutlak/absolut dan tidak tepat jika manajemen atau tata kelolanya
dilaksanakan secara mutlak/absolut (hanya) oleh pemerintah. Bahkan, dalam UU
No 39/2008 tentang Kementerian Negara ditegaskan bahwa dalam melaksanakan
urusan seperti agama, hukum, dan keamanan, pemerintah sebatas membuat
kebijakan atau melaksanakan kegiatan teknis yang berskala nasional. Adapun
pelaksanaan urusan tersebut di daerah menjadi kewenangan masing-masing
daerah, sedangkan pemerintah hanya memberikan bimbingan teknis dan supervisi
dalam pelaksanaannya (vide: Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 8 Ayat (2)). Oleh
karena itu, UU Pemerintah Daerah yang akan datang sebenarnya cukup merujuk
pada UU Kementerian Negara yang saat ini telah berlaku.
Berdasarkan
argumentasi di atas, penulis mengambil satu benang merah yang diharapkan
dapat menjadi dasar pijak bagi kita semua untuk menjernihkan konsep pembagian
kewenangan antara pusat dan daerah dalam rangka pembahasan RUU Pemerintahan
Daerah. Dalam hal ini model pengaturan yang dianut UU No 39/2008 dalam
hal-hal tertentu dapat dirujuki.
Pertama,
tidak ada kewenangan yang bersifat absolut atau mutlak, tetapi ada kewenangan
yang pada dasarnya menjadi dominasi pemerintah (negara), seperti urusan luar
negeri, pertahanan, keamanan nasional, manajemen penegakan hukum, urusan
agama yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta moneter dan fiskal
nasional. Namun, pada pelaksanaannya kewenangan tersebut perlu kerja sama dan dukungan dari pemda.
Kedua,
sifat kewenangan yang pada dasarnya jadi dominasi pemda sehingga bisa
”diatur” dan ”diurus” berdasarkan otonomi, tetapi dalam pelaksanaannya tetap
harus memperhatikan arah dan kebijakan pemerintah sesuai karakter negara
kesatuan. Inilah letak politik desentralisasi sebagaimana dimandatkan oleh
konstitusi yang harus diperjelas dan diperkuat.
Ketiga, urusan pemerintahan umum di mana pemerintah menggariskan arah,
kebijakan, dan pengaturan, sementara pelaksananya adalah pemda. Dengan ulasan
di atas, penulis ingin menegaskan perlu rekonseptualisasi kewenangan
sentralisasi dan desentralisasi dalam kerangka regulasi tentang pemda. Hal
ini penting dalam rangka penguatan penyelenggaraan pembangunan daerah dalam
kerangka otonomi yang secara agregat merupakan pilar pembangunan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar