Rabu, 11 Juni 2014

“Real”

“Real”

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  08 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
You were born to be real not to be perfect. Demikian sekelumit pesan yang saya baca di sebuah media sosial seorang teman lama. Kemudian seperti biasa, otak saya mulai mempertanyakan pernyataan itu. Benarkah demikian

Keder

Benarkah saya bisa begitu real-nya seperti yang sesungguhnya Yang Maha Kuasa menciptakan saya Bisa real terhadap orangtua, terhadap klien, teman, guru di sekolah, dan dosen di universitas

Bisakah saya real untuk negeri ini, bisa real saat mengungkapkan pendapat di sebuah persekutuan doa, di sebuah organisasi, di perusahaan, di kehidupan sosial tanpa mereka merasa tersinggung dan terancam karena ke-real-an saya

Kemudian suara di dalam kepala tak juga berhenti bernyanyi dan malah membuat bingung sendiri. Saya itu katanya tidak sempurna sebagai manusia, tetapi saya sering kali mendengar kalau mengerjakan sesuatu itu harus sempurna.

Katanya manusia itu harus menjadi be yourself yang menurut saya artinya menjadi manusia yang senyata mungkin. Nah, pas jadi myself orang menghakimi saya dan tak semua bisa menerima kalau saya real. Jadi sebetulnya kita itu mau apa, ya

Maka saya mencari tahu apa sebetulnya yang dimaksud dengan kata real itu, sampai-sampai ke-real-an saya kadang membuat mereka keder. Begini yang saya dapati. Real itu bermakna true and actual; not imaginary. Genuine and authentic; not artificial. Being no less than what is stated.

”Kamu seperti ayam tanpa otak!” Itu pernah saya ceritakan kepada Anda. Kalimat itu keluar dari seorang kepala sekolah saat saya masih duduk di bangku kelas VI sekolah dasar. Kalau mau berbicara soal real, saya ini tak pandai matematika. Saya menerima yang real itu, kepala sekolah saya tak bisa menerimanya. Maka ia menjerit.

Usaha yang saya jalani adalah berbisnis majalah. Di suatu hari saya membuat majalah dengan edisi khusus bertajuk perkawinan. Salah satu artikel yang saya buat adalah seorang laki-laki yang menikahi perempuan, tetapi masih memiliki hubungan sesama jenis. Maka beberapa pembaca saya berteriak, mengapa edisi perkawinan kok kayak gini.

Kalau mau berbicara real, maka yang kok kayak gini itu adalah sesuatu yang nyata, dan bukan saya yang membuatnya. Karena nyata, maka saya menulis kenyataan itu sebagai masukan sebelum seseorang berjanji sehidup semati. Saya ini berniat baik memberi nasihat, orang lain berteriak merasa yang nyata itu sebuah hal yang tak pantas untuk ditulis.

Kodok

Edisi perkawinan yang kedua bertemakan kesempatan kedua. Salah satu klien mensponsori edisi khusus itu, dan kemudian membatalkannya, karena tema yang diusung memberi kesan tidak baik terhadap citra perusahaan. Saya berpikir kesempatan kedua itu mulia, tetapi mereka menolak yang nyata itu, karena dianggap menorehkan citra buruk.

Mungkin yang mereka inginkan adalah edisi perkawinan yang mirip sebuah foto keluarga, di mana bapak, ibu, anak, serta menantu diabadikan dengan sikap yang santun. Hasilnya kemudian dipigura indah dan dipasang di dinding ruang tamu.

Citra yang demikian itu yang penting, karena menggambarkan keharmonisan sebuah keluarga dan sebuah perkawinan. Meski bisa jadi, yang diabadikan itu sesungguhnya tidak genuine, tidak real. Mungkin, manusia itu senangnya hanya menggambarkan, tidak senang melihat kenyataan.

Ketika suatu hari saya mengajar, saya melempar sebuah pertanyaan. Begini. Memasak itu pekerjaan laki-laki atau perempuan Serentak dan secepat kilat mereka menjawab perempuan. Kemudian saya bertanya kembali, juru masak yang paling banyak yang pernah Anda lihat itu, laki-laki atau perempuan Dengan suara masih kencang mereka menjawab laki-laki.

Maka saya mengulangi lagi pertanyaan pertama. Kalau begitu, memasak itu pekerjaan laki-laki atau perempuan Maka yang serentak dan secepat kilat itu tak saya dengar, malah keraguan yang saya dapati.

Saya tak tahu pendidikan di zaman sekarang ini. Di zaman saya, laki-laki itu prakaryanya dengan gergaji. Mungkin mereka takut kalau tidak mendidik seorang laki-laki untuk menjadi laki-laki. Mungkin mereka takut melihat yang real, bahwa laki-laki itu bisa juga memasak dan menata meja, tanpa mengurangi kelaki-lakian.

Tuhan menciptakan manusia apa adanya, manusia tampaknya tak menginginkan yang apa adanya itu. Sehingga sampai hari ini pun, saya harus seperti kodok yang hidup di dua dunia. Saya bisa real untuk sebuah keadaan tertentu, kemudian bisa menjadi tidak real untuk keadaan tertentu lainnya.

Untuk sebagian orang menjadi kodok itu bijaksana, dan sebagian lainnya berpikir menjadi kodok itu mampu menjaga stabilitas. Nah, kalau mengikuti hukum dagang, yang digemari banyak orang itulah yang menghasilkan sesuatu yang menguntungkan, bukan

Jadi sesungguhnya, pesan yang saya baca di atas itu, adalah sungguh tidak real. Karena tampaknya, yang real itu sesungguhnya tidak real.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar