“Real”
Samuel
Mulia ; Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
08 Juni 2014
You were born to be real not to be perfect.
Demikian sekelumit pesan yang saya baca di sebuah media sosial seorang teman
lama. Kemudian seperti biasa, otak saya mulai mempertanyakan pernyataan itu.
Benarkah demikian
Keder
Benarkah
saya bisa begitu real-nya seperti yang sesungguhnya Yang Maha Kuasa
menciptakan saya Bisa real terhadap orangtua, terhadap klien, teman, guru di
sekolah, dan dosen di universitas
Bisakah
saya real untuk negeri ini, bisa real saat mengungkapkan pendapat di sebuah
persekutuan doa, di sebuah organisasi, di perusahaan, di kehidupan sosial
tanpa mereka merasa tersinggung dan terancam karena ke-real-an saya
Kemudian
suara di dalam kepala tak juga berhenti bernyanyi dan malah membuat bingung
sendiri. Saya itu katanya tidak sempurna sebagai manusia, tetapi saya sering
kali mendengar kalau mengerjakan sesuatu itu harus sempurna.
Katanya
manusia itu harus menjadi be yourself yang menurut saya artinya menjadi
manusia yang senyata mungkin. Nah, pas jadi myself orang menghakimi saya dan
tak semua bisa menerima kalau saya real. Jadi sebetulnya kita itu mau apa, ya
Maka
saya mencari tahu apa sebetulnya yang dimaksud dengan kata real itu,
sampai-sampai ke-real-an saya kadang membuat mereka keder. Begini yang saya
dapati. Real itu bermakna true and
actual; not imaginary. Genuine and authentic; not artificial. Being no less
than what is stated.
”Kamu seperti ayam tanpa otak!” Itu
pernah saya ceritakan kepada Anda. Kalimat itu keluar dari seorang kepala
sekolah saat saya masih duduk di bangku kelas VI sekolah dasar. Kalau mau
berbicara soal real, saya ini tak
pandai matematika. Saya menerima yang real itu, kepala sekolah saya tak bisa
menerimanya. Maka ia menjerit.
Usaha
yang saya jalani adalah berbisnis majalah. Di suatu hari saya membuat majalah
dengan edisi khusus bertajuk perkawinan. Salah satu artikel yang saya buat
adalah seorang laki-laki yang menikahi perempuan, tetapi masih memiliki
hubungan sesama jenis. Maka beberapa pembaca saya berteriak, mengapa edisi
perkawinan kok kayak gini.
Kalau
mau berbicara real, maka yang kok kayak gini itu adalah sesuatu yang
nyata, dan bukan saya yang membuatnya. Karena nyata, maka saya menulis
kenyataan itu sebagai masukan sebelum seseorang berjanji sehidup semati. Saya
ini berniat baik memberi nasihat, orang lain berteriak merasa yang nyata itu
sebuah hal yang tak pantas untuk ditulis.
Kodok
Edisi
perkawinan yang kedua bertemakan kesempatan kedua. Salah satu klien
mensponsori edisi khusus itu, dan kemudian membatalkannya, karena tema yang
diusung memberi kesan tidak baik terhadap citra perusahaan. Saya berpikir
kesempatan kedua itu mulia, tetapi mereka menolak yang nyata itu, karena
dianggap menorehkan citra buruk.
Mungkin
yang mereka inginkan adalah edisi perkawinan yang mirip sebuah foto keluarga,
di mana bapak, ibu, anak, serta menantu diabadikan dengan sikap yang santun.
Hasilnya kemudian dipigura indah dan dipasang di dinding ruang tamu.
Citra
yang demikian itu yang penting, karena menggambarkan keharmonisan sebuah
keluarga dan sebuah perkawinan. Meski bisa jadi, yang diabadikan itu
sesungguhnya tidak genuine, tidak real. Mungkin, manusia itu senangnya hanya
menggambarkan, tidak senang melihat kenyataan.
Ketika
suatu hari saya mengajar, saya melempar sebuah pertanyaan. Begini. Memasak
itu pekerjaan laki-laki atau perempuan Serentak dan secepat kilat mereka
menjawab perempuan. Kemudian saya bertanya kembali, juru masak yang paling
banyak yang pernah Anda lihat itu, laki-laki atau perempuan Dengan suara
masih kencang mereka menjawab laki-laki.
Maka
saya mengulangi lagi pertanyaan pertama. Kalau begitu, memasak itu pekerjaan
laki-laki atau perempuan Maka yang serentak dan secepat kilat itu tak saya
dengar, malah keraguan yang saya dapati.
Saya tak
tahu pendidikan di zaman sekarang ini. Di zaman saya, laki-laki itu
prakaryanya dengan gergaji. Mungkin mereka takut kalau tidak mendidik seorang
laki-laki untuk menjadi laki-laki. Mungkin mereka takut melihat yang real,
bahwa laki-laki itu bisa juga memasak dan menata meja, tanpa mengurangi
kelaki-lakian.
Tuhan
menciptakan manusia apa adanya, manusia tampaknya tak menginginkan yang apa
adanya itu. Sehingga sampai hari ini pun, saya harus seperti kodok yang hidup
di dua dunia. Saya bisa real untuk sebuah keadaan tertentu, kemudian bisa
menjadi tidak real untuk keadaan tertentu lainnya.
Untuk
sebagian orang menjadi kodok itu bijaksana, dan sebagian lainnya berpikir
menjadi kodok itu mampu menjaga stabilitas. Nah, kalau mengikuti hukum
dagang, yang digemari banyak orang itulah yang menghasilkan sesuatu yang
menguntungkan, bukan
Jadi sesungguhnya, pesan yang saya baca di atas itu, adalah sungguh
tidak real. Karena tampaknya, yang real itu sesungguhnya tidak real. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar