Capres,
Siapa Tersensual?
Garin
Nugroho ; Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa”
Kompas
|
KOMPAS,
08 Juni 2014
Lebih
sensual mana: Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta? Pertanyaan ini terasa menjadi
olok-olok di tengah beragam perspektif analisis politik. Namun, politik di
tengah abad industri hiburan tidaklah pernah lepas dari budaya penggemar
alias fans, layaknya fans para penyanyi hingga bintang film. Bisa diduga,
merebaknya pemilih capres dan cawapres dalam perilaku budaya penggemar.
Salah
satu ciri budaya penggemar adalah melahirkan citra sensualitas alias tubuh
yang mampu merepresentasikan harapan sosial, ekonomi, keamanan, hingga
politik tertentu masyarakat. Oleh karena itu, layaknya sosok kebintangan yang
setiap periode berubah, demikian juga idaman sosok capres. Sebutlah era
70-an, sosok laki-laki diidamkan gondrong, kurus, bahkan sering dicandakan
semakin terasa tak terawat semakin sensual, namun hal itu tentulah berbeda
dengan periode sekarang ini.
Dalam
perspektif sosok presiden negeri ini, pada era 1945 melahirkan sosok Soekarno
yang ganteng dan flamboyan, berbaju trendi dan komunikator memesona,
menceritakan ajakan revolusi. Kemudian muncullah sosok Soeharto, yang
ganteng, tubuh diam namun mengandung ketegasan tak berampun, mencitrakan
tubuh pemangku kestabilan.
Periode
selanjutnya kita memiliki Habibie, tubuh tidak bisa diam namun penuh
intelektual, berbeda kemudian dengan tubuh ibu ideologi dan tubuh politik
instingtif Megawati. Bahkan kemudian negeri ini memiliki tubuh Gus Dur, tubuh
pesantren yang rileks tapi cerdas, layaknya pendekar mabuk, penuh olok tapi
berani dalam terobosan. Yang terakhir, SBY adalah tubuh tinggi besar ganteng,
mencoba seimbang, teratur, tertata, santun. Bisa diduga, awalnya di periode
pasca Reformasi yang penuh chaos, tubuh ini diharapkan memberi dunia
penggemar akan kestabilan sekaligus ketegasan penuh terobosan. Harap mafhum,
pasca reformasi, sosok tubuh SBY menjadi populer dan melahirkan dunia penggemar
yang luas.
Bagaimana
dengan citra ketubuhan kandidat presiden dan wakil presiden 2014 ini?
Tubuh
pasangan Jokowi-JK sangat terasa kontras dengan citra tubuh SBY-Boediono,
kekontrasan ini menjadi nilai lebih tersendiri, mengingat aspek inilah yang
menjadi ciri dari pemilih melodramatik Indonesia yang serba cepat kecewa dan
bosan. Coba simak tubuh Jokowi yang jauh dari militer, namun tubuh rileks
merakyatnya mampu melakukan terobosan pemecahan masalah, meski secara cerdas
sering pemecahan masalah pada wilayah percontohan yang mampu dikendalikan,
memberi dorongan partisipasi pemecahan lebih luas. Simak juga tubuh JK yang
serba cepat tanggap pastilah kontras dengan tubuh Boediono yang baik dan
manajerial tapi tak terberdayakan sehingga terasa tak terfungsikan bebas.
Di sisi
lain, tubuh dalam perspektif kultural, pasangan Jokowi-JK merepresentasikan
kultur sejarah raja Jawa yang selalu mempunyai pasukan khusus untuk terobosan
dan pemecahan masalah yang berasal dari Makassar, maka di Yogyakarta terdapat
Kampung Bugisan sebagai bagian sejarah kolaborasi Jawa dengan Makassar.
Pada
sisi lain, pasangan Prabowo-Hatta terasa tidak terlalu kontras dengan
SBY-Boediono, malah banyak kesamaan. Prabowo membawa aspek militer seperti
SBY, kalaupun berbeda, yakni pada aspek ketegasannya, namun sayangnya memberi
isu ketegasan berlebihan yang memberi rasa khawatir. Sementara Hatta, hampir
layaknya Boediono, lebih teknokrat ekonomi, sehingga jangkauan bicara
tidaklah merakyat ataupun mengayomi sebagai negarawan. Yang menarik,
kolaborasi keduanya memberi presentasi kultur militer sipil yang menjadi ciri
sebagian sejarah kepresidenan bangsa ini.
Yang harus dikritisi, pemilu di budaya penggemar melahirkan fanatisme
yang melunturkan sifat kritis, dewasa dan terbuka, lebih sebagai cinta
berlebihan, baik pada penggemar Prabowo maupun Jokowi. Simak jika timbul
kritik pada kandidat, serentak di media sosial, kubu kedua pihak, atas nama
klarifikasi hingga rasionalisasi melontarkan pembelaan, meski sang bintang
seperti Jokowi dengan strategi merendah ala Jawa bicara ora opo-opo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar