Rabu, 11 Juni 2014

Capres, Siapa Tersensual?

Capres, Siapa Tersensual?

Garin Nugroho  ;   Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  08 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Lebih sensual mana: Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta? Pertanyaan ini terasa menjadi olok-olok di tengah beragam perspektif analisis politik. Namun, politik di tengah abad industri hiburan tidaklah pernah lepas dari budaya penggemar alias fans, layaknya fans para penyanyi hingga bintang film. Bisa diduga, merebaknya pemilih capres dan cawapres dalam perilaku budaya penggemar.

Salah satu ciri budaya penggemar adalah melahirkan citra sensualitas alias tubuh yang mampu merepresentasikan harapan sosial, ekonomi, keamanan, hingga politik tertentu masyarakat. Oleh karena itu, layaknya sosok kebintangan yang setiap periode berubah, demikian juga idaman sosok capres. Sebutlah era 70-an, sosok laki-laki diidamkan gondrong, kurus, bahkan sering dicandakan semakin terasa tak terawat semakin sensual, namun hal itu tentulah berbeda dengan periode sekarang ini.

Dalam perspektif sosok presiden negeri ini, pada era 1945 melahirkan sosok Soekarno yang ganteng dan flamboyan, berbaju trendi dan komunikator memesona, menceritakan ajakan revolusi. Kemudian muncullah sosok Soeharto, yang ganteng, tubuh diam namun mengandung ketegasan tak berampun, mencitrakan tubuh pemangku kestabilan.

Periode selanjutnya kita memiliki Habibie, tubuh tidak bisa diam namun penuh intelektual, berbeda kemudian dengan tubuh ibu ideologi dan tubuh politik instingtif Megawati. Bahkan kemudian negeri ini memiliki tubuh Gus Dur, tubuh pesantren yang rileks tapi cerdas, layaknya pendekar mabuk, penuh olok tapi berani dalam terobosan. Yang terakhir, SBY adalah tubuh tinggi besar ganteng, mencoba seimbang, teratur, tertata, santun. Bisa diduga, awalnya di periode pasca Reformasi yang penuh chaos, tubuh ini diharapkan memberi dunia penggemar akan kestabilan sekaligus ketegasan penuh terobosan. Harap mafhum, pasca reformasi, sosok tubuh SBY menjadi populer dan melahirkan dunia penggemar yang luas.

Bagaimana dengan citra ketubuhan kandidat presiden dan wakil presiden 2014 ini?

Tubuh pasangan Jokowi-JK sangat terasa kontras dengan citra tubuh SBY-Boediono, kekontrasan ini menjadi nilai lebih tersendiri, mengingat aspek inilah yang menjadi ciri dari pemilih melodramatik Indonesia yang serba cepat kecewa dan bosan. Coba simak tubuh Jokowi yang jauh dari militer, namun tubuh rileks merakyatnya mampu melakukan terobosan pemecahan masalah, meski secara cerdas sering pemecahan masalah pada wilayah percontohan yang mampu dikendalikan, memberi dorongan partisipasi pemecahan lebih luas. Simak juga tubuh JK yang serba cepat tanggap pastilah kontras dengan tubuh Boediono yang baik dan manajerial tapi tak terberdayakan sehingga terasa tak terfungsikan bebas.

Di sisi lain, tubuh dalam perspektif kultural, pasangan Jokowi-JK merepresentasikan kultur sejarah raja Jawa yang selalu mempunyai pasukan khusus untuk terobosan dan pemecahan masalah yang berasal dari Makassar, maka di Yogyakarta terdapat Kampung Bugisan sebagai bagian sejarah kolaborasi Jawa dengan Makassar.

Pada sisi lain, pasangan Prabowo-Hatta terasa tidak terlalu kontras dengan SBY-Boediono, malah banyak kesamaan. Prabowo membawa aspek militer seperti SBY, kalaupun berbeda, yakni pada aspek ketegasannya, namun sayangnya memberi isu ketegasan berlebihan yang memberi rasa khawatir. Sementara Hatta, hampir layaknya Boediono, lebih teknokrat ekonomi, sehingga jangkauan bicara tidaklah merakyat ataupun mengayomi sebagai negarawan. Yang menarik, kolaborasi keduanya memberi presentasi kultur militer sipil yang menjadi ciri sebagian sejarah kepresidenan bangsa ini.

Yang harus dikritisi, pemilu di budaya penggemar melahirkan fanatisme yang melunturkan sifat kritis, dewasa dan terbuka, lebih sebagai cinta berlebihan, baik pada penggemar Prabowo maupun Jokowi. Simak jika timbul kritik pada kandidat, serentak di media sosial, kubu kedua pihak, atas nama klarifikasi hingga rasionalisasi melontarkan pembelaan, meski sang bintang seperti Jokowi dengan strategi merendah ala Jawa bicara ora opo-opo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar