Rabu, 11 Juni 2014

Perang

Perang

Toriq Hadad  ;   Wartawan
TEMPO.CO,  08 Juni 2014
                                          
                                                                                         
                                                      
Belakangan ini, ketika orang semakin sengit saling menjagokan calon presiden, hidup terasa tambah repot. Pakai baju putih dikira mendukung nomor satu. Pakai "kotak-kotak" disangka suporter nomor dua. Mau kirim sandek sekarang tak bisa sembarangan. Pernah pesan pendek seorang kawan hanya saya jawab: ha ha. Yang terima pesan memprotes: kenapa "ha" dua kali? Emangnya mendukung nomor dua? Demi pertemanan, sejak itu saya tulis ha ha ha. Tiga kali, kadang kala empat kali.

Segala hal yang dulu tak jadi soal, sekarang jadi masalah. Misalnya soal kebiasaan di bulan puasa yang sebentar lagi datang. Seorang kawan bertanya: berapa butir kurma yang kamu makan waktu berbuka? Saya jawab, dua. Di luar dugaan, kawan itu bilang begini: ikuti sunnah, pilihlah bilangan ganjil. Saya bingung. Akhirnya saya jawab, saya berbuka dengan kurma California yang besar itu. Satu kurma tak cukup, tiga kelewat kenyang. Dua paling pas.

Pernah saya dikritik teman-teman bursa saham lantaran saya pakai kata "pertarungan" untuk "pilpres" itu. Mereka bilang kata itu dekat maknanya dengan gontok-gontokan, perkelahian, kegaduhan, ketegangan, perbenturan.
Menurut mereka, semua kata berkonotasi "keras" punya akibat negatif pada saham. "Setelah mereka bertarung, yang babak-belur harga saham. Ekonomi bisa merosot. Apalagi kalau yang menang si X," ujar seorang pialang. Saya bertanya lebih lanjut, siapa si X itu. Dia menyebut nama, tapi tak bisa disebutkan di sini. Takut dituduh pengawas pemilu menyebarkan black campaign, meskipun yang sudah jelas-jelas menyebarkan tabloid berita bohong tak kunjung ditindak.

Walhasil, langkah dan kata sekarang penting benar dijaga. Itu sebabnya saya kaget sewaktu Amien Rais, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN), mengatakan pertarungan pemilu presiden 9 Juli nanti layaknya Perang Badar, bukan seperti Perang Uhud.

Kekagetan saya sedikit berkurang setelah Drajad Wibowo, Wakil Ketua Umum PAN, buru-buru menjelaskan maksud Amien. Yang ditunjuk rupanya niat atawa nawaitu-nya. Perang Badar dilakukan dengan niat ikhlas, tanpa berharap imbalan jabatan. Sedangkan dalam Perang Uhud, pasukan Islam berperang untuk memperebutkan harta.

Kalau penjelasan itu benar, artinya kedudukan "niat" yang ikhlas dalam sejarah agama seperti Perang Badar sangat penting, melebihi perhitungan akibat yang ditimbulkan. Agama memang mesti ditegakkan dengan pengorbanan apa pun, termasuk jiwa dan nyawa. Meskipun dijalani dengan niat yang ikhlas, dalam Perang Badar itu pasukan Islam kehilangan 14 jiwa, menewaskan sedikitnya 70 orang lawan.

Sementara itu, pemilihan presiden, meskipun perlu dimenangi dengan niat ikhlas membangun negeri, merupakan hajatan demokrasi yang wajib diperhitungkan akibatnya. Ini bukan urusan agama. Bukan soal hidup-mati. Tak perlu mengorbankan segala-galanya, apalagi sampai jiwa-raga pengikut kedua calon presiden.

Sesungguhnya kita memang perlu perang. Bukan serupa Perang Bubat, Perang Paregreg, atau Perang Diponegoro, melainkan perang yang lebih berat: melawan korupsi, melawan pelanggaran hak asasi manusia, melawan ketidakadilan. Kita punya daftar panjang dalam tiga hal itu: rasuah yang sudah menjangkiti sejumlah kementerian, penculikan aktivis yang belum terungkap, pengadilan yang masih jauh dari tempat mencari keadilan, dan seterusnya.

Hari-hari ini, tiba-tiba saya teringat satu perang lagi: melawan kebodohan yang membuat sepak bola kita selalu gagal maju ke Piala Dunia.

1 komentar: