Perang
Toriq
Hadad ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
08 Juni 2014
Belakangan ini, ketika orang
semakin sengit saling menjagokan calon presiden, hidup terasa tambah repot.
Pakai baju putih dikira mendukung nomor satu. Pakai "kotak-kotak"
disangka suporter nomor dua. Mau kirim sandek sekarang tak bisa sembarangan.
Pernah pesan pendek seorang kawan hanya saya jawab: ha ha. Yang terima pesan
memprotes: kenapa "ha" dua kali? Emangnya mendukung nomor dua? Demi
pertemanan, sejak itu saya tulis ha ha ha. Tiga kali, kadang kala empat kali.
Segala hal yang dulu tak jadi
soal, sekarang jadi masalah. Misalnya soal kebiasaan di bulan puasa yang
sebentar lagi datang. Seorang kawan bertanya: berapa butir kurma yang kamu
makan waktu berbuka? Saya jawab, dua. Di luar dugaan, kawan itu bilang
begini: ikuti sunnah, pilihlah bilangan ganjil. Saya bingung. Akhirnya saya
jawab, saya berbuka dengan kurma California yang besar itu. Satu kurma tak
cukup, tiga kelewat kenyang. Dua paling pas.
Pernah saya dikritik teman-teman
bursa saham lantaran saya pakai kata "pertarungan" untuk
"pilpres" itu. Mereka bilang kata itu dekat maknanya dengan
gontok-gontokan, perkelahian, kegaduhan, ketegangan, perbenturan.
Menurut mereka, semua kata
berkonotasi "keras" punya akibat negatif pada saham. "Setelah
mereka bertarung, yang babak-belur harga saham. Ekonomi bisa merosot. Apalagi
kalau yang menang si X," ujar seorang pialang. Saya bertanya lebih
lanjut, siapa si X itu. Dia menyebut nama, tapi tak bisa disebutkan di sini.
Takut dituduh pengawas pemilu menyebarkan black campaign, meskipun yang sudah
jelas-jelas menyebarkan tabloid berita bohong tak kunjung ditindak.
Walhasil, langkah dan kata
sekarang penting benar dijaga. Itu sebabnya saya kaget sewaktu Amien Rais,
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN), mengatakan pertarungan
pemilu presiden 9 Juli nanti layaknya Perang Badar, bukan seperti Perang
Uhud.
Kekagetan saya sedikit berkurang
setelah Drajad Wibowo, Wakil Ketua Umum PAN, buru-buru menjelaskan maksud
Amien. Yang ditunjuk rupanya niat atawa nawaitu-nya. Perang Badar dilakukan
dengan niat ikhlas, tanpa berharap imbalan jabatan. Sedangkan dalam Perang
Uhud, pasukan Islam berperang untuk memperebutkan harta.
Kalau penjelasan itu benar,
artinya kedudukan "niat" yang ikhlas dalam sejarah agama seperti
Perang Badar sangat penting, melebihi perhitungan akibat yang ditimbulkan.
Agama memang mesti ditegakkan dengan pengorbanan apa pun, termasuk jiwa dan
nyawa. Meskipun dijalani dengan niat yang ikhlas, dalam Perang Badar itu
pasukan Islam kehilangan 14 jiwa, menewaskan sedikitnya 70 orang lawan.
Sementara itu, pemilihan
presiden, meskipun perlu dimenangi dengan niat ikhlas membangun negeri,
merupakan hajatan demokrasi yang wajib diperhitungkan akibatnya. Ini bukan
urusan agama. Bukan soal hidup-mati. Tak perlu mengorbankan segala-galanya,
apalagi sampai jiwa-raga pengikut kedua calon presiden.
Sesungguhnya kita memang perlu
perang. Bukan serupa Perang Bubat, Perang Paregreg, atau Perang Diponegoro,
melainkan perang yang lebih berat: melawan korupsi, melawan pelanggaran hak
asasi manusia, melawan ketidakadilan. Kita punya daftar panjang dalam tiga
hal itu: rasuah yang sudah menjangkiti sejumlah kementerian, penculikan
aktivis yang belum terungkap, pengadilan yang masih jauh dari tempat mencari
keadilan, dan seterusnya.
Hari-hari
ini, tiba-tiba saya teringat satu perang lagi: melawan kebodohan yang membuat
sepak bola kita selalu gagal maju ke Piala Dunia. ●
|
artikel menarik
BalasHapus