Honor
Killing
Sarlito
Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORA
SINDO, 08 Juni 2014
Kejadiannya
tanggal 27 Mei 2014 di depan Gedung Pengadilan Tinggi Lahore, Pakistan.
Fauzana Iqbal, 24, sedang menunggu sidang di pengadilan itu ketika tiba-tiba
dia ditarik oleh sejumlah anggota keluarga sendiri (ayah, kakak, dan
kerabat-kerabat laki-lakinya), dibawa ke tepi jalan dan dilempari batu sampai
mati.
Tidak
ada seorang pun di tempat ramai itu yang berusaha mencegahnya. Termasuk
polisi. Ternyata Fauzana telah menolak menikah dengan laki-laki pilihan orang
tuanya dan memilih menikah dengan pria pilihan sendiri, yaitu Mohamad Iqbal.
Keputusannya ini dinyatakan telah menodai kehormatan keluarga dan untuk itu
dia harus dihukum rajam, sesuai dengan hukum syariah versi sebagian tertentu
dari masyarakat Islam di Pakistan. Hukuman ini dinamakan honor killing, yang artinya dibunuh demi kehormatan.
Akibat
perilaku brutal keluarga Fauzana, langsung terjadi demo di Pakistan untuk
menentang perbuatan kejam yang sewenang-wenang itu, yang bukan untuk pertama
kalinya terjadi di negara itu. Suami Fauzana, Muhamad Iqbal, pun mengancam
untuk bunuh diri kalau pemerintah tidak bertindak menghukum pelaku-pelaku
pembunuhan istrinya itu. Anehnya, pemerintah tidak juga bertindak, masyarakat
membiarkan, malah menonton adegan sadis itu (lebih sadis dari di film karena
yang ini sungguhan) dan polisi mendiamkan.
Ada pun di
Indonesia, saya mengutip sebuah berita dari sebuah media on line sebagai berikut. ”YOGYAKARTA- Rumah Direktur Penerbitan
Galang Press Julius Felicianus diserang dan dirusak oleh sekelompok orang
yang diduga Front Pembela Islam (FPI), Kamis (29/5/ 2014) malam. Penyerangan
terjadi ketika rumah tersebut dipakai untuk ibadat doa rosario. Kejadian
bermula saat jemaat menggelar acara ibadat rutin sekaligus peringatan Hari
Kenaikan Isa Almasih.
Sekitar
pukul 20.30, segerombolan orang bergamis dengan mengendarai motor mendatangi
rumah Julius Felicianus, 54, yang menjadi tempat acara. Sesampainya di
lokasi, massa langsung melempari rumah dengan batu. Massa juga merusak motor
milik jemaat yang terparkirdidepanrumah. Takhanyaitu, massa kemudian memaksa
untuk masuk ke dalam rumah dan bermaksud untuk membubarkan kegiatan doa
tersebut. Akibat dari serangan itu, Julius Felicianus dan beberapa temannya
terluka parah karena dipukuli.”
Semua
orang tahu bahwa Islam bukan agama sadis. Islam adalah agama rahmatan lil
alamin , agama yang membawa kedamaian dan rahmat dari Allah SWT, pencipta
semesta alam. Memang Rasulullah sendiri pernah berperang untuk membela Islam.
Perang yang amat terkenal adalah Perang Badar (tentara Islam menang) dan
Perang Uhud (tentara Islam kalah). Karena itu Profesor Amin Rais
mengibaratkan ”perang” pilpres harus bersemangat Perang Badar, bukan Perang
Uhud.
Tapi
seorang ustaz teman saya (bukan Ustaz Guntur Bumi atau Ustaz Taufan Langit,
yang ini mah ustaz biasa, Ustaz Fulan) pernah menghitung-hitung berapa sering
sih Nabi Besar kita itu berperang, menggunakan kekerasan untuk membela agama?
Ternyata hitung punya hitung, perangnya Rasulullah hanya makan waktu kurang
dari 2% dari masa beliau berdakwah yang 20 tahun itu. Itu pun untuk membela
diri karena umatnya benar-benar terancam. Tapi dalam praktiknya Islam jadi
agama yang sangar seperti itu, ya?
Bukan
hanya terhadap agama lain, seperti yang terjadi di Sleman, tetapi terhadap
sesama muslim sendiri, bahkan kerabat dan anak kandung sendiri juga dihajar
sampai mati seperti nasib yang menimpa Fauzana. Demikian pula kejadian di
Sampang, Madura. Di tahun 2011 pengikut-pengikut Syiah diserang, banyak orang
tewas dan terluka sehingga mereka akhirnya bermigrasi ke Sidoarjo (dan diberi
tempat oleh Pemda Sidoarjo, Jatim).
Padahal
garagaranya cuma konflik antaranak- anak dari Ustaz Tajul Muluk al-Ali
Murtadha, yaitu pimpinan dari Pondok Pesantren Syiah di Sampang. Gara-gara
konflik, membela kepentingan pribadi, pecahlah konflik sosial yang
berdarah-darah. Kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok-
kelompok, itulah yang menjadi sumber kekerasan dan eksklusivisme di antara
sebagian umat Islam (termasuk bom-bom teroris yang sudah membunuh ratusan orang).
Cobalah telusuri semua konflik yang bernuansa agama (termasuk yang
non-Islam).
Yang di
Irak, yang di Suriah, di Mesir, dll. Carilah akar penyebabnya, pasti akan
ditemui perdebatan atau konflik yang membawa-bawa akidah, tetapi
pelaku-pelakunya di balik itu semua pasti punya kepentingan. Boleh juga
kepentingan negara-negara adikuasa yang berebut sumber daya alam seperti
minyak mentah dll. Namun, walaupun awalnya hanya konflik antarindividu atau
antarkelompok, lambat laun sikap-sikap eksklusif, memusuhi kelompok lain,
main hakim sendiri, tindak kekerasan dan sebagainya sudah meresap ke dalam
diri masyarakat, termasuk aparat-aparat pemerintahnya (polisi membiarkan
tindak kriminal di depan hidungnya).
Seorang ibu
yang kebetulan nonmuslim tidak mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah
negeri karena nuansanya sudah mengarah ke agama tertentu, tidak netral lagi.
Bahkan dia sendiri (sekarang jadi dosen) mengaku bahwa di SMP (waktu itu ia
bersekolah di negeri) ia pernah diludahi kawan sendiri hanya karena dia bukan
muslim. Jadi, sudah tiba saatnya bahwa agama dikembalikan ke ranah kehidupan pribadi
masing-masing. Kalau mau pendidikan agama, masukkan ke sekolah agama yang
sesuai dengan keyakinan orang tua sendiri.
Tidak perlu menuntut sekolah negeri untuk mengajari agama yang isinya
justru menjauhkan siswa dari umat yang tidak sekepercayaan. Di KTP juga tidak
perlu lagi dicantumkan agama karena tidak ada gunanya, bahkan bisa menjadi
ajang diskriminasi kalau misalnya orang yang bersangkutan melamar kerja. Yang
jelas, ketika agama itu diurus oleh institusi negara yang namanya Kementerian
Agama justru dijadikan sumber korupsi. Sangat merendahkan citra agama itu
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar