Rabu, 11 Juni 2014

Honor Killing

Honor Killing

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORA SINDO,  08 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kejadiannya tanggal 27 Mei 2014 di depan Gedung Pengadilan Tinggi Lahore, Pakistan. Fauzana Iqbal, 24, sedang menunggu sidang di pengadilan itu ketika tiba-tiba dia ditarik oleh sejumlah anggota keluarga sendiri (ayah, kakak, dan kerabat-kerabat laki-lakinya), dibawa ke tepi jalan dan dilempari batu sampai mati.

Tidak ada seorang pun di tempat ramai itu yang berusaha mencegahnya. Termasuk polisi. Ternyata Fauzana telah menolak menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya dan memilih menikah dengan pria pilihan sendiri, yaitu Mohamad Iqbal. Keputusannya ini dinyatakan telah menodai kehormatan keluarga dan untuk itu dia harus dihukum rajam, sesuai dengan hukum syariah versi sebagian tertentu dari masyarakat Islam di Pakistan. Hukuman ini dinamakan honor killing, yang artinya dibunuh demi kehormatan.

Akibat perilaku brutal keluarga Fauzana, langsung terjadi demo di Pakistan untuk menentang perbuatan kejam yang sewenang-wenang itu, yang bukan untuk pertama kalinya terjadi di negara itu. Suami Fauzana, Muhamad Iqbal, pun mengancam untuk bunuh diri kalau pemerintah tidak bertindak menghukum pelaku-pelaku pembunuhan istrinya itu. Anehnya, pemerintah tidak juga bertindak, masyarakat membiarkan, malah menonton adegan sadis itu (lebih sadis dari di film karena yang ini sungguhan) dan polisi mendiamkan.

Ada pun di Indonesia, saya mengutip sebuah berita dari sebuah media on line sebagai berikut. ”YOGYAKARTA- Rumah Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus diserang dan dirusak oleh sekelompok orang yang diduga Front Pembela Islam (FPI), Kamis (29/5/ 2014) malam. Penyerangan terjadi ketika rumah tersebut dipakai untuk ibadat doa rosario. Kejadian bermula saat jemaat menggelar acara ibadat rutin sekaligus peringatan Hari Kenaikan Isa Almasih.

Sekitar pukul 20.30, segerombolan orang bergamis dengan mengendarai motor mendatangi rumah Julius Felicianus, 54, yang menjadi tempat acara. Sesampainya di lokasi, massa langsung melempari rumah dengan batu. Massa juga merusak motor milik jemaat yang terparkirdidepanrumah. Takhanyaitu, massa kemudian memaksa untuk masuk ke dalam rumah dan bermaksud untuk membubarkan kegiatan doa tersebut. Akibat dari serangan itu, Julius Felicianus dan beberapa temannya terluka parah karena dipukuli.”

Semua orang tahu bahwa Islam bukan agama sadis. Islam adalah agama rahmatan lil alamin , agama yang membawa kedamaian dan rahmat dari Allah SWT, pencipta semesta alam. Memang Rasulullah sendiri pernah berperang untuk membela Islam. Perang yang amat terkenal adalah Perang Badar (tentara Islam menang) dan Perang Uhud (tentara Islam kalah). Karena itu Profesor Amin Rais mengibaratkan ”perang” pilpres harus bersemangat Perang Badar, bukan Perang Uhud.

Tapi seorang ustaz teman saya (bukan Ustaz Guntur Bumi atau Ustaz Taufan Langit, yang ini mah ustaz biasa, Ustaz Fulan) pernah menghitung-hitung berapa sering sih Nabi Besar kita itu berperang, menggunakan kekerasan untuk membela agama? Ternyata hitung punya hitung, perangnya Rasulullah hanya makan waktu kurang dari 2% dari masa beliau berdakwah yang 20 tahun itu. Itu pun untuk membela diri karena umatnya benar-benar terancam. Tapi dalam praktiknya Islam jadi agama yang sangar seperti itu, ya?

Bukan hanya terhadap agama lain, seperti yang terjadi di Sleman, tetapi terhadap sesama muslim sendiri, bahkan kerabat dan anak kandung sendiri juga dihajar sampai mati seperti nasib yang menimpa Fauzana. Demikian pula kejadian di Sampang, Madura. Di tahun 2011 pengikut-pengikut Syiah diserang, banyak orang tewas dan terluka sehingga mereka akhirnya bermigrasi ke Sidoarjo (dan diberi tempat oleh Pemda Sidoarjo, Jatim).

Padahal garagaranya cuma konflik antaranak- anak dari Ustaz Tajul Muluk al-Ali Murtadha, yaitu pimpinan dari Pondok Pesantren Syiah di Sampang. Gara-gara konflik, membela kepentingan pribadi, pecahlah konflik sosial yang berdarah-darah. Kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok- kelompok, itulah yang menjadi sumber kekerasan dan eksklusivisme di antara sebagian umat Islam (termasuk bom-bom teroris yang sudah membunuh ratusan orang). Cobalah telusuri semua konflik yang bernuansa agama (termasuk yang non-Islam).

Yang di Irak, yang di Suriah, di Mesir, dll. Carilah akar penyebabnya, pasti akan ditemui perdebatan atau konflik yang membawa-bawa akidah, tetapi pelaku-pelakunya di balik itu semua pasti punya kepentingan. Boleh juga kepentingan negara-negara adikuasa yang berebut sumber daya alam seperti minyak mentah dll. Namun, walaupun awalnya hanya konflik antarindividu atau antarkelompok, lambat laun sikap-sikap eksklusif, memusuhi kelompok lain, main hakim sendiri, tindak kekerasan dan sebagainya sudah meresap ke dalam diri masyarakat, termasuk aparat-aparat pemerintahnya (polisi membiarkan tindak kriminal di depan hidungnya).

Seorang ibu yang kebetulan nonmuslim tidak mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah negeri karena nuansanya sudah mengarah ke agama tertentu, tidak netral lagi. Bahkan dia sendiri (sekarang jadi dosen) mengaku bahwa di SMP (waktu itu ia bersekolah di negeri) ia pernah diludahi kawan sendiri hanya karena dia bukan muslim. Jadi, sudah tiba saatnya bahwa agama dikembalikan ke ranah kehidupan pribadi masing-masing. Kalau mau pendidikan agama, masukkan ke sekolah agama yang sesuai dengan keyakinan orang tua sendiri.

Tidak perlu menuntut sekolah negeri untuk mengajari agama yang isinya justru menjauhkan siswa dari umat yang tidak sekepercayaan. Di KTP juga tidak perlu lagi dicantumkan agama karena tidak ada gunanya, bahkan bisa menjadi ajang diskriminasi kalau misalnya orang yang bersangkutan melamar kerja. Yang jelas, ketika agama itu diurus oleh institusi negara yang namanya Kementerian Agama justru dijadikan sumber korupsi. Sangat merendahkan citra agama itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar