Selasa, 03 Juni 2014

Peran Pancasila Meredup

Peran Pancasila Meredup

Iwan Fauzi  ;   Wakil Ketua Keluarga Besar Marhaen Jawa Barat
KORAN JAKARTA,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Di negara Pancasila yang katanya menjunjung “kemanusiaan adil dan beradab” harusnya sangat mengedepankan harkat dan martabat manusia. Dengan kata lain, manusia berada dalam “virtue a particular moral excellence” (satu partikular moral yang baik). Ini secara eksplisit harusnya ditunjukkan dengan sikap ramah, sopan, penuh etika, agamis, serta antikekerasan.

Kenyataannya, sungguh terbalik. Setiap hari panorama kekerasan disuguhkan silih berganti mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan, penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan. Kerap terjadi sengketa antarindividu, saling ejek menyulut perkelahian antarkelompok atau antarkampung.

Kekerasan etnik, geng motor, perkelahian suporter, radikalisme atas nama agama, perselisihan pilkada, penggusuran, main hakim sendiri, dan banalitas lainnya muncul setiap hari. Bahkan, akhir-akhir ini lahir kekerasan dalam format kampanye hitam (black campaign). Tindakan-tindakan tersebut terjadi begitu enteng, seolah tak ada hubungannya dengan perilaku Pancasila. Atau mungkin, Pancasila sekadar simbol dan telah lenyap dari hati sanubari rakyat Indonesia.

Padahal, telah 68 tahun bangsa merdeka. Sudah 68 tahun pula memperingati hari kelahiran Pancasila 1 Juni dan menganggapnya “way of life” sebagai jalan penuntun kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi semuanya paradoks, bertolak belakang dengan saling menjaga kerukunan.

Berkali-kali para rohaniawan, tokoh-tokoh lintas agama, bersatu menganjurkan perdamaian dan anti-kekerasan. Tapi seolah “masuk telinga kiri keluar telinga kanan”, pesan moral tak tersangkut di hati. Berkali-kali pejabat negara, bahkan presiden, meneriakkan “segera ditindaklanjuti”, “tentang aksi kekerasan” dan kalimat-kalimat perintah lainnya, tapi penyakit banalitas tak jua surut. Jadi, siapa lagi ucapannya yang ditakuti?

Seperti diceritakan dalam Serat Pararaton, lingkaran kekerasan telah menyejarah. Ken Arok membunuh karena tak sabar keris buatan Mpu Gandring lambat dirampungkan. Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, sekaligus merebut Ken Dedes sebagai istri. Lalu, Anusapati membalas kematian ayah kandungnya, Tunggul Ametung, menusukkan keris yang sama untuk menghilangkan nyawa ayah tirinya, Ken Arok, karena sakit hati. Kemudian, Anusapati pun dibunuh oleh Tohjoyo, anak kandung Ken Arok.

Inilah mungkin salah satu bukti, rasa amarah, benci dan dendam, sejak dulu telah merembes secara genetis dalam darah rakyat Indonesia. Dia selalu melahirkan kekerasan baru. Pada masa Orde Lama juga terjadi. Orang-orang anti-Soekarno dipenjarakan pada zaman Demokrasi Terpimpin, tanpa pengadilan.

Masa Orde Baru merebak penembak misterius, Timor Timur, Aceh, Peristiwa Tanjung Priok, penculikan aktivis dan deretan kepiluan lainnya. Waktu itu, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) masih hangat, tetapi tindakan penguasa berbeda dengan “perikemanusiaan yang adil dan beradab.”

Kini, dalam era Reformasi, benarkah konflik-konflik terjadi karena Pancasila hilang? Apakah ideologi Pancasila tak mampu lagi mendukung toleransi, kebersamaan, atau gotong royong masyarakat? Apakah energi Pancasila telah meredup? Inilah beberapa pertanyaan mendasar, dalam rangka peringatan kelahirannya kemarin.

Dulu, Soekarno (Bung Karno) menyebut Pancasila sebagai “philosophische grondslag” (filosofi dasar), dan “weltanschauung” (pandangan hidup). Sekitar tiga tahun terakhir ini, MPR periode 2009–2019 mengelaborasi Pancasila sebagai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Empat pilar itu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinnekha Tunggal Ika. Ini kurang tepat meletakkan Pancasila berkedudukan sejajar dengan UUD 1945, NKRI dan Bhinnekha Tunggal Ika, jika pilar berarti penyangga, dan dasar adalah fondasi. Para pejabat negara seperti DPR, aparat hukum, birokrat, serta aparatur lainnya acap kali tidak memberi teladan rakyat.

Kerapuhan cara berpikir telah menjalar di setiap lapisan masyarakat. Para siswa gemar tawuran, sebagian mahasiswa demonstrasi anarkis, kehidupan kampus tak luput tercemar korupsi. Para terpelajar yang seharusnya menjadi penjaga nilai moral dan etika Pancasila, terjerembap dalam kehidupan instan dan hedonisme. Seharusnya kaum terdidik menjadi garda terdepan menularkan perilaku Pancasila dengan baik.

Eforia Reformasi membuat orang bebas mengkritik. Masyarakat leluasa melontarkan kritik kepala negara, pejabat yang tak diinginkannya, bahkan tetangganya sendiri. Teknologi informasi, media sosial (Facebook, Twitter, BBM, dan sebagainya) menjadi kekuatan berpengaruh dalam aspek kehidupan.

 Sering kritik bertransformasi menjadi kalimat memaki. Ketersinggungan frasa kata, bergeser menjadi bahasa fisik, sehingga ketidakadilan dan kekerasan menjadi sebuah kesatuan alat serang, saling menyakiti.

Dalam istilah Dom Helder Camara, tokoh perdamaian dunia dari Brasil dalam Spiral of Violence (1971) menyebut ketidakadilan (personal) menyebabkan aksi kekerasan (institusi) dan berakhir dengan represi negara yang membentuk spiral kekuasaan.

Misalnya, dalam kasus penggusuran, individu sering melibatkan kelompok massa, melawan kebijakan negara. Lalu, aparat atas nama hukum menyelesaikan sengketa dengan kekerasan sehingga memancing anarkis lainnya (violence attracts violence). Contoh lainnya, demonstrasi mahasiswa dan rakyat dilumpuhkan dengan gas air mata atas nama ketertiban sosial. Lantas, di mana Pancasila kini berada?

Memang betul, Pancasila di era reformasi terkurung dalam bingkai emas. Dia tergantung manis di sekolah, kampus, dinding-dinding kantor birokrasi. Dalam kesendiriannya, dasar negara seolah terasingkan dari kultur, sosial, dan masyarakat. Pancasila memalingkan wajahnya dari kekerasan demi kekerasan di lingkungan masyarakat. Mengutip teori klasik Johan Galtung (1969), kekerasan terjadi secara struktural karena retaknya lapisan sosial.

Orang mulai lupa, amnesia massal. Tokoh-tokoh antikekerasan yang menjadi inspirator gerakan dunia, seperti Marthin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, Dalai Lama, telah gosong dimakan zaman. Apalagi bagi rakyat Indonesia, kesantunan Mohamad Hatta, Agus Salim, Syafruddin Prawiranegara, M Natsir, Hoegeng Imam Santosa, Baharudin Lopa, dan tokoh-tokoh teladan Indonesia lainnya seperti tersimpan di rak usang sejarah masa lalu.

Meredup

Era Reformasi membawa bangsa ke alam bawah sadar. Terjadi proses dehumanisasi, nihilisme, anarkisme tanpa kendali. Orang melakukan apa saja atas nama demokrasi, bahkan menghalalkan segala cara.

Orang mulai lupa demokrasi Pancasila seutuhnya karena terdorong stigma buruk masa lalu yang menjadikannya alat kekuasaan. Dalih semacam ini menyebabkan Pancasila terpinggirkan, meski partai politik, organisasi massa, mengamininya sebagai menjadi dasar negara, panduan hidup toleran untuk berkelompok dan berkumpul.

Dalam keredupan Pancasila, sudah saatnya bangsa mengambil kebaikan masa lalu. Pancasila bukanlah alat kambing hitam sejarah. Kekerasan di bumi Indonesia akan tertekan bila bangsa benar-benar menghayati dan menjalankannya dalam kehidupan. Percayalah, nilai-nilainya mampu melawan ideologi lain yang tidak sejalan. Pancasila merupakan jati diri bangsa sebagai perasan keringat dan darah rakyat Indonesia. Pancasila akan membawa hari esok Indonesia lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar