Peran
Pancasila Meredup
Iwan
Fauzi ; Wakil Ketua Keluarga Besar Marhaen Jawa Barat
|
KORAN
JAKARTA, 02 Juni 2014
Di
negara Pancasila yang katanya menjunjung “kemanusiaan
adil dan beradab” harusnya sangat mengedepankan harkat dan martabat
manusia. Dengan kata lain, manusia berada dalam “virtue a particular moral excellence” (satu partikular moral yang baik). Ini secara eksplisit harusnya
ditunjukkan dengan sikap ramah, sopan, penuh etika, agamis, serta
antikekerasan.
Kenyataannya,
sungguh terbalik. Setiap hari panorama kekerasan disuguhkan silih berganti
mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan, penganiayaan,
pengeroyokan, sampai pembunuhan. Kerap terjadi sengketa antarindividu, saling
ejek menyulut perkelahian antarkelompok atau antarkampung.
Kekerasan
etnik, geng motor, perkelahian suporter, radikalisme atas nama agama,
perselisihan pilkada, penggusuran, main hakim sendiri, dan banalitas lainnya
muncul setiap hari. Bahkan, akhir-akhir ini lahir kekerasan dalam format
kampanye hitam (black campaign).
Tindakan-tindakan tersebut terjadi begitu enteng, seolah tak ada hubungannya
dengan perilaku Pancasila. Atau mungkin, Pancasila sekadar simbol dan telah
lenyap dari hati sanubari rakyat Indonesia.
Padahal,
telah 68 tahun bangsa merdeka. Sudah 68 tahun pula memperingati hari
kelahiran Pancasila 1 Juni dan menganggapnya “way of life” sebagai jalan penuntun kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tetapi semuanya paradoks, bertolak belakang dengan saling menjaga
kerukunan.
Berkali-kali
para rohaniawan, tokoh-tokoh lintas agama, bersatu menganjurkan perdamaian
dan anti-kekerasan. Tapi seolah “masuk telinga kiri keluar telinga kanan”,
pesan moral tak tersangkut di hati. Berkali-kali pejabat negara, bahkan
presiden, meneriakkan “segera ditindaklanjuti”, “tentang aksi kekerasan” dan
kalimat-kalimat perintah lainnya, tapi penyakit banalitas tak jua surut.
Jadi, siapa lagi ucapannya yang ditakuti?
Seperti
diceritakan dalam Serat Pararaton,
lingkaran kekerasan telah menyejarah. Ken Arok membunuh karena tak sabar
keris buatan Mpu Gandring lambat dirampungkan. Ken Arok membunuh Tunggul
Ametung, sekaligus merebut Ken Dedes sebagai istri. Lalu, Anusapati membalas
kematian ayah kandungnya, Tunggul Ametung, menusukkan keris yang sama untuk
menghilangkan nyawa ayah tirinya, Ken Arok, karena sakit hati. Kemudian,
Anusapati pun dibunuh oleh Tohjoyo, anak kandung Ken Arok.
Inilah
mungkin salah satu bukti, rasa amarah, benci dan dendam, sejak dulu telah
merembes secara genetis dalam darah rakyat Indonesia. Dia selalu melahirkan
kekerasan baru. Pada masa Orde Lama
juga terjadi. Orang-orang anti-Soekarno dipenjarakan pada zaman Demokrasi Terpimpin, tanpa pengadilan.
Masa
Orde Baru merebak penembak misterius, Timor Timur, Aceh, Peristiwa Tanjung
Priok, penculikan aktivis dan deretan kepiluan lainnya. Waktu itu, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) masih hangat, tetapi tindakan
penguasa berbeda dengan “perikemanusiaan yang adil dan beradab.”
Kini,
dalam era Reformasi, benarkah konflik-konflik terjadi karena Pancasila
hilang? Apakah ideologi Pancasila tak mampu lagi mendukung toleransi,
kebersamaan, atau gotong royong masyarakat? Apakah energi Pancasila telah
meredup? Inilah beberapa pertanyaan mendasar, dalam rangka peringatan
kelahirannya kemarin.
Dulu,
Soekarno (Bung Karno) menyebut Pancasila sebagai “philosophische grondslag” (filosofi dasar), dan “weltanschauung” (pandangan hidup).
Sekitar tiga tahun terakhir ini, MPR periode 2009–2019 mengelaborasi Pancasila sebagai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Empat pilar itu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinnekha Tunggal Ika. Ini
kurang tepat meletakkan Pancasila berkedudukan sejajar dengan UUD 1945, NKRI
dan Bhinnekha Tunggal Ika, jika pilar berarti penyangga, dan dasar adalah
fondasi. Para pejabat negara seperti DPR, aparat hukum, birokrat, serta
aparatur lainnya acap kali tidak memberi teladan rakyat.
Kerapuhan
cara berpikir telah menjalar di setiap lapisan masyarakat. Para siswa gemar
tawuran, sebagian mahasiswa demonstrasi anarkis, kehidupan kampus tak luput
tercemar korupsi. Para terpelajar yang seharusnya menjadi penjaga nilai moral
dan etika Pancasila, terjerembap dalam kehidupan instan dan hedonisme. Seharusnya
kaum terdidik menjadi garda terdepan menularkan perilaku Pancasila dengan
baik.
Eforia
Reformasi membuat orang bebas mengkritik. Masyarakat leluasa melontarkan
kritik kepala negara, pejabat yang tak diinginkannya, bahkan tetangganya
sendiri. Teknologi informasi, media sosial (Facebook, Twitter, BBM, dan
sebagainya) menjadi kekuatan berpengaruh dalam aspek kehidupan.
Sering kritik bertransformasi menjadi
kalimat memaki. Ketersinggungan frasa kata, bergeser menjadi bahasa fisik,
sehingga ketidakadilan dan kekerasan menjadi sebuah kesatuan alat serang,
saling menyakiti.
Dalam
istilah Dom Helder Camara, tokoh perdamaian dunia dari Brasil dalam Spiral of Violence (1971) menyebut
ketidakadilan (personal) menyebabkan aksi kekerasan (institusi) dan berakhir
dengan represi negara yang membentuk spiral kekuasaan.
Misalnya,
dalam kasus penggusuran, individu sering melibatkan kelompok massa, melawan
kebijakan negara. Lalu, aparat atas nama hukum menyelesaikan sengketa dengan
kekerasan sehingga memancing anarkis lainnya (violence attracts violence). Contoh lainnya, demonstrasi
mahasiswa dan rakyat dilumpuhkan dengan gas air mata atas nama ketertiban
sosial. Lantas, di mana Pancasila kini berada?
Memang
betul, Pancasila di era reformasi terkurung dalam bingkai emas. Dia
tergantung manis di sekolah, kampus, dinding-dinding kantor birokrasi. Dalam
kesendiriannya, dasar negara seolah terasingkan dari kultur, sosial, dan
masyarakat. Pancasila memalingkan wajahnya dari kekerasan demi kekerasan di
lingkungan masyarakat. Mengutip teori klasik Johan Galtung (1969), kekerasan
terjadi secara struktural karena retaknya lapisan sosial.
Orang
mulai lupa, amnesia massal. Tokoh-tokoh antikekerasan yang menjadi inspirator
gerakan dunia, seperti Marthin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, Dalai Lama,
telah gosong dimakan zaman. Apalagi bagi rakyat Indonesia, kesantunan Mohamad
Hatta, Agus Salim, Syafruddin Prawiranegara, M Natsir, Hoegeng Imam Santosa,
Baharudin Lopa, dan tokoh-tokoh teladan Indonesia lainnya seperti tersimpan
di rak usang sejarah masa lalu.
Meredup
Era
Reformasi membawa bangsa ke alam bawah sadar. Terjadi proses dehumanisasi,
nihilisme, anarkisme tanpa kendali. Orang melakukan apa saja atas nama
demokrasi, bahkan menghalalkan segala cara.
Orang
mulai lupa demokrasi Pancasila seutuhnya karena terdorong stigma buruk masa
lalu yang menjadikannya alat kekuasaan. Dalih semacam ini menyebabkan
Pancasila terpinggirkan, meski partai politik, organisasi massa, mengamininya
sebagai menjadi dasar negara, panduan hidup toleran untuk berkelompok dan
berkumpul.
Dalam
keredupan Pancasila, sudah saatnya bangsa mengambil kebaikan masa lalu.
Pancasila bukanlah alat kambing hitam sejarah. Kekerasan di bumi Indonesia
akan tertekan bila bangsa benar-benar menghayati dan menjalankannya dalam
kehidupan. Percayalah, nilai-nilainya mampu melawan ideologi lain yang tidak
sejalan. Pancasila merupakan jati diri bangsa sebagai perasan keringat dan
darah rakyat Indonesia. Pancasila akan membawa hari esok Indonesia lebih
baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar