Menuntaskan
Transisi Demokrasi
Anis
Matta ; Presiden Partai Keadilan Sejahtera
|
KORAN
SINDO, 02 Juni 2014
Pemilihan
umum 2014 harus menjadi tonggak sejarah penting tuntasnya transisi menuju
demokrasi yang kita mulai sejak 1998. Karena itu, pemilihan presiden yang
akan segera berlangsung bukan saja merupakan momentum politik biasa –dalam
konteks siklus demokrasi– melainkan momentum sejarah untuk Indonesia naik
kelas menjadi negara demokrasi yang lebih stabil dan fundamental.
Hasil
pemilu legislatif menunjukkan fenomena yang mengejutkan bagi sebagian
kalangan. Riuh rendah hasil survei menjelang pelaksanaan kampanye pileg
memang sempat memberi kesan bahwa perlombaan sudah berakhir bahkan sebelum
pemilu dimulai. Elektabilitas partai dan figur seolah sudah dipatok oleh
jawaban responden survei. Belum lagi elemen baru yang makin ikut berperan
meramaikan ranah politik: media sosial. Seolah-olah pemilihan umum sudah usai
dan presiden sudah terpilih. Ternyata belum. Hasil hitung cepat (quick count) berbagai lembaga
menunjukkan pembagian suara yang relatif merata, datar (flat) dan terfragmentasi.
Hitungan
ini dikonfirmasi oleh hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kita menyaksikan bahkan pemenang pemilu legislatif belum bisa melenggang
mencalonkan kandidat presidennya sendiri. Hal-hal yang selama ini taken for granted sebagai rumus
kemenangan, ternyata tidak terjadi. Misalnya efek figur terhadap partai, atau
pimpinan partai yang juga pemilik media sehingga lebih mudah melakukan
“serangan udara”, pencitraan lewat orkestrasi pemberitaan di media, dan
belanja iklan yang fantastis, ternyata tidak otomatis berbuah perolehan suara
yang luar biasa pada saat pemungutan suara.
Bisa
dibilang tidak ada hal luar biasa pada Pemilu 2014 ini. Tidak ada kemenangan
mudah dalam pertandingan ini. Pada 2004, kita masih melihat keluarbiasaan,
Partai Demokrat yang meraih 7% berhasil mengegolkan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada 2009, giliran figur Yudhoyono yang mengerek perolehan suara Demokrat.
Pada 1999, Golkar yang dihujat oleh gerakan Reformasi ternyata masih survive, bahkan meraih suara nomor dua
tepat di bawah PDI Perjuangan yang dianggap sebagai simbol perlawanan
terhadap Orde Baru, bahkan Golkar kemudian meraih suara terbanyak pada Pemilu
2004. Hal-hal
luar biasa tidak terjadi di Pemilu Legislatif 2014. Tidak ada partai yang
meraih suara sangat dominan, tidak ada figur yang fenomenal hingga mampu
mengerek perolehan suara partainya. Apa yang terjadi?
Ekosistem Politik yang Lebih
Stabil
Pemilu
Legislatif 2014 menunjukkan ekosistem politik yang lebih stabil dan publik
pemilih yang tidak “kaget-kagetan” dengan segala manuver berbagai partai
politik. Publikasi hasil survei tidak mampu menghasilkan “bandwagon effect” (efek menarik suara) karena pemilih sudah
mampu membedakan antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Bisa
dibilang, ekosistem politik kita sudah mampu melakukan “containment” (kemampuan membendung ledakan pengaruh) dan
mendistribusi guncangan ledakan itu merata ke seluruh sendi-sendi ekosistem
tersebut.
Itu yang
tampak dari publik yang tidak kagetan dan mampu melakukan penyaringan
informasi di tengah bombardir iklan dan berita. Efek figur yang populer,
pencitraan media, belanja iklan, semua itu menjadi faktor yang kontribusinya
proporsional saja dari sekian banyak faktor yang dibutuhkan dalam memenangkan
pemilu. Memiliki satu atau dua dari sejumlah faktor itu tidak serta-merta
menghasilkan kemenangan yang mudah. Dari sini kita belajar bahwa mesin
partai, kader, figur, belanja iklan, dan kekuatan finansial, serta
faktor-faktor lain adalah bahan mentah yang perlu diracik oleh seorang koki
andal untuk membuahkan hasil yang optimal.
Kita
menyaksikan masyarakat sipil semakin independen dan berdaya. Tidak ada lagi
“politik grosiran”, di mana dukungan diraih dengan hanya memengaruhi
pemimpinpemimpin kelompok sosial. Individu semakin menunjukkan jati dirinya.
Mereka ingin berpartisipasi tetapi juga tidak ingin pesta demokrasi ini
dibajak oleh oligarki elite. Itu yang bisa kita baca dari maraknya
partisipasi masyarakat kelas menengah dalam ajakan untuk tidak golput, sambil
tetap “dengan galak” meminta pertanggungjawaban dan akuntabilitas dari partai
politik dan calon anggota legislatif. Inilah fenomena masyarakat dalam
gelombang ketiga sejarah Indonesia.
Setelah
sebelumnya dalam gelombang pertama, kita menjadi Indonesia dengan puncaknya
pada Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan gelombang kedua kita menjadi
negara-bangsa modern yang ditandai dengan Reformasi 1998 dan transisi
demokrasi, maka pada 2014 ini kita memasuki gelombang ketiga dengan agenda
utama memantapkan budaya demokrasi.
Memantapkan Budaya Demokrasi
Reformasi
1998 dapat disimpulkan sebagai sintesis dari dialektika antara tesis Orde
Lama yang dilawan oleh antitesis Orde Baru. Perdebatan dalam relasi antara
negara dan agama, polemik kebebasan vs kesejahteraan dan integrasi nasional
vs otonomi daerah, telah mengerucut pada kesimpulan-kesimpulan yang kita
dapat selama transisi dari 1998 hingga Pemilu 2014 ini. Dalam perspektif
sejarah, Pemilu 2014 ini merupakan tonggak di mana kita menjalankan satu set
penuh prosedur demokrasi: pemilihan umum langsung, dan presiden yang berkuasa
secara maksimal dalam kerangka waktu konstitusional (dua periode) tanpa
ancaman tindakan nondemokratis, dan–mudah-mudahan– serah terima jabatan
presiden yang berlangsung secara damai dengan transisi pemerintahan yang
mulus.
Demokrasi
prosedural baru dapat memastikan kepatuhan terhadap proses dengan harapan
prosedur yang baik akan membuahkan hasil yang baik pula. Prosedur demokrasi
baru bicara pada basis legitimasi. Kini saatnya kita melangkah pada substansi
demokrasi, yaitu berbicara kemanfaatan sebuah proses dan sistem demokrasi
bagi manusia. Demokrasi sebagai budaya artinya nilai-nilai demokratis
dijadikan rujukan dalam kita bertindak dan bertingkah laku. Demokrasi bukan
sekadar sistem yang mekanistik, melainkan juga menjadi cara menyelesaikan
masalah, alat untuk menavigasi kehidupan, yang kita anggap tepat dan
karenanya perlu dipertahankan.
Memantapkan
budaya demokrasi berarti menggali lebih dalam substansi nilai-nilai sejati
demokrasi sambil tetap menjaga sikap terbuka untuk mengkritik dan
memperbaikinya. Tidak ada sistem yang sempurna, yang ada adalah sistem yang
dirasa tepat untuk menyelesaikan masalah dalam jangka waktu tertentu. Revisi
dan koreksi terhadap praktek demokrasi akan semakin memantapkannya. Semoga
Pemilu 2014 ini benar-benar merupakan tonggak dituntaskannya transisi
demokrasi yang sudah berjalan 16 tahun.
Pemilihan presiden harus
menjadi perdebatan gagasan tentang bagaimana kita membangun demokrasi yang
mampu menghasilkan faedah bagi rakyat, bukan sekadar pesta pencitraan dan
kontes figur penghibur yang menyenangkan tapi melenakan rakyat dari masalah
sebenarnya. Semoga
kita dapat melangkah ke masa depan dengan demokrasi yang lebih mantap, lebih
mampu menghasilkan keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar