Selasa, 03 Juni 2014

Pemilu 2014, Tulang Punggung Demokrasi

Pemilu 2014, Tulang Punggung Demokrasi

Otjih Sewandarijatun  ;   Peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta
HALUAN,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pentas Pemilihan Umum (pemilu) untuk calon legislatif baru saja usai. Pemilu telah menjadi mobilitas politik yang melahirkan sebuah ruang-ruang diskursif untuk agenda kesejahteraan dan kemaslahatan. Di sanalah suara rakyat ditanam untuk tujuan kebenaran, kemakmuran, dan keadilan.

Pemilu adalah instrumen demokrasi yang tidak saja memberikan afirmasi berupa pertautan kepentingan an sich, tetapi oleh perjumpaan dan kesamaan ideologi, visi-misi, dan gagasan yang tumbuh subur, dan tak akan pernah terkubur. Mengakar menjadi awal bagi tumbuhnya sebuah reformasi kepemimpinan yang diidam-idamkan.

Tidak lekang dalam ingatan kita, sejak awal banyak pihak yang mengkritik proses pelak­sanaan pemilu 2014. Beberapa pihak mulai melakukan justifikasi di luar batas kewajaran dengan menisbatkan pemilu sebagai agenda demokrasi yang gagal.

Bahkan tidak sedikit yang menyuarakan pemilu dan partai politik dibubarkan. Jika dianalisis lebih jauh, sebenarnya pelaksaanan pemilu telah sesuai dengan asaz-asaz pokok demokrasi yang substansial.

Kinerja penyelenggara pemilu yang sudah maksimal, merupakan manifestasi dari kerja-kerja profesional para penyelenggara. Bahkan para penyelenggara berhasil me­naklu­kan arus besar disilusi pemilu berupa kecurangan, instabilitas sosial, dan persoalan yang sejenis.

Pemilu adalah tulunggung punggung demokrasi. Ia hadir menjadi mobilitas transformasi kepe­mimpinan yang bermar­tabat. Kepemimpinan yang mencirikan sebuah imajinasi tentang masa depan Indonesia yang cerah. Bukan masa depan bangsa yang sumir penuh getir.

Sebagai sebuah manifestasi demokrasi, maka meletakkan pemilu sebagai narasi besar dan terhormat merupakan kenisca­yaan yang tidak bisa ditawar.

Sebab dalam sistem demo­krasi yang terbuka, pemilu adalah bagian integral dalam mewujudkan sebuah dinamisasi kepemimpinan yang akomodatif.  Kepemimpinan yang meletakkan kepentingan rakyak sebagai mandat.

Pemilu 2014 telah menujukkan sebuah formulasi mekanisme yang baik. Di samping semua pihak mudah untuk memilih, pemilu kali menggambarkan bagaimana resistensi sosial tidak terlalu mengemuka. Penyelenggara, partai politik, masyarakat, berkerja secara optimal menjadi three in one yang memberikan aura kekuatan positif bagi atmosfir pemilu 2014.

Meskipun ada kasak-kusuk, tetapi hal itu hanya serpihan kecil yang sedikitpun tidak memberikan efek apapun selain sebatas ‘bumbu pedas’ bagi hadirnya pemilu yang lebih kondusif.

Pemilu kali ini mencirikan satu momentum dimana semua suara dari pelbagai pihak dengan mudah ditampung oleh KPU, Bawaslu, dan Kemendagri, sehingga melahirkan sebuah kerja cepat dan tepat. sebuah gaya baru yang sulit kita temukan pada momentum pemilu sebelumnya. Sehingga pemilu tidak lagi bikin nyilu.

Ia telah berubah menjadi ruang dimana suara-suara tulus dari rakyat hidup dan kemudian menjelma menjadi sebuah harapan. Sebab  demokrasi yang substansial adalah demokrasi yang memberikan harapan.  Dan itu hanya bisa diciptakan dengan hadirnya sebuah momentum pemilu yang berintegritas.

Dalam konteks demikian pemilu telah ikut andil dalam mendorong proses perwujudan good governance. Imajinasi masyarakat tentang pemilu yang kondusif hari ini benar-benar hadir dengan efektif. Integritas pemilu yang baik hari ini tidak sebatas menjadi perbincangan dari bibir ke bibir tetapi telah menjadi lelaku bagi diaspora kerja pemilu yang mencerahkan.

Terbukti  untuk tahun 2014 indeks golput menurun. Penu­runan ini bukan tanpa sebab, tetapi menjadi bukti sederhana bagaimana pemilu telah menjadi gerbong lokomotif demokrasi yang menyegarkan.

Pemilu tidak sebatas menjadi momentun tahunan yang miskin nilai, tetapi menjadi sebuah embun bening bagi hadirnya diaspora kekuasaan masa depan. Sehingga nilai-nilai  kepemimpinan, demokrasi, stabilitas politik, menyatu menjadi cahaya keperakan di tengah kuatnya ‘mendung’.

Dalam konteks yang sama, pemilu 2014 menyadarkan kita tentang arti entitas politik yang luhur. Semua partai politik bekerja dengan profesional tanpa ada spekulasi dan gesekan akut. Pelaporan dana kampanye, sosialisasi calon, dan pendidikan politik berjalan secara arif. Ini menandakan bahwa kredibilitas pemilu benar-benar menunjukkan situasi yang esensial. Sehingga penyelenggara, parpol, rakyat berperan akif dalam mendorong lahirnya pemilu yang sesuai dengan harapan bersama.

Pada titik ini, kita sampai pada satu kesadaran besar bahwa keterlibatan aktif pelbagai elemen terutama peyelenggara pemilu menjadi titik tolak bagaimana kita sebagai bagian dari konstituen terus mendorong sebuah hadirnya pemilu yang bermartabat.

Pemilu bukan sebatas milik KPU dan parpol, tetapi merupakan ‘jalan lain’ bagaimana gagasan, visi-misi, dan ideologi dilembagakan menjadi sebuah entitas rekonstruksi harapan (das sien) dan sebuah keinginan yang kuat (desire) demi  kesejahteraan bersama jangka panjang.

Hal ini akan mudah tercapai jika semua elemen punya konsensus bersama untuk benar-benar menjadikan pemilu sebagai proses demokrasi yang benar-benar memiliki arti. Pemilu yang benar-benar menggiring sebuah transformasi kepemimpinan yang benar-benar mengabdi dan berjuang untuk sebuah kemaslahatan bangsa dan negara.

Memang, pemilu bukanlah jalan satu-satunya untuk bisa sampai pada tujuan tersebut, tetapi pemilu adalah jalan paling lurus untuk sampai pada kesejahteraan yang hakiki. Jalan yang paling diberkahi karena suara rakyat adalah suara Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar