Selasa, 17 Juni 2014

Paradoks Utang Luar Negeri

Paradoks Utang Luar Negeri

Sabaruddin Siagian  ;   Dosen Institut Perbanas Jakarta
KORAN JAKARTA,  17 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
Perusahaan diperkenankan meningkatkan jumlah utang (debt)-nya. Peningkatan utang tersebut akan mengurangi biaya modal (cost of capital) perusahaan karena biaya utang (cost of debt) itu lebih murah dibandingkan dengan biaya menerbitkan saham (cost of stock).

Lawrence J Gitman dan Chad J Zutter, dalam bukunya berjudul Principle Managerial Finance, terbitan tahun 2013, menjelaskan struktur permodalan (capital structure) perusahaan atau rasio utang terhadap modal yang optimal ditentukan pada rasio utang tingkat tertentu yang terdapat peningkatan nilai perusahaan (company value) atau nilai harga saham (stock price) yang paling besar.

Selain itu, Gitman dan Zutter, dalam menentukan struktur permodalan atau rasio utang terhadap modal, menggunakan pendapatan per lembar saham (earning per share/EPS). Pada pendekatan EPS ini, pada rasio utang tertentu, terdapat peningkatan EPS perusahaan yang paling besar.

Kedua pendekatan itu digunakan oleh hampir seluruh buku keuangan korporasi modern. Dan, di antara dua pendekatan itu, pendekatan rasio utang dihubungkan dengan harga saham yang paling baik. Pasalnya, selain karena tujuan (goal) perusahaan dalam perspektif keuangan (finance) adalah meningkatkan harga saham, dalam menggunakan harga saham mengikutsertakan semua unsur risiko perusahaan, antara lain risiko bisnis atau operasi (business risk) dan risiko keuangan (financial risk).

Dalam konteks ini, risiko keuangan dalam perusahaan AS yang termuat di buku keuangan korporasi modern agak berbeda bila diterapkan terhadap perusahaan Indonesia dan negara berkembang lainnya jika perusahaan itu menggunakan utang luar negeri (ULN). Pada buku keuangan korporasi modern, diasumsikan bahwa bobot risiko nilai tukar dollar AS dalam risiko keuangan tidak begitu besar pada perusahaan AS dibandingkan dengan bobot risiko nilai tukar rupiah perusahaan kita karena Pemerintah AS dapat mencetak dollar AS, tetapi pada perekonomian kita pasokan dollar AS sangat terbatas.

Dengan demikian, dalam menentukan rasio utang pada perusahaan Indonesia tidak boleh mempersamakan dengan perusahaan AS karena kita harus memperhitungkan sangat tingginya risiko nilai tukar rupiah terhadap risiko keuangan itu. Dengan demikian, rasio utang perusahaan kita jika menggunakan ULN tentu harus lebih konservatif dengan tidak memaksakan penggunaan ULN yang ekstrem.

Dengan rendahnya suku bunga ULN dan perusahaan memanfaatkan subsidi pajak dari pemerintah karena beban bunga pinjaman mengurangi pajak perusahaan (tax deductible) untuk mengurangi biaya modal dan meningkatkan harga saham, maka korporasi Indonesia menguber ULN yang sangat besar.

Hal itu tecemin pada data ULN dikeluarkan Bank Indonesia (BI), Mei 2014. Pada Desember 2009, total ULN masih 173 miliar dollar AS, pada Maret 2014 melesat tinggi, menjadi 276 miliar dollar AS. Apalagi ULN swasta semakin sangat mengkhawatirkan karena hanya dalam 3 tahun lebih 3 bulan ini ULN swasta meningkat 100 persen.

Pada Desember 2009, masih 74 miliar dollar AS, sedangkan Maret 2014 melesat menjadi 146 miliar dollar AS. Peningkatan ULN ini juga sudah mengancam rupiah dan perekonomian karena debt service ratio (DSR) atau rasio utang sudah sebesar 46,31 persen pada Mei 2014, padahal batas aman yang paling maksimal DSR itu 44 persen.

Karena sangat tinggi risiko nilai tukar rupiah dan kurang cerdasnya korporasi kita menerjemahkan risiko nilai tukar rupiah terhadap rasio utang, maka BI, OJK, dan Kementerian Keuangan, dan Menteri Koordinator Perekonomian harus membuat ketentuan-ketentuan untuk mengarahkan supaya ULN ini terkendali dan dikelola dengan baik sehingga ULN ini tidak membangkrutkan perusahaan tersebut dan meningkatkan risiko krisis utang dan krisis ekonomi.

Terkait dengan ULN swasta bank, memang BI sudah membuat ketentuan-ketentuan atau mandatory untuk mewajibkan ULN bank hanya 30 persen dari modal bank tersebut. Dengan demikian, ULN perbankan sudah ada rambu-rambunya sehingga ULN perbankan tidak perlu dikhawatirkan.

Untuk ULN nonbank, yakni ULN swasta dan ULN lembaga keuangan nonbank, BI sebagai otoritas moneter tidak mampu mengendalikan ULN nonbank ini. Pasalnya, ketentuan-kentuan yang mewajibkan pengendalian ULN nonbank belum dibuat oleh pemerintah sehingga ULN nonbank mudah melesat sangat besar dan semakin melesat lagi ke depan karena perusahaan ingin memanfaatkan ULN ini untuk mengurangi biaya modal perusahaan dan meningkatkan harga sahamnya.

Sejatinya, posisi pemerintah dan BI mengendalikan ULN ini adalah tepat karena ULN ini memiliki risiko nilai tukar yang sangat besar sehingga dapat membuat bangkrut perusahaan itu dan dapat menciptakan krisis utang dan krisis ekonomi. Maka, pemerintah dan BI perlu segera membuat ketentuan-ketentuan ULN swasta nonbank, khususnya ketentuan lindung nilai (hedging) terhadap pinjaman luar negeri yang mana perusahaan tersebut menerima pendapatan dalam rupiah.

Jika belum ada ketentuan ULN ini, perekonomian kita tinggal menunggu waktu saja mengalami krisis utang karena perekonomian sangat rentan terhadap gejolak perekonomian global. Seperti tahun 2008, krisis ekonomi AS akibat sangat besarnya kredit macet perumahan membuat rupiah tertekan, mencapai 12.000 rupiah per dollar AS. Dan, saat ini, pengurangan (tapering off) stimulus moneter bank sentral AS dan kenaikan suku bunga AS membuat perekonomian tertekan dan rupiah mengalami depresiasi.

Kerentanaan (vulnerability) perekonomian Indonesia terhadap perekonomian global tecermin pada hasil temuan International Monetary Fund (IMF) baru-baru ini. IMF mengeluarkan temuannya bahwa perekonomian Indonesia tidak siap menghadapi tekanan perekonomian global. Kesiapan perekonomian kita menghadapi krisis memiliki skor hanya sebesar 40 poin. Dengan skala 0 sampai 100 poin.

Dengan becermin juga pada krisis moneter 1998 yang penyebab utamanya adalah minimnya pengendalian ULN dan sangat mengkhawatirkannya rasio utang saat ini, pemerintah harus mengurangi risiko krisis utang dengan merealisasikan ketentuan debt to equity ratio (DER) ULN swasta, khususnya ULN swasta yang berpendapatan rupiah.

Ironi ULN pemerintah

Dari sisi kemampuan membayar, ULN Pemerintah Indonesia lebih aman dibandingkan dengan ULN swasta karena posisi ULN jangka panjang pemerintah lebih dominan dibandingkan dengan ULN swasta. Berdasarkan data BI, Maret 2014, porsi ULN jangka panjang pemerintah sebesar 95,4 persen, sedangkan ULN jangka panjang swasta sebesar 71,7 persen.

Hanya masalahnya, ULN pemerintah ini tidak produktif karena ULN pemerintah tidak digunakan untuk membangun infrastruktur. ULN pemerintah ini digunakan menutup defisit APBN dan membiayai subsidi energi. Pada APBN Perubahan 2014, anggaran subsidi energi mencapai 31 persen dari anggaran pembelanjaan.

Idealnya, ULN pemerintah digunakan untuk membangun infrastruktur, khusus pembangunan jalan, jalan tol, infrastruktur pertanian, kelautan, pelabuhan, dan jembatan. Dengan demikain, ULN pemerintah itu menghasilkan efek pengganda (multiplier effect) bagi pembangunan.

Padahal, biaya ULN pemerintah itu tinggi karena pemerintah kurang memanfaatkan pinjaman ULN dari lembaga keuangan internasional dan pemerintah asing. Tetapi pemerintah sangat “rajin” memanfaatkan ULN dengan menggunakan pasar global, padahal suku bunganya tinggi, 7–8 persen.

Alhasil, pemerintah sebaiknya mengurangi ULN ini karena kurang dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, tetapi hanya dimanfaatkan untuk membiayai subsidi energi. Dengan pengurangan ULN itu, selain mengurangi tekanan terhadap rupiah, posisi pembayaran ULN pemerintah dalam kondisi gali lubang tutup lubang.

Artinya, ULN pemerintah ini hanya digunakan menutup pinjaman pokok dan bunga pinjaman tersebut. Untuk menyelamatkan perekonomian dan mengurangi ULN itu, pemerintah mendesak menaikkan harga minyak. Kenaikan harga minyak itu akan memperbesar anggaran pembayaran ULN pemerintah dan membangunan infrastruktur yang lebih besar lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar