Partisipasi
Penyandang Disabilitas dalam Politik 2014
Slamet
Thohari ; Dosen
Sosiologi Universitas Brawijaya, Sekretaris Pusat Studi dan Layanan
Disabilitas Universitas Brawijaya, Alumni Disability Studies, University of
Hawaii at Manoa
|
KORAN
SINDO, 17 Juni 2014
Pemilihan
umum (pemilu) merupakan hajat besar sebagai perwujudan demokrasi di
Indonesia. Ini merupakan momen penting di mana bangsa Indonesia paling tidak
untuk lima tahun ke depan akan ditentukan.
Untuk
itu, dalam pemilu partisipasi publik menjadi sangat dibutuhkan karena dengan
begitu suara publik mampu menentukan wakil-wakilnya yang akan menentukan
nasib masyarakat untuk masa depan. Agar pemilu benar-benar tempat publik dan
semua berpartisipasi proses berjalannya pesta demokrasi ini haruslah dapat diakses
oleh siapa pun, dari golongan apa pun itu, termasuk mereka yang selama ini
terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat seperti penyandang disabilitas.
Usaha
memenuhi hak suara penyandang disabilitas pun sudah diperjuangkan dalam
pemilu-pemilu sebelumnya. Berbagai masukan perihal aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas dalam pemilu sudah dilayangkan ke Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Hasilnya, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam Pemilu 2014
menjadi isu yang cukup diperhatikan.
Banyak
lembaga masyarakat di Indonesia maupun lembaga internasional mendorong agar
pemilu tahun ini lebih ramah terhadap penyandang disabilitas dengan
memberikan fasilitas yang bisa diakses seperti tempat pemungutan suara yang
ramah kursi roda, lembar suara berhuruf Braille dan seterusnya. Terlebih lagi
populasi penyandang disabilitas di Indonesia cukuplah tinggi, yakni sekitar
35 juta lebih (WHO 2011).
Suara Penyandang Disabilitas
Alasan
melibatkan penyandang disabilitas sangatlah berarti. Berdasarkan temuan The
Asia Fodation, mereka 35% lebih tidak mempunyai akses ke pemilu atau tidak
paham akan pemilu. Artinya 35% dari penyandang disabilitas yang memiliki hak
suara tidak mampu menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014.
Meskipun
begitu, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar aksesibilitas dalam
pemilu bagi penyandang disabilitas, yakni seberapa jauh pemilu ini dapat
memberikan manfaat bagi penyandang disabilitas. Dapat dirunut pula seberapa
kuatkah isu disabilitas akan disuarakan oleh para calon wakil rakyat maupun
pemimpin negeri ini menyuarakan isu disabilitas. Isu disabilitas dalam pemilu
terkait bagaimana para wakil rakyat nantinya menyuarakan isu disabilitas dan
seberapa kuatkah disabilitas akan menjadi isu penting dalam kebijakan
pemerintah di negeri ini.
Hal
demikian jauh lebih berarti bagi penyandang disabilitas dari sekadar
fasilitas yang mudah diakses dalam pemilihan umum, terlebih lagi temuan The Asia Fondation menyebut masyarakat
enggan memilih pemimpin yang mempunyai disabilitas 76,9% dari masyarakat
tidak akan memilih pemimpin dengan disabilitas. Itu artinya kepentingan
mereka agar lebih tersuarakan dalam pemerintahan akan sulit diperjuangkan.
Bisa disimpulkan bahwa stigma masyarakat dalam Pemilu tahun ini ialah kurang
percaya akan kemampuan penyandang disabilitas.
Stigma
buruk dan ketidakberdayaan penyandang disabilitas masihlah melekat dalam
masyarakat sehingga enggan untuk memilih penyandang disabilitas sebagai
pemimpin mereka. Jika dikaitkan dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat
dengan keikutsertaannya dalam dunia politik, maka pandangan masyarakat yang
tidak akan memilih difabel sebagai pemimpin mereka ini akan berseberangan
dengan usaha mewujudkan implementasi penegakan hak-hak penyandang
disabilitas.
Hal yang
demikian ternyata diresapi oleh penyandang disabilitas, reproduksi
ketidakbisaan penyandang disabilitas dalam kepemimpinan pun menjadi
”kebenaran” bagi penyandang disabilitas itu sendiri sehingga penyandang
disabilitas sendiri pun mempercayainya. Hal ini dapat dilihat pada hasil
survei yang menunjukkan bahwa 42% penyandang disabilitas tidak akan memilih
pemimpin yang memiliki disabilitas, 36,7% bersedia memilih dan 21,3% menolak
menjawab.
Di sisi
lain, sekalipun ketidakpercayaan yang diberikan pada mereka atas
kepemimpinan, penyandang disabilitas sendiri menilai bahwa demokrasi
merupakan jalan yang terbaik sebagai jalan untuk pemerintahan. Masih berpijak
pada data yang dikeluarkan oleh The Asia
Foundation, 68,1% penyandang disabilitas setuju bahwa demokrasi adalah
sistem yang baik, 22,22% sangat setuju, sisanya, 9,7%, tidak tahu.
Perihal
pentingnya pemilu pada tahun ini, beranjak pada survei yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas
(PSLD) Universitas Brawijaya, 38,24% mengatakan sangat penting, dan 41,10%
penting, 5,88% tidak penting, 2, 94% sangat tidak penting, dan 11,78% tidak
tahu. Artinya, 91,18% penyandang disabilitas menyatakan mencoblos dalam
Pemilu 2014 dan 8,8% yang tidak menyatakan tidak berpartisipasi.
Lantas
apakah motivasi penyandang disabilitas tersebut terlibat dalam pemilu? 8,82%
menjawab tidak tahu, 82,35% agar kebijakan untuk mereka lebih baik, 5,88%
dikarenakan mendapat imbalan uang, dan 2,94% dikarenakan ikut-ikutan. Dengan
demikian, harapan penyandang disabilitas pada pemilu kali ini sangatlah
tinggi bagi perubahan nasib mereka. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa
penyandang disabilitas sangat pesimistis atas apa yang dihasilkan oleh pemilu
kali ini.
Sejumlah
32,35% merasa bahwa tidak akan terwakili pada pilihan-pilihan mereka, 17,65%
sangat tidak terwakili, 11,76% merasa sangat terwakili, 26,47% merasa
terwakili, 2,94% tidak tahu, dan 8,82% enggan menjawab. Dengan demikian, pada
prinsipnya harapan tinggi yang diberikan bagi penyandang disabilitas pada
pemilu kali ini tetap saja dianggap sebagai pesta yang menghasilkan
orang-orang yang tidak cukup mewakili mereka.
Isu Disabilitas
Pemilu
merupakan pintu harapan bagi penyandang disabilitas sebagai momen perubahan
atas kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka. Tampaknya, pesimisme
penyandang disabilitas dapat dibenarkan, setidaknya dapat dibaca dari semua
platform partai politik. Tidak ditemui, dari sekian partai, yang menjadikan
disabilitas sebagai program utama dalam kampanye.
Lagipula,
absennya penyandang disabilitas sebagai calon legeslatif serta tidak adanya
ketentuan dari Komisi Pemilihan Umum untuk mendudukan penyandang disabilitas
sebagai anggota legeslatif, sebagaimana yang diberikan pada perempuan,
semakin meneguhkan bahwa suara kaum minoritas terbesar di negeri ini tak jauh
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan
pada pemilihan presiden dan wakil presiden juga demikian. Di tangan dua
pasang calon yang telah mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan wakil
presiden,Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, isu disabilitas juga tak begitu tampak
dalam visi-dan misi mereka yang diserahkan ke KPU. Minimnya isu disabilitas
dalam pemilu kali semakin meneguhkan kondisi penyandang disabilitas yang selama
ini terus termarginalisasi dalam kehidupan masyarakat.
Mereka
harus menanggung beban stereotipe buruk, banyaknya fasilitas publik yang
tidak terakses, banyaknya tindakan diskriminatif seperti akses pendidikan,
akses pekerjaan, dan yang paling dekat adalah ditolaknya mereka sebagai
peserta ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Jika
mayoritas masyarakat Indonesia tidak menghendaki pemimpinya adalah dari
kelompok penyandang disabilitas dan minim sekali isu disabilitas dalam
berbagai program mereka yang terlibat pemilu, dan tidak adanya ketentuan
kuota bagi penyandang disabilitas dalam pemilu 2014, lantas bagaimana suara
disabilitas akan sampai di parlemen dan eksekutif? Di manakah fungsi
demokrasi sebagai instrumen paling rasional untuk suara rakyat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar