Selasa, 17 Juni 2014

Dekade yang Hilang

Dekade yang Hilang

Ahmad Erani Yustika  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Malang; Direktur Eksekutif Indef
KOMPAS,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
JIKA ada pertanyaan apakah selama 10 tahun terakhir (2004-2013) perekonomian nasional mengalami perbaikan atau pemburukan, jawabannya bisa beragam. Pemerintah, seperti yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tentu menyatakan perekonomian telah mencapai kemajuan pesat. Data dijajarkan untuk menunjukkan keberhasilan itu, misalnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pendapatan per kapita naik, APBN yang membesar, rasio utang terhadap PDB turun, pelunasan utang kepada IMF, cadangan devisa menembus angka di atas 100 miliar dollar AS, serta penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (terbuka). Data itu sulit disanggah karena seluruhnya valid. Anehnya, mengapa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja ekonomi pemerintah terus menurun? Tingkat kepuasan yang memburuk sebagian terpantul dari hukuman yang disampaikan lewat pemilu legislatif beberapa waktu lalu di mana partai penguasa suaranya jatuh lebih dari 50 persen.

Data oposisi

Di luar data yang dikemukakan pemerintah, terdapat data sebaliknya (oposisi) yang jarang dibuka, tetapi kerap diserap dari banyak sumber lain (media massa, ruang kelas, ataupun makalah seminar). Sebagian data itu bisa ditulis sebagai berikut. Pertama, tiga tahun terakhir ini muncul diskusi yang intensif soal ketimpangan pendapatan antar-golongan yang meningkat tajam. Jika memakai alat ukur rasio gini, pada 2013 mencapai 0,413. Padahal, pada 2004 berada pada kisaran 0,32.

Kedua, sumbangan sektor industri terhadap PDB melorot dari 28 persen (2004) menjadi 23,5 persen (2013). Fenomena ini kerap disebut gejala deindustrialisasi. Padahal, sektor ini menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja selain sektor pertanian dan perdagangan.

Ketiga, penurunan kinerja sektor industri menjadi salah satu penyumbang defisit perdagangan. Pada 2004, neraca perdagangan surplus 25,06 miliar dollar AS, tetapi pada 2013 defisit 4,06 miliar dollar AS. Pertama kali defisit perdagangan terjadi pada 2012.

Keempat, pertumbuhan ekonomi tak banyak memproduksi lapangan kerja akibat pertumbuhan rendah di sektor pertanian dan industri. Pada 2008, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi membuka 181.000 lapangan kerja, kemudian 436.000 (2008), tetapi pada 2013 tinggal 164.000.

Kelima, efisiensi investasi/ekonomi juga makin buruk yang ditunjukkan oleh kenaikan incremental capital output ratio (ICOR) dari 4,17 (2005) menjadi 4,5 (2013). Sumber dari inefisiensi ini bisa bermacam-macam. Namun, jika dilihat dari publikasi beberapa lembaga internasional, faktor inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur bisa disebut sebagai pemicu utama.

Keenam, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) juga tak mengalami perbaikan, bahkan cenderung turun. Pada 2004, rasio pajak masih 12,2 persen, tetapi pada 2013 tinggal 10,8 persen (berdasarkan realisasi penerimaan pajak). Rasio pajak tersebut tidak hanya rendah, tetapi juga lebih rendah daripada rata-rata rasio pajak negara miskin.

Ketujuh, nilai tukar petani (NTP) juga menurun dari 102,88 (2004) menjadi 101,96 (2013). Secara umum, nyaris tidak ada perbaikan NTP selama 10 tahun terakhir. Bahkan, upah riil sempat mengalami pertumbuhan negatif (pertumbuhan pendapatan dikurangi inflasi).

Kedelapan, anggaran kesehatan melejit, tetapi kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran meningkat dari 307 (2004) menjadi 359 (2012). Hal ini tentu memprihatinkan sehingga kemungkinan besar target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) tak akan tercapai pada 2015 mendatang.

Kesembilan, nilai APBN naik drastis, tetapi sejak 2012 terjadi defisit keseimbangan primer (pendapatan dikurangi belanja di luar pembayaran utang). Pada 2004 masih surplus 1,83 persen terhadap PDB, tetapi pada 2013 defisit 1,19 persen terhadap PDB.

Kesepuluh, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga cenderung merosot. Dari Rp 9.290 per dollar AS (2004) menjadi Rp 12.189 per dollar AS, sekarang masih pada kisaran Rp 11.800 per dollar AS (data dari banyak sumber, sebagian diolah).

Dualitas ”realitas”

Tentu masih ada data lain yang bisa ditampilkan untuk menampakkan situasi yang lebih berimbang dalam satu dekade terakhir. Di sektor pertanian, ketimpangan kepemilikan lahan luar biasa besar sehingga rata-rata penguasaan lahan rumah tangga petani makin sempit. Nilai impor pertanian terus membengkak sehingga tingkat ketahanan dan kemandirian pangan berada dalam bahaya.

Pada sektor energi, impor BBM tidak terbendung yang sebagian disebabkan oleh produksi minyak yang terus menurun (target lifting tidak pernah tercapai). Penguasaan pelaku ekonomi asing di sektor energi tak dapat dikurangi sehingga penataan sektor energi menjadi tidak mudah. Di sektor perdagangan, pertumbuhan pasar tradisional menjadi minus dan sebagian pelakunya terlempar dari arena ekonomi. Sebaliknya, perdagangan modern (minimarket, supermarket, dan hypermarket) tumbuh fantastis dengan nisbah ekonomi yang mengerucut kepada pemilik modal dan pelaku ekonomi asing.

Itulah yang menyebabkan terjadi selisih jalan antara prestasi ekonomi yang dipidatokan pemerintah dan tingkat kepuasan ekonomi masyarakat. Data makroekonomi mengesankan bahkan dipuja oleh dunia internasional, tetapi masyarakat dihadapkan pada situasi sulitnya mencari pekerjaan (yang layak), inflasi (pangan) yang tinggi, dan ketidakadilan ekonomi. Karena itu, sebetulnya di dalam negeri terdapat dualitas ”realitas” yang bekerja dengan tanggapan berlainan.

Pemerintah merasa sudah melakukan segalanya untuk memperbaiki kinerja ekonomi dengan hasil yang dianggap bagus (melalui data yang disampaikan), tetapi rakyat merasa pemerintah tidak bekerja untuk mereka (tetapi bagi para pemodal kakap dan kepentingan pelaku ekonomi luar negeri). Inilah yang menjadi sumbu penilaian buruknya kinerja ekonomi pemerintah. Keduanya mesti dicarikan tali penghubung agar tak hidup dalam dunia realitas yang berbeda.

Kebijakan pemerintah yang dipandang melanggengkan struktur ekonomi yang tidak adil itu, antara lain pemihakan sektor pertanian dan industri yang kurang, liberalisasi ekonomi yang tidak terukur, alokasi belanja negara yang salah arah, dan sumber daya ekonomi yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan domestik. Sektor pertanian tak hanya infrastrukturnya yang hancur (misalnya irigasi), tetapi juga distribusinya tidak diurus, apalagi penguatan nilai tambah yang tersambung dengan sektor industri. Liberalisasi ekonomi berjalan di jalur cepat sehingga menenggelamkan pelaku ekonomi skala kecil yang tak punya akses pasar bagus.

Demikian pula dengan anggaran negara yang habis untuk birokrasi sehingga porsi bagi afirmasi pelaku ekonomi lemah tidak tersedia. Sumber daya ekonomi domestik, khususnya sumber daya alam (SDA), justru dipasok untuk kepentingan negara lain (batubara, gas, bauksit, kelapa sawit, dan lain-lain) sehingga pelaku ekonomi lokal tersudut. Inilah yang membuat Indonesia menjalani masa ”dekade yang hilang” seperti tergambar data di atas.

Peran konstitutif negara

Hal utama yang perlu dipikirkan pemerintah adalah menambah pundi-pundi pendapatan negara. Kita membiarkan pemerintah mengeluh soal subsidi BBM (sekarang nyaris Rp 300 triliun), tetapi tak menuntut memungut potensi pendapatan negara yang hilang. Hitungan kasar yang kerap disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesungguhnya potensi pajak yang tak terpungut Rp 200 triliun-Rp 300 triliun per tahun. Jika potensi itu masuk ke kas negara, rasio pajak naik menjadi 15 persen.

SDA juga dieksploitasi sangat dalam, tetapi yang masuk ke negara sangat dangkal. Ekspor ilegal batubara, misalnya, sungguh tak terkira. Jika itu ditambah komoditas di sektor perikanan dan pertambangan lain, sekurangnya ada tambahan pendapatan Rp 200 triliun (angka konservatif). Dengan tambahan sebesar itu, pemerintah tak perlu pusing memikirkan utang baru atau panik tentang subsidi BBM. Bahkan, potensi penerimaan itu bisa menjadi amunisi peningkatan belanja modal dan program-program afirmatif.

Berikutnya, pemerintah mendatang jangan terjebak diskursus ”jebakan pendapatan menengah”. Jika pendapatan per kapita melesat tajam dan Indonesia masuk ke dalam golongan negara berpendapatan tinggi, tetapi jika hal itu diikuti dengan ketimpangan yang menganga, pencapaian ini tak memiliki makna kepada sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah. Kebijakan yang akan datang seyogianya diarahkan untuk menguatkan struktur aset kaum papa, memberikan akses kesempatan ekonomi lebih besar, serta membangun kapasitas individu lewat pembesaran stok pengetahuan/keterampilan dan kesehatan.

Penguatan aset menghendaki keberanian mengeksekusi kebijakan reforma agraria dan sirkulasi modal lewat kebijakan redistribusi pendapatan yang efektif (seperti pajak progresif). Akses kesempatan ekonomi dilakukan melalui kebijakan penataan kompetisi/kerja sama ekonomi lebih adil, sementara kapasitas individu diperbesar lewat pembelajaran masif.

Terakhir, penataan dan pembagian pelaku ekonomi mesti disegerakan tidak semata untuk memastikan kesejahteraan ekonomi terbagi secara merata, tetapi juga mendudukkan peran yang harus dijalankan pasar dan negara secara tepat sesuai dengan konstitusi. Negara diberi peran menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan SDA karena dituntut tanggung jawab yang besar untuk menyejahterakan masyarakat, seperti penciptaan lapangan kerja yang layak bagi kemanusiaan, pendidikan dan kesehatan, serta fakir miskin dan anak telantar.

Tanpa penguasaan atas sumber daya ekonomi tersebut, tanggung jawab konstitutif negara tak bakal bisa disantuni. Selebihnya, silakan pasar (swasta) bekerja memanfaatkan ruang ekonomi yang besar pada banyak sektor, tentu saja dengan mengacu pada penataan ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar