Mendiskusikan
Syarat Kemenangan Capres
Wiwin
Suwandi ; Pengamat
Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin;
Peneliti
Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Juni 2014
PERSIAPAN perhelatan pemilu
presi den pada 9 Juli nanti sedikit `terganggu' dengan ketentuan syarat
kemenangan pasangan capres-cawapres sebagaimana tertera dalam Pasal 6A ayat
(3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42 Tahun 2008. Sejak jauh hari KPU
telah mengkhawatirkan ini dengan mengundang dan meminta pendapat sejumlah
pengamat dan pakar tata negara.
Menjadi pertanyaan untuk
didiskusikan bersama, apakah syarat `...lebih
dari 50% dari jumlah suara keseluruhan dengan sedikitnya 20% suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah dari jumlah provinsi di
Indonesia...' itu harus dipenuhi (secara bersamaan) oleh pasangan
capres-cawapres? Atau bisa saja ketentuan satu bisa menegasikan ketentuan
lainnya, dalam arti syarat 20% itu tidak berlaku jika syarat 50% terpenuhi,
maupun sebaliknya?
Tafsir konstitusi
Karena syarat ini berasal dari
Pasal 6A UUD 1945, kita akan mendiskusikan masalah itu menggunakan metode
penafsiran konstitusi (constitutional
interpretation). Penafsiran konstitusi merupakan penafsiran terhadap
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar
atau interpretation of the basic law
(AHY Chen: 2000).
Ada dua macam penafsiran yang
bisa digunakan untuk mendiskusikan ini; dengan model penafsiran gramatikal (grammatical interpretation) atau model
penafsiran argumentum a contrario.
Keduanya ialah model penafsiran konstitusi yang sering dipakai untuk
menafsirkan konstitusi. Metode itu juga yang sering dipakai oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam pengujian undang-undang.
Jika memakai penafsiran
gramatikal, teks yang termuat dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159
UU Pilpres No 42/2008 ialah teks autentik yang tidak bisa diubah atau
ditafsirkan lain. Ketentuan `Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari
jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia,
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden' yang tertera dalam Pasal 6A
ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42 Tahun 2008 ialah `satu kesatuan napas' yang saling
terikat/terhubung serta tidak dapat dipisahkan.
Tidak bisa ditafsirkan lain
dengan menegasikan satu dengan lainnya (bahwa syarat 20% itu tidak usah
terpenuhi jika syarat 50% sudah terpenuhi, maupun sebaliknya). Karena kata
`dengan' yang tertera dalam kedua pasal tersebut `mengikat' ketentuan 50% dan
20% itu.
Sementara itu, jika menggunakan
penafsiran argumentum a contrario,
kita bisa menegasikan ketentuan satu dengan lainnya. Bahwa syarat lebih dari
50% suara tersebut sudah bisa mengantar capres-cawapres terpilih tanpa
terikat dengan syarat 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Maupun sebaliknya, jika syarat 2
0 % itu terpenuhi, syarat 5 0 % tidak perlu terpenuhi.
Posisi sulit
KPU dihadapkan pada posisi
sulit. Pilpres 2009 yang diikuti tiga pasangan caprescawapres (SBY-Boediono,
Megawati-Prabowo, dan JK-Wiranto), yang juga mengacu ke UU No 42/2008, tidak
merepotkan KPU saat itu karena pasangan SBY-Boediono lang sung menang satu
putaran dengan memperoleh lebih dari 50% suara (60,8%).
Mungkin tidak akan menjadi sulit
bagi KPU saat ini seandainya kemenangan 50% lebih pasangan SBY Boediono tersebut
tidak diikuti dengan perolehan 20% suara pada lebih dari setengah jumlah
provinsi di seluruh Indonesia sebagai syarat tambahan. Jika demikian,
pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2014 yang memperoleh suara lebih 50%
sekalipun tidak memperoleh 20% suara sebagai syarat lainnya itu (maupun
sebaliknya) bisa langsung ditetapkan sebagai pasangan pemenang pilpres. Hal
tersebut bisa menjadi preseden bagi KPU saat ini.
Namun, nyatanya, tidak demikian.
Pada Pilpres 2009, pasangan SBY-Boediono selain memperoleh lebih dari 50%
(60,8%) juga memenuhi syarat 20% suara yang tersebar di lebih dari setengah
jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
Kekeliruan para perumus Pasal 6A
UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008 ialah terlalu yakin bahwa
pilpres akan selalu diikuti lebih dari dua pasangan caprescawapres, jika
berkaca pada Pemilu 2004 dan 2009. Barangkali keyakinan itu bisa dihubungkan
dengan realitaa sistem multipartai yang berlaku, yakni pasangan
caprescawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol.
Mereka tidak
memperkirakan hanya akan ada dua pasangan capres-cawapres seperti pada Pemilu
2014 ini.
Dengan menggunakan penafsiran
gramatikal pada teks autentik Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 UU
Pilpres No 42/2008, pihak yang kalah nanti bisa menjadikan ketentuan itu
sebagai `pintu sengketa' untuk menuntut diadakannya pemilu ulang. Ini bisa
menjebak KPU, dipakai oleh pihak yang kalah untuk mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut dilakukan pemilu ulang. Jika demikian,
pilpres akan diadakan berulang kali sampai terpenuhinya dua syarat itu secara
bersamaan. Berapa energi dan biaya yang harus dikeluarkan?
Fatwa MK
Setelah mencermati kondisi
demikian, tidak ada jalan lain bagi KPU selain meminta pendapat (fatwa) MK.
Mengapa? Alasan pertama, KPU `terjebak' dalam rumusan Pasal 6A ayat (3) dan
Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008. KPU tidak bisa memberikan pendapat atau
tafsir sendiri atas kedua pasal itu karena status KPU ialah `pelaksana
undang-undang', bukan lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa atau
mengartikan lain sebuah teks undang-undang atau UUD.
Pendapat pengamat pun tidak bisa
dijadikan fatwa bagi KPU untuk mengikuti yang mana di antara kedua pilihan
itu karena pengamat bukan hakim atau juri yang pendapatnya bisa menjadi
hukum. Pendapat pengamat sebatas pertimbangan, bukan hukum.
Kedua, MK adalah satusatunya
lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi. MK adalah pengawal (the guardian) dan penafsir tunggal
konstitusi. Oleh karena ketentuan itu bersumber dari konstitusi (Pasal 6A UUD
1945), hanya MK yang berwenang menafsirkan makna dari Pasal 6A UUD 1945.
Apakah pemenang pilpres ditentukan dari perolehan suara lebih 50% dengan 20%
suara yang tersebar pada lebih dari jumlah provinsi di Indonesia sesuai
dengan teks tersebut, atau pemenang bisa ditentukan dari perolehan suara yang
menegasikan syarat lainnya; syarat lebih dari 50% suara tersebut tidak perlu
diikuti dengan 20% suara dari setengah jumlah propinsi di seluruh Indonesia,
maupun sebaliknya.
Fatwa tersebut akan menjadi
hukum yang akan meng-clear-kan
tafsir rancu dari Pasal 6A UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pilpres No 42/2008 itu,
sekaligus untuk mencegah masuknya sengketa ke MK dari pasangan yang kalah
yang ingin menuntut diadakannya pemilu ulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar